Nulis Suka-Suka

Inshof



Saling caci, saling tahdzir, serta saling tidak menghormati hanya karena perbedaan mazhab fikih membuktikan umat Islam memang tengah dilanda suatu penyakit. Yang oleh Prof. Naquib Al-Attas sebut sebagai 'hilangnya adab' (loss of adab).
Hilangnya adab terjadi karena kita, sebagai muslim, gagal berlaku inshof (pertengahan). Kita tidak berhasil mendudukkan persoalan fikih pada tempat dan porsi yang seharusnya. Satu waktu kita menganggap perbedaan fikih sebagai perbedaan akidah, di waktu lain kita bertindak sebaliknya.
Lebih parah lagi, makna Islam mengalami pengerdilan. Islam dipahami secara sempit menjadi fikih. Fikih disempitkan lagi menjadi hadis. Hadis dikecilkan lagi menjadi hanya hadis sahih. Hadis dhaif pun terkadang dicap hadis maudhu. Padahal hadis dhaif masih bisa dipakai, walau syarat dan ketentuannya berlaku.
Share:

4 Jeruji Tradisi dalam Organisasi



Kamu sudah berapa lama ikut organisasi? Sudah sampai mana capaian targetnya? Jangan-jangan mandek, bahkan mundur. Malah, jangan-jangan justru kamu sendiri nggak bisa menilai apakah target organisasi itu ada progress-nya atau tidak.
Yang lebih buruk, kamu tahu nggak sih sebenarnya "bangunan" apa yang hendak dibangun oleh organisasimu?
M. Elvandi, seorang penulis sekaligus pakar organisasi, pernah mengungkapkan salah satu kesalahan fatal organisasi. Sayangnya kesalahan ini justru berulang dan tidak kunjung disadari para anggotanya,
Ialah FANATISME TRADISI. Sebuah fanatisme yang menciptakan jeruji dalam pikiran manusia. Sehingga menutup mata, telinga, dan semua sumber pembelajaran manusia dari kebenaran.
Jeruji tradisi ini tergambar dalam empat fenomena yang kera ditemukan dalam organisasi.
Share:

Perbedaan Mazhab dan Posisi Perbedaan Kita



Beberapa waktu silam, kampus saya menggelar kuliah umum bertajuk "Kenapa Kita Harus Bermadzhab?". Didapuk sebagai pembicara ialah Ust. Isnan Anshory dari Rumah Fiqih Indonesia. Sebetulnya ini adalah materi dasar pada semester-semester awal. Namun, selalu saja ada cakrawala baru ketika menyimak ilmu dari guru yang berbeda.
Salah satunya mengenai posisi madzhab dalam Islam. Bagian ini penting, sebab apabila kita salah memosisikan madzhab, kita akan salah mengartikan "perbedaan". Selain itu, bisa-bisa kita malah mengetatkan yang longgar dan melonggarkan yang harusnya ketat.
.
Share:

Harapan



Sepuluh ribu pasukan multinasional itu kian mendekat. Jumlahnya bahkan melebihi populasi penduduk Madinah. Sekali hantam, sulit membayangkan bagaimana nasib eksistensi kaum muslimin selanjutnya.
Sementara itu, panas kian terik. Tenaga terkuras. Lapar mendera. Rasulullah dan para sahabat pun terpaksa mengganjal perut mereka dengan batu. Stok harapan turut menipis. Sedangkan jurang putus asa semakin melebar.
Namun penggalian parit (khandaq) harus segera dirampungkan. Bahkan ketika cobaan lain datang.
Share:

Mencari Inspirasi



Pernah nggak, sih? Lagi buang hajat, diam-diam, tiba-tiba menemukan ide. Seketika seperti mendapat wangsit. Kok kenapa nggak muncul dari tadi, ya?
Atau ketika shalat, tahu-tahu teringat benda yang sebelumnya sedang dicari-cari. "Oh iya, kemarin kan ditaruh di situ. Kok bisa lupa, ya?"
Ah, sepertinya bukan saya saja yang mengalaminya. 
Share:

