Ada salah kaprah di tengah
masyarakat mengenai konsep agama samawi (wahyu). Agama Yahudi, Nasrani, dan
Islam dianggap sejajar karena ketiganya merupakan agama-agama yang memperoleh
kitab dari Tuhan. Selain itu, ketiganya berasal dari sumber yang satu, yakni
Nabi Ibrahim as.
Beliau as. dikisahkan memiliki dua
anak: Nabi Ismail as. dan Nabi Ishak as. Dari keturunan Nabi Ismail as., kelak
lahirlah Nabi Muhammad Saw. yang membawa risalah Islam. Sedangkan dari keturunan
Nabi Ishak as. lahirlah Nabi Yakub as. (Israel). Anak-anak Nabi Yakub inilah
yang kemudian dikenal dengan nama Bani Israel.
Banyak dari kalangan Bani Israel
yang Allah Swt. angkat menjadi nabi dan rasul.
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak
dan Yakub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk;
dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada
sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayub, Yusuf, Musa dan
Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,
dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh.
dan Ismail, Alyasa, Yunus dan Lut. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di
atas umat (di masanya), (dan Kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari
bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka. Dan Kami telah
memilih mereka (untuk menjadi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuki
mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am: 84-87)
Termasuk di dalamnya ialah Nabi Musa
as. yang dianggap melahirkan agama Yahudi dan Nabi Isa as. (Yesus) yang
dianggap membawa agama Nasrani.
Hingga kini, ketiga agama tersebut
masih dikatakan agama samawi. Bersumber dari wahyu Tuhan. Dan dibawa oleh abul
anbiya, Nabi Ibrahim as. Tidak heran kemudian muncul kelompok Gafatar di
Indonesia yang mengklaim mengikuti millah Abraham. Lalu benarkah Nabi
Ibrahim as. adalah bapak dari ketiga agama tersebut?
Kenyataannya, tidak ada satu pun
nabi dan rasul yang membawa ajaran baru. Seruan mereka sama dari dahulu hingga
masa Rasulullah Saw.
“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus)
kepada mereka saudara mereka, Hud. Dia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah
Allah...” (Qs. Hud: 50)
“Dan kepada kaum Tsamud (Kami
utus) saudara mereka, Shaleh. Dia berkata,’Wahai kaumku! Sembahlah Allah...”
(Qs. Hud: 61)
“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami
utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata,’Wahai kaumku! Sembahlah Allah...”
(Qs. Hud: 84)[1]
Begitu pula dengan Nabi Ibrahim as.
Seruannya ialah mengesakan Allah dan tidak menyekutukannya dengan apa pun.
“Dan (ingatlah) Ibrahim ketika
dia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya...”
(Qs. Al-Ankabut: 16)
“Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan)
itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub, ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya
Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan Muslim.” (Qs. Al-Baqarah: 132)
Meski sama-sama menyerukan ajaran
tauhid, namun banyak penyimpangan yang dilakukan oleh Bani Israel. Bahkan
walaupun di tengah-tengah mereka ada seorang rasul, tetapi mereka tidak
segan-segan berbuat olah. Di bawah pimpinan Samiri, mereka menjadikan patung
anak sapi dari emas sebagai sesembahan (Ilah) saat Nabi Musa as. pergi
selama empat puluh hari. Bahkan saat itu ada Nabi Harun as. sebagai penanggung
jawab sementara.
“Apabila penyimpangan itu terjadi
di kalangan pengikut Rasul, sedangkan Rasul tersebut masih bersama mereka,
apatah lagi jika Rasul tersebut masih telah wafat. Karena itu, bukan hal yang
aneh jika orang Yahudi mengubah Taurat Musa setelah Musa wafat.”
Allah lalu mengutus Nabi Isa as.
kepada Bani Israel dengan membawa Injil untuk meluruskan Taurat yang telah
disimpangkan. Dari sejumlah pengikut Nabi Isa as., terdapat dua belas orang
yang menjadi sahabat dan pengikut setia beliau. Mereka ini yang Allah sebut
sebagai kelompok Hawariyyun.
“Maka tatkala Isa mengetahui
keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan
menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para
hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong
(agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (Qs. Ali Imran: 52)
“...apabila Anak Manusia
bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu yang telah mengikuti aku, akan duduk
juga di atas 12 tahta untuk menghakimi ke 12 suku Israel...” (Matius:
28)
Namun, sesudah Nabi Isa as. (Yesus)
wafat, timbullah berbagai penyimpangan. Dalam buku Evolusi Kristen, M.I.
