Nulis Suka-Suka

Resensi Novel Pergi: Memburu Makna Hidup di Belantara Shadow Economy




Ada dua momen paling penting dalam hidup. Pertama, ketika kita dilahirkan. Kedua, saat kita tahu mengapa.

Sepanjang sejarah kehidupan, manusia selalu bertanya: siapa mereka, sekarang ada di mana, dan mau menuju ke mana. Setiap individu akan mencapai suatu titik untuk bertanya demikian pada dirinya sendiri. Itulah pertanyaan dasar yang harus dijawab. Dan itu pula yang berkelindan di benak Bujang saat ini. Ia bukan Tauke Besar biasa, memuaskan ambisinya tanpa putus. Ia Bujang, pemilik darah tukang pukul terbaik negeri sekaligus pewaris darah seorang ulama besar.


***


Melanjutkan novel Pulang, Pergi dibuka dengan adegan penyerbuan ke markas El Pacho di Meksiko. Bersama si kembar Kiko dan Yuki, White, serta Salonga, Bujang hendak merebut teknologi pendeteksi serangan siber milik Keluarga Tong yang dicuri oleh salah satu penguasa shadow economy di Asia Pasifik tersebut.

Pembukaan semacam ini seolah mengindikasikan bahwa Pergi akan berjalan dalam tempo yang cepat. Tidak bertele-tele mengenalkan karakter atau membangun konflik cerita. Pembaca lekas dihadapkan pada situasi menegangkan, pertempuran antara dua kelompok shadow economy. Rasa penasaran pembaca semakin membuncah, ketika Tere Liye menghadirkan tokoh baru. Memakai bahasa Bujang, lantas menyebut Bujang sebagai adik lelakinya. Hmm, siapa dia?

“...Aku harus pergi. Adios, Hermanito.” (hal. 26)

Berawal dari penyerbuan itu, alur Pergi merangsek maju. Sepeninggal Tauke Besar sebelumnya, Bujang yang kini menjadi Tauke Besar baru berhasil mengembangkan bisnis Keluarga Tong. Mereka tidak lagi bergerak di bidang bisnis kotor selayak perjudian, narkoba, atau perdagangan obat-obatan. Keluarga Tong telah bertransformasi selama dua puluh tahun terakhir, begitu pula beberapa penguasa shadow economy lainnya.

“Catat baik-baik: satu di antara empat kapal di perairan dunia adalah milik keluarga penguasa shadow economy. Satu di antara enam properti penting di dunia adalah milik shadow economy. Bahkan satu di antara dua belas lembar pakaian, satu di antara delapan telepon genggam, satu di antara sembilan website adalah milik jaringan organisasi shadow economy. Media sosial raksasa tempat banyak orang memposting foto, status, atau aplikasi transportasi online misalnya, itu ada miliki shadow economy—disamarkan lewat startup yang sesungguhnya dimodali oleh keluarga shadow economy. Berapa besar nilai bisnis shadow economy? Nyaris seperempat dari GDP (gross domestic product/produk domestik bruto) dunia.” (hal. 39)

Total ada delapan keluarga besar shadow economy di dunia. Aturan mereka sederhana: fokus pada bisnis dan kawasan masing-masing, tidak perlu mengganggu keluarga lain. Namun, bisnis tetaplah bisnis. Langit tidak cukup menjadi batas keserakahan manusia.

Master Dragon selaku penguasa Hong Kong ternyata menghimpun kekuatan untuk  menghabisi Keluarga Tong. Aliansi terbentuk. Keluarga Wong dari Beijing, Keluarga Lin dari Makau, dan El Pacho dari Meksiko turut bergabung. Mereka juga menyewa Sersan Vasily Okhlopkov, sniper terbaik dunia dan Yurii Kharlistov, pembuat bom ternama.

Keluarga Tong terancam. Atas saran orang-orang kepercayaannya, Bujang berupaya mencari sekutu. Negosiasi dijalankan untuk merebut kepercayaan Keluarga Yamaguchi di Jepang dan Keluarga Krestniy Otets, pimpinan Bratva Rusia. Adapun Keluarga J.J. Costello di Florida tidak pernah ikut berperang. Dibandingkan menguasai Asia Pasifik, mereka lebih suka berekspansi ke Eropa, Amerika, dan Australia.