Hina Ulama



Biar kubacakan sebuah kisah untukmu. Agar kau tahu siapa yang sedang kau hadapi. Dan kau tahu apa akibatnya.
.
Saat itu Kufah dibuat ramai. Pria tersebut memang telah tua, hartanya melimpah lagi keturunannya banyak. Namun, penduduk kota dibuat terheran-heran. Hampir setiap hari pria itu berkeliling, lalu menggoda siapa pun wanita yang ditemuinya.
Salah seorang warga akhirnya bertanya penasaran, "Wahai, mengapa sudah setua ini engkau masih menggoda para wanita?"
Sambil menyesal, pria itu menjawab, "Aku tertimpa doa Sa'ad bin Abu Waqqash."
Share:

Hanya Dia



"Ya Allah, jika ia jodohku, dekatkanlah. Apabila ia adalah jodoh bagi orang lain, maka jadikanlah aku orang lain itu. Aamiin."
Ada banyak ragam doa selaiknya kalimat di atas. Yang lebih panjang dan lucu juga ada. Sampai-sampai bikin tertawa sendiri di depan layar hape.
Baiklah, mungkin itu cuma bercanda. Namun, cobalah jujur pada diri nurani. Jangan-jangan kita pun begitu. Berharap si dia menjadi pendamping hidup. Lalu namanya disebut-sebut dalam doa nan senyap. Cieee.
Share:

Apakah Jepang Lebih Islami?



Muhammad Abduh pernah berkata, "Saya pergi ke Paris, lantas saya bertemu dengan Islam tanpa Muslim. Saya kembali ke Kairo, lalu saya bertemu dengan Muslim tanpa Islam."
Kalimatnya ini diucapkan ketika beliau dan anak didiknya menyaksikan seorang pria buang air kecil tepat di dinding Universitas Al-Azhar. Sedangkan saat beliau di Paris, betapa banyak ajaran Islam mengenai kebersihan, produktivitas, menghargai waktu, hingga sopan santun diterapkan. Walau di sana tak ada Muslim.
Sampai hari ini, ucapan beliau diamini oleh banyak kaum Muslimin. Terutama tatkala kita menyaksikan penerapan sejumlah "ajaran" Islam di negeri-negeri non-muslim. Sedangkan pada saat yang sama, negeri-negeri Muslim terlihat bobrok.
.
Sebut saja Jepang. Siapa pun tahu, negeri sakura tersebut memiliki beberapa keunggulan. Misalnya dalam hal kebersihan, ketepatan waktu, serta ruang kota yang tertata rapi. Walau Jepang bukanlah negeri yang didominasi Muslim.
Kemudian ktia berseloroh, "Tuh lihat, Jepang. Dia lebih islami daripada umat Islam sendiri. Coba aja lihat di Indonesia. Ngaku Muslim tapi kelakuannya jorok, nggak bisa jaga mulut, apalagi sering ngaret."
.
Pada satu sisi, anggapan ini benar. Dalam konteks sebagai renungan dan upaya perbaikan diri.
Namun, apabila dibiarkan terlalu lama, justru malah menjadi bumerang bagi kita. Akibatnya, umat terserang penyakit inferiority complex. Merasa inferior, hilang percaya diri, hingga hilang pula harga diri.
Mereka yang kehilangan harga dirinya, hanya menunggu waktu menjadi bebek. Menganggap sesuatu di luar dirinya jauh lebih baik. Layak menjadi teladan.
Benarlah kata Ibnu Khaldun, "Golongan yang kalah akan menjadi pengikut golongan yang menang."
.
Selain itu, standar "islami" kita menjadi bias. Baiklah, perilaku jorok, buruknya akhlak, dan sebagainya memang jauh dari nilai Islam. Tetapi pantaskah buru-buru menyebut Jepang lebih islami dibanding negeri-negeri Muslim? Bahkan dibandingkan diri kita sendiri.
Padahal bukan rahasia lagi betapa maraknya industri film dewasa di sana. Bahkan dilegalkan oleh pemerintah. Masih disebut islami?
Yang paling penting, coba tanyakan kepada mereka, menjaga kebersihan itu karena apa? Kebersihan itu nilai kebaikan yang universal. Mereka yang tak beragama pun cinta kebersihan. Sedangkan bagi seorang Muslim, menjaga kebersihan adalah upaya ibadah kepada Allah. Implementasi iman dan keshalihan. Filosofinya berbeda.
Kita hanya melihat kebaikan pada satu sisi lalu dengan mudah memberi label "lebih islami".
Bias standar ini yang bikin gubernur terpidana itu pernah berani berucap, "Banyak yang menyukai saya, karena saya dinilai lebih islami daripada umat Islam sendiri."
Lah, ini lucu tingkat tinggi.
.
Cukuplah kalimat Muhammad Abduh tersebut dijadikan pelajaran. Tak perlu sering diulang-diulang sampai harga diri pun hilang. Mulailah mendongakkan wajah, terapkan Islam secara kaffah. Kemudian buktikan bahwa selalu ada ajaran Islam dalam diri setiap Muslim.
"Tegakkanlah Islam dalam dirimu, niscaya ia akan tegak pula di muka bumi." (Musthafa Masyhur)
Share:

