Pada tanggal 10 November 2012,
harian Republika menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Jalaluddin
Rakhmat bertajuk “Menyikapi Fatwa Tentang Fatwa”. Ketua Dewan Syura Ikatan
Jamaah Ahlulbait Indonesia itu menulis tanggapan atas tulisan KH. Ma’ruf Amin
berjudul “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” yang sempat dimuat harian Republika pada
tanggal 8 November 2012. Fatwa yang dimaksud ialah fatwa mengenai kesesatan
Syiah, terutama ketika kasus Syiah Sampang merebak.
Jalaluddin menilai bahwa fatwa yang
dikeluarkan MUI Jatim dan MUI Sampang adalah sebuah kesalahan. Fatwa ini justru
mengakibatkan pertumpahan darah.
“Fatwa
salah yang disampaikan oleh lembaga yang mengklaim berhak memberikan fatwa,
sama seperti obat yang salah yang diberikan kepada pasien. Alih-alih
menyembuhkan, ia bisa membunuh. Di antara fatwa yang telah ikut serta,
atau menyertai terbunuhnya seorang muslim di
Sampang, adalah fatwa MUI Sampang. Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang
menambahkan lagi hukuman dua tahun di atas dua tahun penjara sebelumnya yang
diputuskan Pengadilan Negeri Sampang berkaitan dengan fatwa
MUI Jawa Timur.”[1]
Selain itu, Jalaluddin juga menyebut agar MUI Jatim dan
KH. Ma’ruf Amin menengok kembali Risalah Amman yang disepakati ulama di seluruh
dunia Islam pada tanggal 4-6 Juli 2005. Terutama poin pertama yang terdapat
dalam deklarasi tersebut.
“(1) Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Malik, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan.”[2]
Jalaluddin juga
mengutip kesepakatan para pemimpin Islam sedunia yang tertuang dalam Deklarasi
Bogor.
“Mendesak seluruh kaum Muslim, yang mengakui
keyakinan mereka dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul-Nya , untuk menjunjung prinsip-prinsip fundamental tersebut, yang
berlaku sama bagi kaum Syiah maupun Sunni sebagai suatu landasan kesamaan bahwa
setiap perbedaan keyakinan adalah semata-mata perbedaan pendapat dan penafsiran
serta bukan merupakanperbedaan keyakinan yang mendasar atau menyangkut
substansi Rukun Islam.”[3]
Sayangnya,
menurut Fahmi Salim, tulisan Jalaluddin Rakhmat tersebut sama sekali tidak
menyebutkan akar masalah yang memicu keluarnya fatwa MUI Jatim mengenai ajaran
Syiah yang dibawa oleh Tajul Muluk di Sampang.
Dalam
pertimbangan MUI Sampang, Tajul Muluk terindikasi menyebarkan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari ajaran Islam, yakni (a) mengimani imam yang 12 dan
menganggap perkataan mereka sebagai wahyu, (b) menganggap Al-Qur’an yang saat
ini tidak orisinal, (c) melaknat sahabat Nabi Muhammad Saw., Abu Bakar r.a.,
Umar r.a., dan Utsman r.a., (d) shalat Jumat tidak wajib, (e) haji tidak wajib
ke Mekkah, cukup ke Karbala, (f) nikah mut’ah dianggap sunnah, (g) hanya taat kepada
imam 12 dan memusuhi musuh-musuh imam 12 tersebut, (h) shalat hanya dilakukan
tiga waktu, (i) aurat yang wajib ditutup hanya alat vital saja, (j) shalat
Tarawih, Dhuha, dan puasa Asyuro haram.[4]
Bahkan Jalaluddin
sendiri terbukti banyak sekali melecehkan para shahabat Nabi. Di antaranya,
Syiah melaknat orang yang dilaknat Ftimah (Emilia Renita AZ. 40 Masalah
Syi’ah, Bandung: IJABI. Cet kedua. 2009. Hlm. 90). Yang dilaknat Fatimah
adalah Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. (Jalaluddin Rakhmat. Meraih Cinta Ilahi.
Depok: Pustaka IIMaN, 2008. Hlm. 404-405). “Para shahabat mengubah-ubah agama”
(Artikel dalam Buletin al Tanwir Yayasan Muthahhari Edisi Khusu No. 298. 10
Muharram 1431 H. Hlm. 3). Para shahabat murtad (Ibid. hlm. 4), dan
sebagainya.[5]
Fahmi Salim juga
menyebut bahwa sebenarnya deklarasi Amman bukanlah ijma’ ulama. Risalah Amman,
juga deklarasi Mekkah dan Bogor lebih bersifat politis.
Hal ini dipicu
dari konflik Sunni dan Syiah yang terjadi di Irak pascatumbangnya Saddam
Hussain tahun 2003. Sunni menuding Syiah menyerahkan kedaulatan Irak kepada
Amerika dengan keuntungan politik tertentu. Ribuan kaum Sunni Irak dibantai dan
tanah-tanah wakafnya dirampas. Dalam rangka merespon konflik sektarian yang
berdarah itu, terjadilah upaya-upaya mediasi dunia Islam seperti pertemuan
Amman, Mekkah, dan Bogor.[6]
Deklarasi
tersebut lebih disemangati rasa toleransi dalam menyikapi perbedaan fikih,
bukan akidah. Karena itu, isi deklarasi tersebut menggunakan istilah ‘madzhab’.
