Nulis Suka-Suka

Menyerahkan Diri Hanya Kepada Allah: Tadabbur Surat Ali Imran Ayat 18-20




Pada tanggal 11 Mei 2003, Harian Jawa Pos memuat wawancara yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla kepada Budhy Munawar Rahman. Tokoh JIL yang juga dosen Univeritas Paramadina itu mengatakan, “...inti keberagaman itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya, kepasrahan dan ketundukan...”[1]


Begitulah pemahaman kelompok liberal mengenai ayat “Inna ad-dina indallahi al-Islam.” Dengan begitu makna ayat tersebut bukanlah, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah Islam.” Tetapi menjadi, “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah kepasrahan atau ketundukan (Submission).” Pemahaman ini mendorong para penganutnya untuk menganggap bahwa semua agama sama saja. Banyak jalan menuju Tuhan. Asal ada rasa kepasrahan dan ketundukan (submission). Tetapi tidak jelas, kepasrahan apa yang dimaksud. Bagaimana bentuknya dan kepada siapa.

Agar memaknai ayat ini lebih, minimal kita menengok kembali penafsiran para ulama serta melihat ayat sebelum dan sesudahnya untuk mencari munasabah (hubungan) antarayat.

Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.’ Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 18-20)

Sebelum Allah menyatakan Islam sebagai agama yang hanya diridhai-Nya, Allah memproklamirkan keesaan-Nya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan...”

Pernyataan ini diiringi oleh kesaksian para malaikat dan para ulama. “...Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian itu)...” Lalu Allah menguatkan lagi (taukid) pernyataan tersebut pada kalimat berikutnya. “...Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana...Al-Aziz Yang Mahaperkasa, Yang keagungan dan kebesaran-Nya tidak dapat dibatasi, lagi Mahabijaksana dalam semua ucapan, perbuatan, syariat, dan takdir-Nya.[2]

Setelah mendapatkan wahyu ini, Rasulullah Saw. pun mengucapkan, “Dan aku termasuk salah seorang yang mempersaksikan hal tersebut, ya Tuhanku.”[3]

Pada ayat selanjutnya, Allah mengabarkan bahwa tidak ada agama (din) yang diterima dsari seseorang di sisi-Nya selain Islam. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dimaksud dengan Islam yaitu mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah Swt. di setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad Saw. yang membawa agama, menutup semua jalan lain kecuali hanya jalan yang ditempuhnya. Karena itu, siapa yang menghadap kepada Allah—sesudah Nabi Muhammad Saw. diutus—dengan membawa agama yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.[4]

Siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya...” (Qs. Ali Imran: 85)

Di dalam ilmu ushul fiqh, jika sebuah nash syariat terdapat lafal yang bermakna ganda (musytarak)—antara makna bahasa dan makna syariat—maka yang harus digunakan adalah makna syariat.[5] Meski Islam secara bahasa bermakna keselamatan, ketundukan, kepasrahan, dan sebagainya, namun makna ini harus digugurkan. Makna Islam harus dikembalikan kepada syariat.

Dan siapakah yang lebih baik agama (din)-nya daripada orang yang menyerahkan (aslama) dirinya kepada Allah...” (Qs. An-Nisa: 125)

Prof. Naquib Al-Attas menegaskan, “Menurut Kitab Suci Al-Quran manusia tidak dapat terlepas dari hidup dalam suatu din, karena semuanya berserah diri dan patuh (aslama) kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, istilah din dipakai juga untuk agama-agama lain selain Islam. Namun, yang membuat Islam berbeda dari agama-agama lain itu adalah bahwa penyerahan diri menurut Islam adalah penyerahan diri yang tulus dan menyeluruh kepada kehendak Allah, dan ini dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum yang diwahyukan oleh-Nya.[6]

Islam menjadi din yang mengikuti millah Nabi Ibrahim. Sebab itu, para nabi dan rasul serta para pengikutnya dianggap sebagai Muslim. Meskipun perwujudan Islam dalam bentuknya yang sempurna baru ada di masa Nabi Muhammad Saw. Agama mereka termasuk hanif dan disebut dengan din al-qayyim. Ajarannya bersumber dari wahyu Allah tanpa perubahan sedikit pun.

Sedangkan agama-agama lain mengembangkan sistem atau bentuk penyerahan dirinya yang didasarkan pada tradisi-tradisi kebudayaan mereka sendiri. Tradisi-tradisi tersebut tidak bersumber dari millah Nabi Ibrahim. Para Ahli Kitab pun tidak disebut memiliki din yang benar, walaupun ajarannya mencampurkan kebudayaan mereka dan wahyu Allah. Karena mereka tidak berserah diri dengan tepat. Mereka memilih menyerahkan diri dengan cara mereka sendiri. Banyak metode penyerahan diri yang justru bertentangan dengan yang diperintahkan oleh-Nya. Penyerahan diri yang sejati adalah yang telah disempurnakan oleh Nabi Saw. sebagai teladan bagi manusia. Karena penyerahan diri tersebut merupakan bentuk penyerahan diri dari semua nabi dan rasul sebelum beliau. Penyerahan diri yang diridhai, diwahyukan, dan diperintahkan kepada Allah.[7]

Setelah mengabarkan hal ini, Allah melanjutkan firman-Nya, “...Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka...

Allah menyebut perselisihan yang dilakukan oleh golongan Ahli Kitab, padahal sebelumnya telah diturunkan kebenaran melalui nabi dan rasul-Nya. Mereka dipenuhi rasa dengki, benci, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kedengkian ini membuat mereka tak segan menentang orang lain, meski orang tersebut benar.

...Siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya...” Maka siapa pun yang ingkar dengan apa yang Allah turunkan dalam kitab-Nya, tersedia balasan baginya. Siapa yang tidak menyerahkan dirinya dengan benar, ketahuilah bahwa hisab Allah sangat cepat.

Sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas kedustaan itu. Serta akan menghukumnya akibat ia menentang kitab-Nya.[8]

“...Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.’...” Jika ada yang mendebat kita dengan kebenaran, ada yang mendebat kita mengenai masalah tauhid, balaslah dengan perkataan yang sederhana. Katakanlah aku memurnikan ibadahku hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya, tidak beranak, dan tidak beristri.[9]

Atas kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah, Dia pun memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya untuk menyeru orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang ummi dari kalangan musyrik agar masuk Islam dan mengamalkan apa yang Allah turunkan. Tidak mungkin perintah ini muncul, kecuali Islam adalah agama yang benar, sedangkan yang lainnya salah.

“...Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: ‘Apakah kamu (mau) masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.

Tidak ada paksaan bagi Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Allah-lah yang Maha Melihat hamba-Nya. Mana yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan.

Dengan memahami ayat-ayat ini, telah jelas bagi kita mana agama yang diterima di sisi-Nya dan makna penyerahan diri yang sebenarnya. Atas hikmah dan rahmat-Nya, risalah Nabi Muhammad Saw. adalah satunya-satunya yang murni dan ditujukan umum bagi seluruh makhluk. Penyerahan diri sejati ialah sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Saw. sehingga melahirkan keimanan yang sejati pula. Allahu a’lam. []




[1] Artawijaya, #IndonesiaTanpaLiberal, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012), hal. 41.
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Juz 3, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), hal. 311.
[3] Ibid, hal. 311.
[4] Ibid, hal. 314.
[5] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal. 257.
[6] Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN, 2011), hal. 78.
[7] Ibid, hal. 80.
[8] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Juz 3, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000), hal. 316.
[9] Ibid, hal. 316.

Share:

0 comments:

Post a Comment