Amal Jariyah



Ketika Allah bersumpah atas nama waktu, seiring dengannya posisi waktu menjadi sangat vital bagi kehidupan manusia. Beberapa ulama bahkan menegaskan bahwa waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Sebab itu, saat Allah melanjutkan firman-Nya: Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, maka manusia pun rugi atas waktu yang dimilikinya.
Sudah rugi segala-galanya, waktu yang tersedia pun terbatas. Lebih kacau lagi, setiap dari kita tidak tahu kapan waktunya berakhir. Mungkin setahun lagi, lusa, atau satu menit setelah membaca tulisan ini.
Agar selamat dan meraih keuntungan, Allah memberikan kuncinya berupa IMAN dan AMAL SHALIH.
Namun bukan sekadar amal, amal yang mengajak manusia lain pada kebenaran serta sabar berpijak di atasnya. Amal ini kerap kita sebut dakwah, dan menulis adalah salah satu senjatanya.
Saya masih teringat alasan mengapa Dhini Aminarti akhirnya memutuskan berhijab.
"Saya membaca artikel yang isinya mengungkapkan bahwa wanita yang tidak berhijab akan membuat ayahnya berdosa pula. Saya tidak mau ayah nanti menanggung dosa saya," jelasnya.
Pasti untung sekali penulis itu. Tulisannya mampu mengantarkan hidayah kepada seseorang. Amalnya terus mengalir meski ia wafat dan selama Dhini istiqamah berhijab.
Benarlah apa yang pernah diutarakan Sayyid Quthub, "Satu peluru hanya mampu menembus satu kepala. Tetapi sebuah tulisan bisa menembus ribuan hingga jutaan kepala."
Share:

Hijrah



Masa-masa berangkatnya Rasulullah dan Abu Bakar ke Madinah sebetulnya teramat sulit. Bayangkan saja. Di zaman ini, Mekkah-Madinah butuh waktu 5 sampai 6 jam menggunakan bus. Lalu apa rasa Rasulullah tetap bertahan menyusuri setiap bulir pasir di Arab sana?
Padahal, sebelum hijrah, Rasulullah pun mengalami peristiwa yang tak kalah menakjubkan. Isra Mi'raj. Buraq dihadapkan pada beliau. Dan dalam waktu kurang dari semalam, beliau bisa naik-turun ke langit ketujuh.
Mengapa Rasulullah mau tetap memiliih bersusah payah di tengah hijrah?
Toh, beliau bisa memilih memanggil Buraq. Tanpa rasa takut dan cemas, tiba di Madinah dengan selamat sentosa. Tapi, kenyataannya tidak.
Rasulullah tetap mengirim beberapa shahabat ke Habasyah guna mencari negeri cadangan sebagai tempat perlindungan. Rasulullah tetap menjadikan Mush'ab ibn Umair sebagai duta untuk mengondisikan masyarakat Yatsrib. Rasulullah tetap bersiasat terhadap Quraisy dengan Ali sebagai pengganti beliau di atas tempat tidur. Tetap ada Asma binti Abu Bakar yang bolak-balik menyediakan perbekalan. Tetap ada guide yang menuntun keduanya hingga sampai Madinah.
Rasulullah tetap memilih itu. Di tengah terpaan terik, ancaman pembunuhan, dan kejaran musuh-musuhnya.
Seakan Rasulullah ingin mengajarkan umatnya. Bahwa beginilah berjuang di atas jalan-Nya. Tugasnya berat, jalannya terjal, tapi manusia bukan tidak mungkin mengembannya.
Berjuang di atas jalan-Nya bukan pekerjaan para malaikat yang tanpa cela. Atau sekadar pekerjaan para anbiya yang sewaktu-waktu diberi mukjizat.
Tetapi, siapa pun, meski hanya manusia biasa insya Allah mampu menunaikannya. Beginilah seni berjuang di atas jalan-Nya. Dan hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.
Share:

