Nulis Suka-Suka

Ganti Jam Makan



Beberapa waktu lalu, sebuah acara televisi di Jepang menayangkan program khusus untuk mengenal Islam. Selama 45 menit, pembahasan difokuskan seputar akidah serta ajaran-ajaran Islam lainnya. Tentu tak ketinggalan ialah syariat puasa.
Usai menjelaskannya sedikit, pembawa acara lantas bertanya, "Kalian tahu mengapa umat Islam berpuasa?"
"Karena ada perintahnya dalam Al-Qur'an?" seorang pria menyambar.
Pembaca acara tersebut membenarkan.
"Tapi ini kan sudah diajarkan sejak lama, pasti ada tujuannya?!" sahut pria lain.
"Ya, maksud dari perintah tersebut agar si kaya, si miskin, dan yang tidak bisa makan menjadi sama derajatnya. Sehingga kita bisa tahu bagaimana perasaan orang yang tidak makan."
Duh, kalau melihat penjelasan semacam itu, saya jadi malu sendiri. Rasanya sejak TK dan SD, kami sudah hafal di luar kepala. Guru-guru kami sampai berbusa menyampaikan hikmah puasa agar umat Islam dapat merasakan pahitnya perjalanan hidup mereka yang kekurangan.
Namun kenyataannya, kami tidak sebaik itu. Kami hanya mengganti jam makan. Kami sekadar menahan lapar dan dahaga di siang hari, kemudian membalaskan dendamnya sebakda azan maghrib.
Maka jangan heran bila pengeluaran konsumtif kami justru lebih besar dibandingkan bulan biasa.
Kami berpura-pura empati. Seolah-olah peduli. Kalau bukber tiba, sifat hedon kami pun tak tahu diri. Gaza, Suriah, itu cuma berita yang numpang lewat di televisi.
Ah, semoga ini bukan kami. Hanya saya saja yang sering tidak mau mengakui. Walau kenyataan kerap berbeda dengan teori, tetaplah belajar serta berbenah diri.
Sebab sebagaimana kata Anis Matta, ajaran Islam tetaplah agung. Namun cahayanya seakan tidak berpendar hanya karena belum bertemu keindahan akhlak Muslim.
Share:

0 comments:

Post a Comment