Maka kita bisa lebih mudah mengerti bahwa seseorang tidak boleh dikafirkan
hanya karena berbeda madzhab fikih. Di kalangan Ahlus Sunnah, Ja’far al-Shadiq
memang dikenal sebagai ahli fikih.[7]
Bukti lainnya
adalah fakta bahwa DR. Yusuf Qardhawi yang ikut menandatangani deklarasi ini
ternyata menrilis tiga fatwa tentang Syiah Imamiyah 12 dalam kitab Fatawa
Mu’ashirah jilid 4 yang terbit pada tahun 2009.
Parahnya lagi,
Jalaluddin pun tidak menulis keseluruhan isi poin pertama Risalah Amman. Ia
hanya mengutip sebagiannya. Poin pertama Risalah Amman seharusnya dilanjutkan
dengan,
“Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa
saja yang mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan tasawuf
(sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang
mengikuti pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak
diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah,
mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun
iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang
sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam.”[8]
Dalam poin ini tidak disebutkan sama sekali mengenai Syiah Imamiyah. Karena
jelas, percaya kepada Imamah bukanlah ajaran pokok Islam, apalagi masuk dalam
ranah toleransi fikih.
Ada beberapa penyebab mengapa Syiah Imamiyah tidak termasuk dalam deklarasi
ini bahkan telah tampak dengan terang kesesatannya.
1. Syiah memiliki Tuhan dan Nabi yang berbeda dengan kaum Muslimin.
“Kita (Syiah Imamiyah
dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam.
Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang
menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar
sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak
mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar
sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi
kami. (Al-Anwar Annu’maniyyah,
Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi, jilid 2, hlm. 278, Mu’assasah Al-‘Alami Lil Matbu’at, Beirut, Lebanon).[9]
2. Rukun Iman dan Rukun Islam versi Syiah berbeda.
Rukun Iman versi Syiah, (1) Tauhid, (2) Adalah (percaya pada keadilan ilahi),
(3) Nubuwwah, (4) Imamah, (5) Al-Ma’ad (percaya pada hari akhir).
Rukun Islam versi Syiah, (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Khumus (kewajiban
mengeluarkan seperlima harta), (5) Haji, (6) Jihad, (7) Amar Ma’ruf dan Nahi
Munkar, (8) Tawalla (membenci apa yang dibenci Rasul saw dan ahlul baitnya),
(9) Tabarra (mencintai apa yang dicintai Rasul saw dan Ahlul Baitnya), (10)
Amal Shaleh (Lihat buku 40 Masalah Syiah, Emilia Renita Az, Buku pedoman dakwah
IJABI).[10]
3. Syiah mengingkari keaslian Al-Qur’an serta pokok-pokok
ajaran Islam lainnya yang sangat fundamental dan telah disepakati dai dulu
sampai hari kiamat.[11]
Al-Qur’an
yang berada di tangan kaum Muslimin sekarang telah terdistorsi dan terkurangi
dari teks semestinya. Teks sebenarnya masih ada bersama Al-Mahdi yang masih
bersembunyi. (Lihat As-Syiah Al-Itsna Asyariyah wa Tahrifu Al-Quran oleh
Muhammad Saif dan Muaqif Ar-Rafidhah min Al-Quran Al-Karim oleh Mamadu
Krambery).[12]
Begitulah
cara Syiah—khususnya Syiah Imamiyah—berlindung di balik Risalah Amman. Mereka
berulang kali berdalih mengadakan taqrib (pendekatan) kepada kaum Ahlus
Sunnah. Namun, nyatanya itu hanyalah kedok yang dibuat-buat. Persoalan antara
Sunni dan Syiah tidak semata mengenai fikih, tetapi telah menyentuh hal-hal
yang ushul dan amat fundamental. Ada garis demarkasi yang jelas antara
ajaran Sunni dan Syiah.
Terakhir,
ada baiknya kita mengaca pada sikap institusi Al-Azhar Mesir dalam menyikapi
dakwah Syiah. Grand Syaikh Al-Azhar, Prof. DR. Ahmad Ath-Thayyib
menyatakan bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di
negeri-negeri Ahlus Sunnah karena akan merongrong persatuan dunia Islam,
mengancam stabilitas, memecah belah umat, dan membuka peluang kepada zionisme
untuk menimbulkan isu-isu perselisihan madzhab di negeri-negeri Islam.[13]
Allahu
a’lam bi ash-shawwab. []
[1]
Jalaluddin Rakhmat, Menyikapi Fatwa Tentang Fatwa, http://www.majulah-ijabi.org/artikel/menyikapi-fatwa-tentang-fatwa,
diakses pada tanggal 26 April 2016 pkl 11.00 WIB.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Fahmi Salim, Tafsir Sesat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hal. 296.
[5]
Ibid, hal. 297-298.
[6]
Ibid, hal. 299.
[7]
Inpas Online, Risalah Amman dan Kampanye Politis Syiah, http://inpasonline.com/new/risalah-amman-dan-kampanye-politis-syiah/,
diakses pada tanggal 26 April 2016 pkl 11.00 WIB.
[8]
Majulah IJABI, Risalah Amman, http://www.majulah-ijabi.org/taqrib/risalah-amman,
diakses pada tanggal 26 April 2016 pkl 11.00 WIB.
[9]
Muhammad Istiqamah, Syiah Berlindung di Balik Risalah Amman, http://www.lppipusat.com/syiah-berlindung-di-balik-risalah-amman/,
diakses pada tanggal 26 April 2016 pkl 11.00 WIB.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah Itu?, hal. 6.
[13]
Fahmi Salim, Tafsir Sesat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hal. 300.
0 comments:
Post a Comment