Ganti Jam Makan



Beberapa waktu lalu, sebuah acara televisi di Jepang menayangkan program khusus untuk mengenal Islam. Selama 45 menit, pembahasan difokuskan seputar akidah serta ajaran-ajaran Islam lainnya. Tentu tak ketinggalan ialah syariat puasa.
Usai menjelaskannya sedikit, pembawa acara lantas bertanya, "Kalian tahu mengapa umat Islam berpuasa?"
"Karena ada perintahnya dalam Al-Qur'an?" seorang pria menyambar.
Pembaca acara tersebut membenarkan.
"Tapi ini kan sudah diajarkan sejak lama, pasti ada tujuannya?!" sahut pria lain.
"Ya, maksud dari perintah tersebut agar si kaya, si miskin, dan yang tidak bisa makan menjadi sama derajatnya. Sehingga kita bisa tahu bagaimana perasaan orang yang tidak makan."
Duh, kalau melihat penjelasan semacam itu, saya jadi malu sendiri. Rasanya sejak TK dan SD, kami sudah hafal di luar kepala. Guru-guru kami sampai berbusa menyampaikan hikmah puasa agar umat Islam dapat merasakan pahitnya perjalanan hidup mereka yang kekurangan.
Namun kenyataannya, kami tidak sebaik itu. Kami hanya mengganti jam makan. Kami sekadar menahan lapar dan dahaga di siang hari, kemudian membalaskan dendamnya sebakda azan maghrib.
Maka jangan heran bila pengeluaran konsumtif kami justru lebih besar dibandingkan bulan biasa.
Kami berpura-pura empati. Seolah-olah peduli. Kalau bukber tiba, sifat hedon kami pun tak tahu diri. Gaza, Suriah, itu cuma berita yang numpang lewat di televisi.
Ah, semoga ini bukan kami. Hanya saya saja yang sering tidak mau mengakui. Walau kenyataan kerap berbeda dengan teori, tetaplah belajar serta berbenah diri.
Sebab sebagaimana kata Anis Matta, ajaran Islam tetaplah agung. Namun cahayanya seakan tidak berpendar hanya karena belum bertemu keindahan akhlak Muslim.
Share:

Ikhlas


Mengukur ikhlas atau tidak itu mudah.
Salah satunya ketika amal tetiba bertambah di tengah banyak orang. Ibadah kian giat kala banjir sanjungan. Berkebajikan semakin semangat bila beroleh pujian. Memperindah laku demi tepuk tangan kawan-kawan.
Namun, tatkala sendiri, amal mengendur. Ibadah mulai libur. Berkebajikan tak lagi siap tempur. Laku berubah buruk sebab menyangka takkan ada yang menegur.
Apalagi jika merasa usaha dan kerja kerasnya tak dihargai. Ngambek. Baper. "Mendingan nggak usah ngerjain ini-itu, wong nggak dianggap," keluhnya.
Padahal, barangkali Salim A. Fillah itu benar. Memang ikhlas mungkin saja bak permata, emas, atau mutiara. Perlu diasah, dibakar, serta dicari terus-menerus. Walau di tengah proses itu, ada jiwa yang terluka, hendak dikelupas dari segala noda. Sampai akhirnya tampak jelas kemurniannya serta jernih kemilaunya.
Share:

Menjemput Hidayah



Buya Hamka pernah mengingatkan, bahwasannya hidayah itu ibarat pesawat. Apabila pesawatnya besar, maka diperlukan landasan yang besar pula. Namun jika pesawatnya kecil, landasan yang mungil pun cukup.
Begitu pula dengan hidayah. Hidayah nan agung memerlukan landasan yang luas lagi kokoh. Butuh wadah besar yang mampu menampungnya. Dan itu adalah ilmu.
Oleh karenanya, tak ada hidayah yang datang sendiri. Apalagi sekadar diwariskan. Ia butuh dijemput dengan berbagai ikhtiar untuk terus mendekatinya. Mengenalnya lebih dalam, memahaminya lebih jauh.
Maka saat jiwa bersinar dengan ilmu yang tepat, hilanglah kesombongan. Lahirlah tawadhu. Bersihlah hati. Sucilah nurani. Jiwa pun akhirnya siap menyambut hidayah.
Namun bila hidayah tak diilmui, jiwa takkan mengenal mana cahaya dan mana gelap. Hidayah berputar di atasnya, tetapi ia tak kunjung menyadarinya. Na'udzubillahi min dzalik.
Share:

Tahan



Sepertinya di era media sosial ini, menahan diri untuk tidak berkomentar adalah seni yang rumit. Keahlian yang membutuhkan teknik tinggi. Latihannya tiada henti. Bahkan mungkin hanya dimiliki oleh orang-orang dengan bakat tertentu.
Betul kata Ust. Salim A. Fillah, bisakah kita tidak mengeluarkan satu kata pun saat kesempatan itu datang? Ah, berat. Sungguh berat.
Kesempatan untuk terus menyerocos, padahal perkaranya tidak penting. Kesempatan untuk terus berbicara, padahal justru menimbulkan perdebatan. Kesempatan untuk terus berucap, padahal bisa jadi memunculkan perpecahan.
Sekali lagi, ini memang seni yang rumit. Sebab kita hidup di zaman ketika jempol lebih cepat mengetik daripada otak berpikir. Berbicara lebih didahulukan daripada merenung.
Untuk sepersekian detik, kita lupa bahwa ada kata-kata yang tampak tidak berbahaya, namun mengantar pengucapnya terjungkal ke neraka. Na'udzubillahi min dzalik.
Share:

Teman



Kalau keakraban kalian membuat sungkan menegur kesalahan sahabatmu, periksa kembali pertemananmu.
Kalau pertemuan kalian berputar pada perkara dunia semata, periksa kembali pertemananmu.
Kalau kawan-kawanmu tidak mengajak untuk berjalan di atas jalan-Nya, periksa kembali pertemananmu.
Beruntunglah mereka yang memiliki teman-teman bernuansa ukhrawi. Yang obrolannya adalah zikir, bercandanya adalah nasihat, pertemuannya adalah ilmu. Mereka yang berani meluruskan, saat kita salah. Mereka yang menopang, kala kita tergelincir. Mereka yang menyelamatkan, ketika kita hampir masuk ke jurang neraka.
Pegang erat mereka. Jangan lepaskan, sampai bertemu kembali dalam reuni di surga. Insya Allah.
Namun bila tidak demikian, periksa kembali pertemananmu. Bukan teman kalau ia mendiamkan kesalahan, tak mengantar pada kebaikan, serta membenarkan semua tindakanmu. Itu hanyalah pertemanan semu. Palsu. Buruknya, mungkin hanya bertahan di dunia. Na'udzubillahi min dzalik.
Share:

Khusyuk



Betapa sulitnya tenang dan fokus dalam shalat. Sebab kalau kita bicara khusyuk, berarti kita juga membicarakan turunan-turunannya.
Kalau kita bicara khusyuk, berarti kita berbicara tentang menyempurnakan wudhu. Membasuh setiap detail tubuh, termasuk jemari, wajah hingga tepi-tepinya, hingga lubang hidung.
Kalau kita bicara khusyuk, berarti kita berbicara tentang berpakaian yang terbaik. Memakai wewangian. Bahkan menghindari makan bawang atau jengkol sebelum shalat.
Kalau kita bicara khusyuk, berarti kita berbicara tentang memahami bacaan dalam shalat. Mengetahui maknanya. Membacanya sesuai kaidah tajwid. Penuh penghayatan, tidak terburu-buru.
Kalau kita bicara khusyuk, berarti kita berbicara tentang ihsan. Sadar bahwa shalat adalah dialog pada-Nya. Sadar bahwa jangan-jangan ini bentuk ibadah terakhir bagi-Nya.
Tentu masih banyak lagi faktor yang perlu diupayakan. Sulit memang, tapi bukankah ganjaran berbanding lurus dengan perjuangan?
Share:

Dakwah Cinta




Menyebut-nyebut (apa yang dianggap sebagai) kebaikan memang bukanlah adab Muslim. Berkebajikanlah, lalu lupakan. Namun masalahnya, orang sering khilaf melupakan kebaikan dari orang lain.
Suatu ketika, kakak saya menanyakan sesuatu yang sedang ramai di Instagram. Tentang sekelompok orang yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi, tahlilan, dan sebagainya. Lebih lanjut, ia ingin tahu apa dan siapa itu Wahabi.
Seperti biasa, kalau menemukan pertanyaan ini saya akan menjawab santai. Kadang sambil bercanda. Lalu berucap sederhana, "Ya itu beda pendapat aja sama kita. Nggak ada yang salah. Cuma karena kita terbiasa dengan satu pendapat aja, jadi kaget kalau mendapati ada orang lain yang pendapatnya berbeda."
Dengan bantuan Allah, saya selalu berupaya objektif apabila ada yang bertanya perihal Wahabi. Tentang istilah yang tak tepat sasaran. Tentang upaya memojokkan agama ini. Tentang akhlak kita jika berbeda pemikiran.
Apalagi saat terjadi pengusiran asatidz mereka di beberapa tempat. Saya turut gusar. Ikut marah. Hendak membela.
Saya senantiasa diajarkan bahwa kita semua adalah saudara. Selama pokok-pokok akidah kita serupa. Beda fikih, itu biasa. Kami mencintai kalian. Sekalipun tak ingin menjadi musuh.
"Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan.
Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini, selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.
Sungguh, kami berbuat di jalan Allah Swt. untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaat kami tak akan pernah menjadi musuh kalian." (Hasan Al-Banna, Risalah Dakwatuna)
Share:

Cinta itu Buta, Nak!



Cinta itu buta, Nak. Kamu lihat saja Putri Mako. Cucu tertua Kaisar Akihito itu rela melepas gelarnya demi sang kekasih. Tak apa menjadi warga biasa, asal hidup bersama pujaan hati.
Tapi itu belum seberapa, Nak. Bertahun-tahun silam ada lagi cinta yang lebih "buta".

Sebuta Bilal bin Rabah yang tubuhnya tertimpa batu besar, terlentang di atas tanah tandus, dijemur dalam panas nan terik. Tapi keimanannya tak goyah. Hanya perlu satu kata untuk membuatnya bertahan, "Ahad!"

Cinta itu buta, Nak. Sebuta Mush'ab bin Umair. Lelaki tampan nan parlente yang rela menjadi papa demi hijrah bersama Sang Nabi. Maka para sahabat menemukannya syahid sebakda Perang Uhud dengan sehelai kain. Yang bila kakinya ditutup, wajahnya masih tampak. Yang jika wajahnya ditutup, justru kakinya yang terlihat.