Well, di sini tidak ada twist berupa pengkhianatan orang dalam, kok. Tidak seperti di Pulang. Jadi nggak perlu menebak-nebak, hehe.

Di tengah usaha menstabilkan kawasan Asia Pasifik, Bujang lagi-lagi bertemu hantu masa lalunya. Ia dipaksa mengingat kembali kisah ibunya, Midah dan bapaknya, Samad melalui kehadiran si kakak tiri. Mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau melalui sekumpulan surat berisi cerita-cerita yang belum pernah dituturkan siapapun.

Mampukah Bujang mengalahkan Master Dragon? Siapakah sebenarnya kakak tiri Bujang dan apa alasan di balik kemunculannya yang mendadak? Novel setebal 455 halaman ini siap menjawab itu semua.


***


Kehadiran Pergi seakan mengobati rindu para pembaca yang bertanya-tanya, “Akankah Tere Liye kembali menerbitkan buku?” Menyusul pernyataan beliau yang memutuskan untuk berhenti dari dunia perbukuan sampai keadilan pajak bagi penulis ditegakkan. Alhamdulillah, novel-novel Tere Liye masih bisa terus dinikmati pembaca.

Pergi juga seperti menjawab kebingungan saya seusai menuntaskan Pulang. Baiklah, Bujang telah memaafkan masa lalunya, rela memeluk seluruh rasa sakit. Tapi sehabis itu, apa? Memang, saya pun tak berharap Bujang bertaubat atau Keluarga Tong tiba-tiba berbisnis syariah dengan menjual gamis dan jilbab. Hei! Pulang bukan novel Islami, meski terselip nilai-nilai moral di sela paragraf-paragrafnya. Hanya saja, ending Pulang masih terasa menggantung—cliffhanger.

Melalui novel ini, pencarian Bujang atas jati dirinya dimulai. Dia sudah memahami posisinya. Bujang bukan lagi sekadar penyelesai konflik tingkat tinggi, tetapi seorang Tauke Besar! Status barunya mendorong Bujang bertafakkur, “Mau dibawa ke mana Keluarga Tong?”

Pertanyaan mengenai siapa kita, sekarang ada di mana, dan hendak menuju arah mana merupakan pertanyaan dasar kehidupan. Setiap individu akan mencapai titik untuk bertanya demikian pada dirinya sendiri. Selama berabad-abad, manusia bahkan merumuskan sejumlah jawabannya. Membuat teori ini, teori itu. Menyusun konsep ini, konsep itu. Sebuah pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban panjang. Dan itulah yang sedang Bujang pikirkan.

“...Sejatinya, ke mana kita akan pergi setelah tahu definisi pulang tersebut? Apa yang harus dilakukan? Berangkat ke mana? Bersama siapa? Apa ‘kendaraannya’? Dan ke mana tujuannya? Apa sebenarnya tujuan hidup kita? Itulah persimpangan hidupmu sekarang, Bujang. Menemukan jawaban tersebut. ‘Kamu akan pergi ke mana?’, Nak.” (hal. 86)

Di tengah perseteruan aliansi Keluarga Tong melawan Master Dragon beserta para sekutunya, Bujang terus bergulat dengan batinnya. Ini menarik, sebab pertanyaan rumit nan filosofis di atas tidak dijawab melalui dialog membosankan atau kalimat-kalimat bijak klasik. Tetapi melalui bentangan episode hidup yang panjang.

Walau demikian, sebagaimana novel Tere Liye terdahulu, Pergi juga memiliki tokoh-tokoh ‘tua’ yang kadang menyampaikan petuah. Kali ini ada Tuanku Imam dan Salonga.

***

Pembaca biasanya memiliki ekspektasi lebih terhadap sebuah sekuel. Begitu juga saya ketika menyeksamai novel ini. Untungnya, Pergi tidak kalah hebat dari Pulang. Tema filosofis mengenai makna hidup disajikan secara apik di tengah dunia shadow economy.

Apakah shadow economy itu benar-benar nyata?

Saya tergolong orang yang percaya pada teori konspirasi. Dalam artian, yang tersiar di media sering kali berbeda pada kenyataannya. Kalaupun bukan kebohongan, minimal ada fakta yang disembunyikan. Dari buku How The World Works karangan Noam Chomsky contohnya, kita akhirnya tahu bahwa banyak kericuhan terjadi di negara-negara Amerika Latin karena terdapat campur tangan Amerika Serikat. Yes, they are always in the middle of things. Dan media saat itu tidak memberitakannya.

Dari Membentangkan Ketakutan-nya Shofwan Al-Banna kita juga memperoleh fakta bahwa program penanggulangan terorisme di seluruh dunia—termasuk Indonesia—berawal dari doktrin keamanan ala Amerika Serikat. ‘With us or against us’, begitu slogannya.

Hingga hari ini memang tidak ada definisi pasti mengenai shadow economy. Para pakar juga kadang menyebutnya sebagai black economy atau underground economy. Seluruh aktivitas bisnis yang lenyap dari pantauan pajak atau tidak benar-benar tercatat dalam GDP, umumnya dianggap perbuatan shadow economy.

Persentase shadow economy dalam GDP di beberapa negara/Forbes

Hanya saja, dari apa yang kita dapat dalam Pulang dan Pergi, shadow economy tidak sesederhana itu. Dulu mungkin aktivitas ekonomi mereka bergerak di bawah tanah. Tetapi sekarang mereka pun merambah bisnis terbuka. Kalau di Indonesia, kasusnya mungkin mirip 9 Naga. Mereka adalah para tokoh yang diyakini menguasai perekonomian negeri ini. Bisnisnya bukan bisnis gelap. Melainkan perusahaan mobil, bank, maskapai, properti, rokok, elektronik, dan masih banyak lagi. Sebagian besar dari apa yang masyarakat pakai sehari-hari adalah produk mereka, dan kadang kita tidak menyadarinya.

Tema mengenai makna hidup dan shadow economy, barangkali memang itulah kekuatan dari novel Pergi. Di samping itu, tampak pula keunggulan lain di tengah cerita. Mulai dari adegan pertarungan yang detail, nuansa film action ala Hollywood, penokohan dengan karakter yang seolah hidup di kepala pembaca, hingga deskripsi latar yang tidak berlebihan. Mirip seperti Pulang.

Saya juga ingin mengulas sedikit yang menjadi ciri khas Pergi:

1. Sampul Depan

Novel ini memiliki desain cover berupa sebuah jalan yang dikelilingi gedung-gedung bertingkat. Menggambarkan kondisi kehidupan Bujang dan Keluarga Tong yang kini telah pindah ke Ibu Kota Negara. Sepanjang cerita, Bujang juga kerap bolak-balik ke negara dan kota besar. Daratan Sumatera tidak disebut kecuali sedikit. Bandingkan dengan cover baru Pulang yang melukiskan suasana pedesaan, lengkap dengan pepohonan, rumah sederhana, dan perbukitan. Sebab dari situlah jalan cerita Pulang bermula.

2. Tanpa Footer

Bagi saya, footer dalam novel itu sedikit mengganggu. Saya hanya ingin menikmati sampai habis, tanpa dipusingkan oleh istilah rumit yang membutuhkan penjelasan lanjutan. Untungnya, Pergi tidak memiliki itu. Sesekali memang muncul bahasa asing, seperti bahasa inggris, bahasa spanyol, dan jepang. Namun, makna dari setiap kata diterjemahkan langsung dalam dialog.

“White konsentrasi penuh mengendalikan setir, mobil jip melintasi tumpukan kontainer di halaman stasiun, juga beberapa gantry crane—alat bongkar muat kontainer.” (hal. 30)

Maraming Salamat Po Imam, terima kasih atas sambutannya yang ramah.” Salonga balas mengangguk takzim, mereka berdua saling bersalaman. (hal. 81)

3. Thomas dan Koenraad Philips

Siapa mereka berdua?

Sebelum novel Tentang Kamu terbit, Tere Liye pernah bilang bahwa beliau hendak membuat sejumlah eksperimen. Salah satunya crossover tokoh. Dan di novel ini, eksperimen itu diterapkan kembali.

Maka kita akan menemukan tokoh Thomas dari Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk bertemu dengan Bujang. Meski sesaat, tetapi perannya cukup penting untuk menemukan bom di pernikahan anak Keluarga Yamaguchi. Adapun Koenraad Philips, si nahkoda kapal Von Humboldt, bisa kita kira-kira merupakan buyut dari Kapten Philips dalam novel Rindu berdasarkan keterangan penulis.

“Nama lengkap nahkoda itu adalah Koenraad Philips. Ayahnya seorang nahkoda, kakeknya seorang nahkoda, ayah dari kakeknya pun seorang nahkoda terkenal di era 1930-an. Dia mewarisi darah pelaut tangguh, sekaligus mewarisi nama keluarga ‘Philips’.” (hal. 382)

Siapa tahu nanti Soke Bahtera dari Hujan bisa bertemu si jenius Ali dari serial Bumi, hehe.

Sayangnya, dengan segala keunggulan itu, Pergi tetap tidak bisa lepas dari kekurangan. Di antaranya:

·         Typo. Hampir tidak ada buku yang ‘bersih’ seratus persen, sedikit kesalahan ketik dianggap wajar. Namun bagi novel yang sudah masuk cetakan keempat, harapan pembaca tentulah tinggi. Kesalahan ketik paling parah menurut saya terletak pada header berikut. Lokasinya terlalu menonjol untuk terlewat saat pengecekan.

"Tehnik Kelelawar"

·         Inkonsistensi penulisan. Contohnya, penulisan gelar panggilan orang Jepang pada kata “Hiro-san”. Terkadang diketik menggunakan huruf miring (Hiro-san), kadang diketik biasa saja (Hiro-san).

Perbedaan penulisan "Hiro-san"

Secara subjektif, saya menilai ada perbedaan mendasar antara Pulang dan Pergi. Meski masih membahas shadow economy, novel Pergi lebih diwarnai nilai-nilai filosofis kehidupan. Adegan pertarungannya lebih sedikit dibandingkan novel Pulang. Terlebih, beberapa adegan tampak ganjal. Salah satunya pada bagian Interogasi Tingkat Tinggi. Cukup mengherankan Bujang bisa menebak isi kepala orang hanya melalui ludahan dan dengusan. Alangkah lebih masuk akal apabila Bujang, misalnya, membaca mikro ekspresi selayak interogasi-interogasi dalam serial TV Lie to Me atau The Mentalist.

Di luar itu semua, kelanjutan kisah Bujang masih layak dinantikan. Di samping itu, masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Siapakah sebenarnya sosok Yurii Kharlistov? Rencana apa yang akan dibuat kakak tiri Bujang terhadap seluruh keluarga penguasa shadow economy? Ke mana Bujang sesungguhnya akan pergi setelah turun dari tahta Keluarga Tong? Bahkan, apakah Bujang akan menikah? Hehe. Ujung dari pengembaraan ini patut ditunggu!

"Cerita-cerita dongeng memang fiksi, tapi inspirasi yang ditimbulkan jelas nyata." (hal. 128)


Judul: Pergi
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika Penerbit, Jakarta
Tebal: iv+455 halaman; 13.5 x 20.5 cm
Cetakan: IV, Juni 2018
Nomor ISBN : 978-602-573-405-2

Share:

4 comments:

  1. Great!
    Always like your review, Bro.
    Standing applause ^_^

    ReplyDelete
  2. Haloo salam kenal kak. Aku juga suka baca beberapa novelnya bang tere. Mantap kak, lengkap bgt ulasan buku nya, sampai ke typo juga hehe. Oiya mau nambahin.
    Ada typo jg di hal 107. Paragraf awal. Penulisan "yag" seharusnya "yang"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal juga kak. Iya nih memang banyak typo di Pergi, tapi untungnya tetap nggak bisa ngalahin serunya petualangan Bujang hehe..

      Delete