Ananias menjabarkan secara panjang bagaimana permulaan agama ini berubah dari
Yahudi menjadi bernama Kristen. Adalah Paulus, seorang yang paling keras
menentang ajaran Nabi Isa.[2],
belum pernah bertemu dengan beliau[3],
dan melakukan pembantaian terhadap Yahudi di Jerussalem[4],
orang yang paling ‘berjasa’ menciptakan agama Kristen. Dia mengaku sebagai
Rasul dan mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Nabi Isa as.
Ketika bersama Barnabas mengunjungi Antiokhia, istilah Kristen diperkenalkan
oleh Paulus.
“Mereka tinggal bersama-sama
dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di
Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.” (Kisah
Para Rasul: 26)
Pemberian nama ini tentu bukan dari
Nabi Isa as. maupun pengikut-pengikutnya yang setia. Tetapi diberikan oleh
Paulus untuk para jemaatnya. Dengan demikian, dialah yang pertama membentuk
jemaat Kristen. [5]
Karena kedekatannya dengan Romawi,
tidak heran akhirnya pada Konsili Nicea ajaran Paulus mendapatkan legitimasi
dari Kaisar Konstantin. Terciptalah Injil Perjanjian Baru yang banyak memuat
ajaran Paulus, paganisme, termasuk pengukuhan bahwa Nabi Isa as. (Yesus) adalah
Tuhan.
Setidaknya, ada sebelas penyimpangan
Paulus yang bertentangan dengan ajaran Nabi Isa as., bahkan dengan sunnah
Nabi Ibrahim as.
- Menganggap
Yesus sebagai Tuhan.[6]
- Mengartikan
kata-kata “Bapak” dan “Anak-anak Allah” sesuai makna hakikinya.[7]
- Mengingkari
hukum Taurat.[8]
- Mengingkari
perintah sunat.[9]
- Menghalalkan
khamr.[10]
- Mengharamkan
makanan halal dan menghalalkan makanan haram.[11]
- Mengingkari
perintah menyembelih kurban. [12]
- Membuat
ajaran dosa warisan.[13]
- Membolehkan
nikah beda agama.[14]
- Menjadikan
kebangkitan Yesus sebagai pokok keimanan.[15]
- Mengarang
Injil Paulus.[16]
Dengan
berbagai penyimpangan tersebut, jelas sekali bahwa ajaran Yahudi dan Nasrani
(Kristen) tidak lagi cocok disebut agama
samawi yang berdasarkan wahyu. Termasuk tidak tepat juga dinisbatkan kepada
Nabi Ibrahim as. Karena jelas, setiap nabi dan rasul menyeru kepada satu hal:
mengesakan Allah.
“Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata:
"Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (Qs.
Al-Anfal: 30)
“Dan
mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau
Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, bahkan
(kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari
golongan orang musyrik.” (Qs. Al-Baqarah: 135)
“ataukah
kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail,
Ishak, Yakqub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?
Katakanlah: "Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah
yang lebih lalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang
ada padanya?" Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu
kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah: 140)
Dengan
begini, Islam-lah satu-satunya agama samawi yang masih otentik. Islam tetap
mengganggap Yahudi dan Nasrani sebagai ahli kitab.[17]
Sebab itu, umat Islam masih diperbolehkan memakan hewan sesembelihan dan
menikahi wanita-wanita mereka. Tetapi secara pokok agama, terdapat garis
demarkasi yang tegas perbedaan antara ketiga agama ini. Masihkan tepat kita
mengatakan bahwa ketiga agama ini menuju Tuhan yang sama?
Allahu
a’lam. []
[1]
Surahman Hidayat, Islam, Pluralisme dan Perdamaian (Jakarta: Fikr,
2008), hlm. 75
[2]
M.I. Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008), hlm. 53
[3]
Ibid, hlm. 54
[4]
Ibid, hlm. 56
[5]
Ibid, hlm. 70
[6]
Ibid, hlm. 79
[7]
Ibid, hlm. 83
[8]
Ibid, hlm. 96
[9]
Ibid, hlm. 108
[10]
Ibid, hlm. 112
[11]
Ibid, hlm. 116
[12]
Ibid, hlm. 120
[13]
Ibid, hlm. 131
[14]
Ibid, hlm. 134
[15]
Ibid, hlm. 138
[16]
Ibid, hlm. 142
[17]
Surahman Hidayat, Kerukunan Bermasyarakat Dalam Tuntunan Syariat
(Jakarta: Rabbani Press, 2012), hlm. 18
0 comments:
Post a Comment