Cinta itu buta, Nak. Sebuta Sayyid Quthub di depan tiang gantungan. Ketika datang tawaran menduduki jabatan dalam pemerintahan tiran. Ketika datang jaminan kebebasan. Ia justru teguh, "Telunjuk seorang mukmin yang selalu diangkat saat shalat, sebagai bentuk pengakuannya terhadap ketauhidan Rabbul Alamin, tak selayaknya menulis sesuatu yang dapat menyebabkan murka-Nya."

Benarlah, Nak. Cinta itu memang buta. Tapi butalah pada dunia dan segala kenikmatan fana. Terjagalah pada tujuan yang hakiki serta kemenangan sejati.
Share:

Dialog dalam Al-Fatihah



Saya tak tahu. Ketika ada shalat tarawih ditempuh dalam waktu sekejap, jamaah saat itu sebetulnya sadar atau tidak. Bahwa di dalam shalat mereka, ada satu waktu khusus bagi manusia untuk berdialog dengan Tuhannya; Allah 'Azza wa Jalla.
Coba saja bicara dengan presiden dengan tempo yang cepat. Kadang artikulasinya tidak diperhatikan. Cuek saja. Bisa-bisa besok masuk surat kabar.

Waktu khusus tersebut ada kala kita membaca surat Al-Fatihah. Adalah Imam Muslim meriwayatkan suatu hadis qudsi yang diawali dengan kalimat-Nya nan indah, "Aku telah memisahkan shalat (al-Fatihah) antara Aku dan hamba-Ku dengan dua bagian. Dan akan Ku-kabulkan apa-apa yang diminta oleh hamba-Ku."

Jika hamba itu berkata, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam,” Allah berucap, “hamba-Ku telah memuji-Ku.”

Apabila hamba itu melanjutkan, “yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” Allah menjawab, “hamba-Ku telah menyanjung-Ku.”

Manakala hamba itu meneruskan, “ Yang Menguasai Hari Pembalasan,” Allah menimpali, “hamba-Ku telah memuliakan-Ku.”

Tatkala hamba itu sampai pada ayat, “kepada Engkau kami menyembah dan kepada Engkau kami meminta pertolongan,” Allah membalas, “ini adalah antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapat apa yang dimintanya.”

Bila hamba itu meminta, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat,” Allah firmankan, “semua ini adalah untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku akan mendapat apa yang dimintanya.”

Ah, kurang baik apa Allah sama kita? Hanya kita saja yang hampir setiap hari justru mengkhianati kebaikan tersebut.
Share:

Kalimat Sederhana



Di dalam kitab Tarikh-nya, Imam Hakim sebagaimana dikutip Jum'ah Amin dalam Fikih Dakwah, menuliskan sebuah riwayat. Bahwasannya Nazhar bin Syumail bercerita,
"Imam Khalil pernah ditanya tentang sesuatu masalah, maka beliau lambat dalam menjawab masalah tersebut. Maka aku katakan, 'Apakah masalah tersebut tidak ada jawabannya?' Lantas beliau menjawab, 'Saya telah menyelesaikan masalah tersebut beserta jawabannya. Namun saya ingin memberikan jawaban dengan kalimat yang lebih cepat kamu pahami."
Periksalah diri kita. Barangkali sebagian dari kita ternyata kerap menyulitkan sesuatu. Terjebak ingin banjir pujian serta sanjung manusia. Kemudian kita paksa agar apa-apa yang keluar dari lisan tampak indah, nyastra, tinggi kalimatnya. Atau memakai istilah-istilah yang bagi orang awam terlihat keren.
Kita mendekati para objek dakwah dengan sesuatu yang kita telah mencapai puncaknya. Sedangkan mereka belum memahami sama sekali.
Apabila demikian, tak heran jika banyak objek dakwah justru lari. Kabur. Kita pun akhirnya hanya menunggu hadis Rasulullah terwujud, "Tidakkah engkau berbicara dengan suatu kaum dengan bahasa yang tak terjangkau pikiran mereka, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka." (HR. Muslim)
Di antara penjelasan yang rumit tersebut, jangan-jangan sebenarnya kita sendiri yang belum paham. Lalu berlagak sok seperti pahlawan.
Tepatlah yang pernah disampaikan Albert Einstein, "If you can't explain it to a six year old, you don't understand itu yourself."
Share:

Ruh Kata


Ada orang yang kata-katanya begitu indah. Orasinya mantap. Kalimatnya padat lagi jelas. Temponya teratur. Semangatnya menggebu.
Namun, lisannya tak membuat ingat pada Allah. Kosong, bahkan kering. Tak menghadirkan spirit perubahan pada telinga-telinga yang mendengarnya.

