Muhammad Abduh pernah berkata, "Saya pergi ke Paris, lantas saya bertemu dengan Islam tanpa Muslim. Saya kembali ke Kairo, lalu saya bertemu dengan Muslim tanpa Islam."
Kalimatnya ini diucapkan ketika beliau dan anak didiknya menyaksikan seorang pria buang air kecil tepat di dinding Universitas Al-Azhar. Sedangkan saat beliau di Paris, betapa banyak ajaran Islam mengenai kebersihan, produktivitas, menghargai waktu, hingga sopan santun diterapkan. Walau di sana tak ada Muslim.
Sampai hari ini, ucapan beliau diamini oleh banyak kaum Muslimin. Terutama tatkala kita menyaksikan penerapan sejumlah "ajaran" Islam di negeri-negeri non-muslim. Sedangkan pada saat yang sama, negeri-negeri Muslim terlihat bobrok.
.
Sebut saja Jepang. Siapa pun tahu, negeri sakura tersebut memiliki beberapa keunggulan. Misalnya dalam hal kebersihan, ketepatan waktu, serta ruang kota yang tertata rapi. Walau Jepang bukanlah negeri yang didominasi Muslim.
Kemudian ktia berseloroh, "Tuh lihat, Jepang. Dia lebih islami daripada umat Islam sendiri. Coba aja lihat di Indonesia. Ngaku Muslim tapi kelakuannya jorok, nggak bisa jaga mulut, apalagi sering ngaret."
.
Pada satu sisi, anggapan ini benar. Dalam konteks sebagai renungan dan upaya perbaikan diri.
Namun, apabila dibiarkan terlalu lama, justru malah menjadi bumerang bagi kita. Akibatnya, umat terserang penyakit inferiority complex. Merasa inferior, hilang percaya diri, hingga hilang pula harga diri.
Mereka yang kehilangan harga dirinya, hanya menunggu waktu menjadi bebek. Menganggap sesuatu di luar dirinya jauh lebih baik. Layak menjadi teladan.
Benarlah kata Ibnu Khaldun, "Golongan yang kalah akan menjadi pengikut golongan yang menang."
.
Selain itu, standar "islami" kita menjadi bias. Baiklah, perilaku jorok, buruknya akhlak, dan sebagainya memang jauh dari nilai Islam. Tetapi pantaskah buru-buru menyebut Jepang lebih islami dibanding negeri-negeri Muslim? Bahkan dibandingkan diri kita sendiri.
Padahal bukan rahasia lagi betapa maraknya industri film dewasa di sana. Bahkan dilegalkan oleh pemerintah. Masih disebut islami?
Yang paling penting, coba tanyakan kepada mereka, menjaga kebersihan itu karena apa? Kebersihan itu nilai kebaikan yang universal. Mereka yang tak beragama pun cinta kebersihan. Sedangkan bagi seorang Muslim, menjaga kebersihan adalah upaya ibadah kepada Allah. Implementasi iman dan keshalihan. Filosofinya berbeda.
Kita hanya melihat kebaikan pada satu sisi lalu dengan mudah memberi label "lebih islami".
Bias standar ini yang bikin gubernur terpidana itu pernah berani berucap, "Banyak yang menyukai saya, karena saya dinilai lebih islami daripada umat Islam sendiri."
Lah, ini lucu tingkat tinggi.
.
Cukuplah kalimat Muhammad Abduh tersebut dijadikan pelajaran. Tak perlu sering diulang-diulang sampai harga diri pun hilang. Mulailah mendongakkan wajah, terapkan Islam secara kaffah. Kemudian buktikan bahwa selalu ada ajaran Islam dalam diri setiap Muslim.
"Tegakkanlah Islam dalam dirimu, niscaya ia akan tegak pula di muka bumi." (Musthafa Masyhur)