Menyebut-nyebut (apa yang dianggap sebagai) kebaikan memang bukanlah adab Muslim. Berkebajikanlah, lalu lupakan. Namun masalahnya, orang sering khilaf melupakan kebaikan dari orang lain.
Suatu ketika, kakak saya menanyakan sesuatu yang sedang ramai di Instagram. Tentang sekelompok orang yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi, tahlilan, dan sebagainya. Lebih lanjut, ia ingin tahu apa dan siapa itu Wahabi.
Seperti biasa, kalau menemukan pertanyaan ini saya akan menjawab santai. Kadang sambil bercanda. Lalu berucap sederhana, "Ya itu beda pendapat aja sama kita. Nggak ada yang salah. Cuma karena kita terbiasa dengan satu pendapat aja, jadi kaget kalau mendapati ada orang lain yang pendapatnya berbeda."
Dengan bantuan Allah, saya selalu berupaya objektif apabila ada yang bertanya perihal Wahabi. Tentang istilah yang tak tepat sasaran. Tentang upaya memojokkan agama ini. Tentang akhlak kita jika berbeda pemikiran.
Apalagi saat terjadi pengusiran asatidz mereka di beberapa tempat. Saya turut gusar. Ikut marah. Hendak membela.
Saya senantiasa diajarkan bahwa kita semua adalah saudara. Selama pokok-pokok akidah kita serupa. Beda fikih, itu biasa. Kami mencintai kalian. Sekalipun tak ingin menjadi musuh.
"Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan.
Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini, selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, menguasai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami.
Sungguh, kami berbuat di jalan Allah Swt. untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta. Sesaat kami tak akan pernah menjadi musuh kalian." (Hasan Al-Banna, Risalah Dakwatuna)
0 comments:
Post a Comment