Meski
belum ada definisi pasti mengenai Pluralisme Agama, namun penganut paham ini
terus saja bertambah. Termasuk dari para cendekiawan Muslim sendiri. Pluralisme
Agama yang memandang semua agama sama dan tidak boleh ada yang mendeklarasikan truth
claim, tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika semua agama itu sama,
maka tidak akan ada cerita Rasulullah mengirim surat dan delegasi ke Romawi,
Persia, Ethiopia, dan daerah lain. Mengajak raja dan seluruh rakyatnya agar
masuk Islam.
Aslim, taslam. “Masuk Islamlah, maka engkau akan selamat.”
Namun, para cendekiawan
Muslim itu justru berlindung di balik ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satu ayat yang
kerap mereka pakai sebagai justifikasi ialah surat Al-Baqarah ayat 62 yang
mengisyaratkan bahwa pluralisme sebetulnya sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Bahkan secara tegas tertera dalam Al-Qur’an.
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Qs. Al-Baqarah: 62)
Dengan begitu, siapa
pun—baik muslim, Yahudi, atau Nasrani sekali pun—asalkan beriman kepada Allah
dan hari akhir, kemudian beramal shalih, maka mereka pasti akan menerima pahala
dari Tuhannya. Anehnya, para cendekiawan ini sering mengabaikan Al-Qur’an,
bahkan menyebutnya sudah tidak relevan dengan zaman modern. Tetapi ketika ada
ayat yang seakan mendukung doktrin mereka, mereka tidak segan-segan
menyatutnya.
Benarkah makna ayat
tersebut sesederhana itu?
“Aku pernah bertanya
kepada Nabi Saw. tentang pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari
mereka,” tutur Salman Al-Farisi r.a. “Maka aku menceritakan kepada beliau
tentang cara shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah firman-Nya, “Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian,” hingga akhir ayat.”[1]
Riwayat di atas merupakan asbabun
nuzul surat Al-Baqarah ayat 62 yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir di dalam
kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Demikian juga oleh Imam Ath-Thabari di
dalam kitab Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an, Imam As-Suyuthi, dan
oleh ‘ulama tafsir lainnya.
“Sebelum ayat 62
Al-Baqarah, ayat-ayat sebelumnya telah banyak mengecam dan mengancam
orang-orang Yahudi yang durhaka dalam konteks nikmat-nikmat Tuhan yang
diberikan kepada mereka (lihat ayat 41 hingga 61). Tentu saja ancaman ini
menimbulkan rasa takut. Melalui ayat ini Allah memberi jalan keluar sekaligus
ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri.”[2]
Memahami tafsir Al-Qur’an
tidaklah bisa sekadar membaca terjemahan saja. Sebab menjadi mufassir dan
menafsirkan Al-Qur’an membutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Salah
satunya ialah dengan memahami asbabun nuzul ayat tersebut. Jika kita
tidak memiliki kemampuan sebagai seorang mufassir, maka berbesar hatilah.
Merujuk kepada ulama-ulama mu’tabar dan tafsir-tafsir yang telah diakui
dalam dunia Islam.
Dengan begitu, orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang dimaksud dalam ayat tersebut dinisbahkan kepada
sahabat-sahabat Salman Al-Farisi sebelum Islam datang. Setelah Islam datang,
maka semua bentuk peribadahan, agama, dan pemikiran-pemikiran lain dihapuskan
dan harus mengikuti syariah Islam. Begitu pula kaum Shabiin yang menyembah
bintang-bintang.
Perintah beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, menurut Ibnu Taimiyah, merupakan konsekuensi-konsekuensi
lainnya yang berarti masuk Islam.[3]
Penyebutan kedua rukun tersebut sudah mencakup semua rukun iman. Banyak
perkataan Rasulullah yang hanya menyebut dua rukun tersebut, tapi bukan berarti
makna iman hanya sebatas dua rukun itu saja.
Kalaupun para cendekiawan
Muslim terus memaksa menggunakan ayat ini, ketahuilah sesungguhnya hukum dalam
ayat ini telah dihapus (nasakh) oleh surat Ali Imran ayat 85,
“Siapa yang mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Pendapat ini
merujuk kepada Ibnu Abbas dan diperkuat oleh Al-Qasimi, Wahbah Zuhaili, dan
mufassir-mufassir lainnya.[4]
Jadi kesimpulannya,
menurut Dr. Syamsuddin Arif dalam Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
para ulama tafsir baik kalangan salaf maupun khalaf sepakat bahwa: (1) ayat 62
surat Al-Baqarah tersebut berkenaan dengan para sahabat Salman Al-Farisi yang
belum sempat masuk Islam, (2) orang-orang yang munafik dari kalangan Muslim,
Yahudi, maupun Nasrani adalah kuffar tak beriman, (3) keselamatan, kedamaian,
dan kebahagiaan akhirat hanya dapat diraih melalui iman sejati dan amal shaih
sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw.
Allahu a’lam. []
0 comments:
Post a Comment