Ada orang yang gaya bicaranya biasa saja. Tidak spesial. Diksinya standar.
Tapi sekali lidahnya berucap, hidayah seolah menyapa. Surga dan neraka seakan tampak di depan mata. Jiwa yang menyimaknya terasa tenang. Hati pun tak lagi resah. Nurani juga menyala.

Sebab bagi Abul Hasan Ali An-Nadwi, kata adalah sepotong hati.
Nilai sebuah kata tergantung pada kondisi hati. Pada keadaan ruhiyah kita. Itulah mengapa kita bisa nyaman berlama-lama menyimak ceramah Aa Gym, bahkan mengamalkan apa yang dinasihatkan olehnya. Walaupun ia tidak mengajak kita loncat-loncat, pegang dagu, atau pakai musik tertentu.
Tools perlu, tapi ruhiyah harus dibenahi dahulu.
Share:

Jiwa yang Menyesal


Di Hari Perhitungan kelak, seluruh jiwa niscaya kan menyesal. “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (Qs. Al-Qiyamah: 2)
Baik golongan penghuni surga maupun mereka yang tenggelam dalam panasnya neraka.
Sejenak setelah memandang keindahan surga. Lengkap dengan sungai-sungai jernih yang mengalir di bawahnya. Buah-buah ranum yang siap dipetik. Bidadari-bidadari nan jelita. Perhiasan yang dahulu diharamkan di dunia. Hingga perjumpaan dengan Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli surga pun menyesal.
"Aduhai, jika tahu surga senikmat ini, kami berharap dapat kembali ke dunia. Kami ingin beramal lebih banyak. Kami ingin menebarkan kebajikan lebih jauh lagi. Kami ingin sibuk dalam kebaikan lebih lama lagi."
Sayang, semuanya telah terlambat.

Sementara itu, sejenak setelah memandang kengerian neraka. Lengkap dengan api yang menyala-nyala. Buah zaqqum yang tak mengenyangkan. Air minum dari nanah yang tak melepas dahaga. Hingga perjumpaan dengan malaikat nan murka. Para ahli neraka pun menyesal.
"Aduhai, jika tahu neraka seseram ini, kami berharap dapat kembali ke dunia. Kami ingin bertaubat sekali lagi. Kami ingin meninggalkan seluruh dosa. Kami ingin menjauhi seluruh maksiat."
Sayang, semuanya telah terlambat.

Kita dan jiwa-jiwa lainnya kelak menyesal. Hanya saja, kita menyesal bersebab apa?

Share:

Maksiat



Apabila kita diberikan secangkir sirup, sedangkan cangkir tersebut berlumpur, akankah kita sudi meminumnya? Mau senikmat apa pun sirupnya, tentu kita akan merasa jijik. Sirup tersebut tak pantas dituang ke dalam gelas yang kotor.
Begitu pula dengan ilmu. Ia tidak akan merasuk ke dalam jiwa-jiwa berlumpur oleh maksiat.
Suatu ketika, Imam Syafi'i melaporkan kepada Imam Waki' mengenai hafalannya yang menurun. Imam Waki' pun berpesan singkat, "Jauhi maksiat."
Sebab ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada para ahli maksiat.
Padahal, siapa yang menyangsikan kemampuan hafalan Imam Syafi'i? Hafal Quran sejak usia 7 tahun, kemudian hafal ribuan hadis dalam kitab Al-Muwaththa' di umur 10 tahun.
Jangan-jangan banyak ilmu terhijab dari kita disebabkan oleh maksiat kita sendiri. Nastaghfirullah..
Share: