Nulis Suka-Suka

Visi dan Misi Islam



Sejak berabad-abad silam, filsuf-filsuf Yunani dan negeri lainnya memikirkan berbagai hal mendasar seputar hakikat manusia serta alam semesta. Sebagai seorang filsuf yang mencoba berpikir menyeluruh, mereka mencari tahu hakikat kehidupan, konsep Tuhan, alam, manusia, hingga moral. Sayangnya, para filsuf tersebut tidak memperoleh informasi berupa wahyu atau bahkan menolaknya. Sehingga otomatis mereka akan berspekulasi. Wahyu inilah yang membedakan konsep berpikir menurut pandangan hidup (worldview) Islam dengan para filsuf tersebut. Malangnya, kata Adian Husaini, berspekulasi kemudian diberi nilai yang sangat tinggi yaitu sedang berfilsafat![1]

Islam sebagai agama wahyu, telah memberikan berbagai macam ilmu kepada manusia secara jelas dan tidak spekulatif. Mengenai asal-usul manusia misalnya, sudah sangat jelas yaitu berasal dari Nabi Adam a.s.. Wahyu juga menuntun manusia untuk memahami konsep agama itu sendiri. Terutama mengenai visi dan misi yang dibawa oleh Islam.

Pada dasarnya, Islam membawa dua visi besar, yaitu Allah dan Hari Akhir (Akhirat). Hal ini telah disinggung dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. dengan menggabungkan keduanya lalu menyambungnya dengan perbuatan tertentu sebagai indikator kesempurnaan iman.

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat...” (Qs. Al-Baqarah: 228)

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat...” (Qs. An-Nur: 2)

Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Qs. Al-Mujadilah: 22)

Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (H.r. Bukhari dan Muslim)

Ketika manusia meyakini Allah sebagai tujuan (ghayah), maka ia akan berupaya memahami hakikat Tuhannya dan hakikat dirinya sebagai seorang hamba. Sebagaimana konsep Naquib Al-Attas saat menjelaskan makna kata Din yang terkait dengan keberhutangan. Baginya, manusia berada dalam keadaan berhutang (da’in/debitor). Oleh karena itu, seorang penghutang mesti menundukkan dirinya, berserah, dan taat pada hukum serta aturan dalam berhutang. Ketundukan tersebut juga ditunjukkan kepada si Pemberi hutang (da’in/creditor).[2]

Ketundukan yang dimaksud ialah ibadah dan memurnikan penghambaan mutlak kepada Allah Swt. semata.

Katakanlah: ‘Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’" (Qs. Al-An’am: 162-163)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Adz-Dzariyat: 56)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Qs. Al-Bayyinah: 5)

Selain kepada Allah, manusia juga dituntun untuk meletakkan orientasinya pada Hari Akhir. Pada saat itulah seluruh perbuatan manusia dibalas dengan seadil-adilnya. Tiada kebaikan atau kejahatan sebesar dzarrah pun, kecuali pasti mendapatkan ganjaran. Kala itu, semua yang tersembunyi akan tersingkap dan janji-janji Allah akan ditampakkan-Nya.

Manusia yang hatinya dipenuhi keyakinan pada Hari Akhir, akan menjadi manusia yang penuh tanggung jawab. Ia akan memiliki kesadaran hukum, walau pengawas hukum tersebut tidak tampak olehnya. Sebab ia sadar, bahwa apa yang diperbuatnya pasti memperoleh balasan. Ia senantiasa berhati-hati untuk berbuat kezhaliman, menjauhi kemaksiatan, meninggalkan dosa, dan berhenti membuat kerusakan. Sebaliknya, ia akan bersemangat mendulang pahala, memperbanyak amal shalih, dan mengadakan perbaikan-perbaikan (ishlah) demi memakmurkan bumi.

Untuk mencapai kedua visi tersebut, Islam memiliki tiga misi yang harus ditempuh oleh setiap manusia. Yakni, misi manusia dalam kaitannya dengan hakikat kehidupan, misi manusia dalam kaitannya dengan hakikat dirinya , dan misi manusia dalam kaitannya dengan alam.

Kehidupan dunia digambarkan oleh Al-Qur’an antara lain sebagai mata’u al-ghurur[3] (kesenangan yang menipu), la’ibun wa lahwun[4] (permainan dan senda gurau), dan al-tafakhur bainakum[5] (kompetisi dalam kesombongan). Dunai terlihat indah di mata manusia. Sehingga banyak manusia berupaya mendapatkannya dengan segala cara. Manusia berbangga dengan harta, anak, dan kedudukannya. Islam memang tidak melarang manusia untuk mengejar kesenangan duniawi, tetapi duniawi itu mestilah berpadu dengan kepentingan ukhrawi (Allah dan Hari Akhir). Kehidupan merupakan persinggahan sementara. Di dunia inilah manusia diuji. Mana yang orientasinya sesuai dengan visi Islam, dan mana yang tidak. Jika hidupnya sesuai visi Islam, manusia tidak akan menggunakan hidupnya untuk kenikmatan sesaat. Ia sadar bahwa dunia adalah ladang amal yang mesti digarapnya untuk dipanen di akhirat kelak.[6]

Dalam kaitannya dengan hakikat dirinya sendiri, manusia merupakan makhluk yang diciptakan untuk menjadi khalifah, raja, serta pemakmur bumi. Tentunya seorang raja tidak akan berbuat semena-mena. Ia terikat pada sekumpulan aturan (protokol). Seorang raja harus berlaku adil dan berbuat ihsan pada makhluk lainnya.

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan ihsan.” (Qs. An-Nahl: 90)

Dan berbuat ihsan-lah kalian, karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Qs. Al-Baqarah: 195)

Adil ialah menempatkan sesuatu sesuai pada porsinya. Sedangkan ihsan ialah berlaku baik (profesional) dalam segala hal. Jika adil itu kebaikan dibalas kebaikan dan kejahatan dibalas kejahatan, maka ihsan itu kejahatan dibalas dengan kebaikan dan kebaikan dibalas dengan kebaikan berlipat. Bahkan dalam menyembelih pun, manusia diharuskan berbuat ihsan pada makhluk lainnya. Dalam hal ini adalah binatang sesembelihan.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Karena itu, jika membunuh (yang dibenarkan syari’at), bunuhlah dengan ihsan. Dan jika menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Tajamkan pisau dan jangan membuat hewan sesembelihan menderita.” (H.r. Muslim)

Sebagai makhluk, manusia juga mesti berlaku adil pada Sang Khalik (pencipta). Yaitu menempatkannya pada posisi yang tepat. Tidak menduakannya pada sesuatu lain. Hanya meminta, memohon pertolongan, menggantungkan harapan dan menghajatkan sesuatu kepada-Nya.

Bersama alam, manusia dipersilakan untuk mengeksplorasi dan mengatur hubungan sosial seluas-luasnya. Manusia diminta untuk mengoptimalkan kemampuan dan kapasitas akalnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Eksplorasi alam ini tetap dibingkai dengan orientasi pada Allah dan Hari Akhir. Sehingga manusia dapat mencapai pengetahuan rububiyah-nya Allah dan bertanggung jawab pada eksplorasi yang dilakukannya.

Dengan memahami hakikat kehidupan sebagai ujian dan persinggahan sementara, hakikat dirinya sebagai seorang makhluk yang harus berbuat adil dan ihsan, serta hubungannya pada alam, lengkaplah misi manusia di dunia untuk mencapai visinya di akhirat, yaitu Allah dan Hari Akhir.

Konsep wahyu serta visi dan misi kehidupan dalam worldview Islam ini berbeda jauh dengan konsep Barat. Dengan menolak konsep wahyu, otomatis mereka tidak memahami apalagi meyakini konsep visi yang terkait dengan kehidupan sesudah mati. Mereka membatasi definisi keilmiahan pada sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca indera saja. Karena tidak meyakini adanya Allah dan Hari Akhir, tentu saja berpengaruh pada kehidupan mereka dalam kaitannya dengan hakikat kehidupan, makhluk, dan alam. Masyarakat Barat cenderung berbuat sesuka hati, tanpa berpikir bahwa apa yang diperbuatnya akan dipertanggungjawabkan. Standar salah dan benar itu pun menjadi kabur. Apa yang salah menurut Allah, dianggap sesuatu yang lazim oleh mereka.

Barat tidak menganggap hidup ini sebagai ujian dan ladang yang harus digarap. Untuk itu, mereka juga tidak mengenal konsep adil dan ihsan secara menyeluruh. Kalaupun banyak masyarakat Barat bekerja secara profesional, namun itu semata karena tuntutan profesi. Orientasinya tidak berangkat dari pemahaman pada Allah dan Hari Akhir. Memang diakui, Barat saat ini unggul dalam kegiatan eksplorasinya pada alam. Tapi hanya itu saja ia memahami konsep misi hidupnya di dunia. Barat tidak memadukan kegiatan duniawinya dengan kepentingan ukhrawi (dikotomi). Sedangkan dengan konsep visi-misi ini, Islam menegaskan bahwa konsepnya berlaku tauhidi: menggabungkan aktivitas duniawi dengan orientasinya pada akhirat.

Allahu a’lam.

Rangkuman:

Visi Islam:

1. Allah
2. Hari Akhir

Misi Islam:

1. Kehidupan dunia adalah ujian, ladang beramal untuk akhirat.
2. Manusia berperan sebagai pemimpin, khalifah, sekaligus pemakmur bumi.
3. Manusia bebas mengeksplorasi alam dalam bingkai visi Islam.




[1] Adian Husaini dkk, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hal. xx.
[2] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2011), hal. 63-65.
[3] Lihat Qs. Ali Imran: 185 dan Al-Hadid: 20.
[4] Lihat Qs. Al-An’am: 32.
[5] Lihat Qs. Al-Hadid: 20.
[6] Kadar M. Yusuf, Konstruksi Ilmu dan Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2015), hal. 18-22.

Share:

0 comments:

Post a Comment