Pada tanggal 11 Mei 2003, Harian Jawa
Pos memuat wawancara yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla kepada Budhy
Munawar Rahman. Tokoh JIL yang juga dosen Univeritas Paramadina itu mengatakan,
“...inti keberagaman itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam
bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata
Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya,
kepasrahan dan ketundukan...”[1]
Begitulah
pemahaman kelompok liberal mengenai ayat “Inna ad-dina indallahi al-Islam.”
Dengan begitu makna ayat tersebut bukanlah, “Sesungguhnya agama yang diridhai
di sisi Allah adalah Islam.” Tetapi menjadi, “Sesungguhnya agama yang diridhai
di sisi Allah adalah kepasrahan atau ketundukan (Submission).” Pemahaman
ini mendorong para penganutnya untuk menganggap bahwa semua agama sama saja.
Banyak jalan menuju Tuhan. Asal ada rasa kepasrahan dan ketundukan (submission).
Tetapi tidak jelas, kepasrahan apa yang dimaksud. Bagaimana bentuknya dan
kepada siapa.
Agar
memaknai ayat ini lebih, minimal kita menengok kembali penafsiran para ulama
serta melihat ayat sebelum dan sesudahnya untuk mencari munasabah
(hubungan) antarayat.
“Allah
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia,
Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di
sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka. Siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran
Islam), maka katakanlah: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian
pula) orang-orang yang mengikutiku.’ Dan katakanlah kepada orang-orang yang
telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: ‘Apakah kamu (mau)
masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali
Imran: 18-20)
Sebelum
Allah menyatakan Islam sebagai agama yang hanya diridhai-Nya, Allah
memproklamirkan keesaan-Nya. “Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang
berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan...”
Pernyataan
ini diiringi oleh kesaksian para malaikat dan para ulama. “...Para malaikat
dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian itu)...” Lalu Allah
menguatkan lagi (taukid) pernyataan tersebut pada kalimat berikutnya.
“...Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana...” Al-Aziz Yang Mahaperkasa, Yang keagungan dan
kebesaran-Nya tidak dapat dibatasi, lagi Mahabijaksana dalam semua ucapan,
perbuatan, syariat, dan takdir-Nya.[2]
Setelah
mendapatkan wahyu ini, Rasulullah Saw. pun mengucapkan, “Dan aku termasuk
salah seorang yang mempersaksikan hal tersebut, ya Tuhanku.”[3]
Pada ayat
selanjutnya, Allah mengabarkan bahwa tidak ada agama (din) yang diterima
dsari seseorang di sisi-Nya selain Islam. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
dimaksud dengan Islam yaitu mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah Swt. di
setiap masa, hingga diakhiri dengan Nabi Muhammad Saw. yang membawa agama,
menutup semua jalan lain kecuali hanya jalan yang ditempuhnya. Karena itu,
siapa yang menghadap kepada Allah—sesudah Nabi Muhammad Saw. diutus—dengan
membawa agama yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.[4]
“Siapa
yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya...” (Qs. Ali Imran: 85)
Di dalam ilmu ushul fiqh, jika
sebuah nash syariat terdapat lafal yang bermakna ganda (musytarak)—antara
makna bahasa dan makna syariat—maka yang harus digunakan adalah makna syariat.[5]
Meski Islam secara bahasa bermakna keselamatan, ketundukan, kepasrahan, dan
sebagainya, namun makna ini harus digugurkan. Makna Islam harus dikembalikan
kepada syariat.
“Dan
siapakah yang lebih baik agama (din)-nya daripada orang yang menyerahkan
(aslama) dirinya kepada Allah...” (Qs. An-Nisa: 125)
Prof. Naquib Al-Attas menegaskan, “Menurut Kitab Suci Al-Quran manusia tidak dapat
terlepas dari hidup dalam suatu din, karena semuanya berserah diri dan
patuh (aslama) kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, istilah din
dipakai juga untuk agama-agama lain selain Islam. Namun, yang membuat Islam
berbeda dari agama-agama lain itu adalah bahwa penyerahan diri menurut Islam
adalah penyerahan diri yang tulus dan menyeluruh kepada kehendak Allah, dan ini
dijalankan dengan sepenuh hati dengan ketaatan secara mutlak terhadap hukum
yang diwahyukan oleh-Nya.[6]
Islam
menjadi din yang mengikuti millah Nabi Ibrahim. Sebab itu, para
nabi dan rasul serta para pengikutnya dianggap sebagai Muslim. Meskipun
perwujudan Islam dalam bentuknya yang sempurna baru ada di masa Nabi Muhammad
Saw. Agama mereka termasuk hanif dan disebut dengan din al-qayyim.
Ajarannya bersumber dari wahyu Allah tanpa perubahan sedikit pun.
Sedangkan
agama-agama lain mengembangkan sistem atau bentuk penyerahan dirinya yang
didasarkan pada tradisi-tradisi kebudayaan mereka sendiri. Tradisi-tradisi
tersebut tidak bersumber dari millah Nabi Ibrahim. Para Ahli Kitab pun
tidak disebut memiliki din yang benar, walaupun ajarannya mencampurkan
kebudayaan mereka dan wahyu Allah. Karena mereka tidak berserah diri dengan
tepat. Mereka memilih menyerahkan diri dengan cara mereka sendiri. Banyak
metode penyerahan diri yang justru bertentangan dengan yang diperintahkan
oleh-Nya. Penyerahan diri yang sejati adalah yang telah disempurnakan oleh Nabi
Saw. sebagai teladan bagi manusia. Karena penyerahan diri tersebut merupakan
bentuk penyerahan diri dari semua nabi dan rasul sebelum beliau. Penyerahan
diri yang diridhai, diwahyukan, dan diperintahkan kepada Allah.[7]
Setelah
mengabarkan hal ini, Allah melanjutkan firman-Nya, “...Tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka...”
Allah
menyebut perselisihan yang dilakukan oleh golongan Ahli Kitab, padahal
sebelumnya telah diturunkan kebenaran melalui nabi dan rasul-Nya. Mereka
dipenuhi rasa dengki, benci, dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kedengkian
ini membuat mereka tak segan menentang orang lain, meski orang tersebut benar.
”...Siapa
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya...” Maka siapa pun yang ingkar dengan apa yang Allah turunkan
dalam kitab-Nya, tersedia balasan baginya. Siapa yang tidak menyerahkan dirinya
dengan benar, ketahuilah bahwa hisab Allah sangat cepat.
Sesungguhnya
Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan perhitungan terhadapnya atas
kedustaan itu. Serta akan menghukumnya akibat ia menentang kitab-Nya.[8]
“...Kemudian
jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: ‘Aku
menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang
mengikutiku.’...” Jika ada yang mendebat kita dengan kebenaran, ada yang
mendebat kita mengenai masalah tauhid, balaslah dengan perkataan yang
sederhana. Katakanlah aku memurnikan ibadahku hanya kepada Allah semata, tidak
ada sekutu bagi-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya, tidak beranak, dan tidak
beristri.[9]
Atas
kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang diridhai Allah, Dia pun
memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya untuk menyeru orang-orang Ahli Kitab
dan orang-orang ummi dari kalangan musyrik agar masuk Islam dan
mengamalkan apa yang Allah turunkan. Tidak mungkin perintah ini muncul, kecuali
Islam adalah agama yang benar, sedangkan yang lainnya salah.
“...Dan katakanlah
kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi:
‘Apakah kamu (mau) masuk Islam?’ Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka
telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu
hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
hamba-hamba-Nya.”
Tidak ada
paksaan bagi Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Allah-lah yang Maha Melihat
hamba-Nya. Mana yang berhak mendapat petunjuk dan siapa yang berhak mendapat
kesesatan.
Dengan
memahami ayat-ayat ini, telah jelas bagi kita mana agama yang diterima di
sisi-Nya dan makna penyerahan diri yang sebenarnya. Atas hikmah dan rahmat-Nya,
risalah Nabi Muhammad Saw. adalah satunya-satunya yang murni dan ditujukan umum
bagi seluruh makhluk. Penyerahan diri sejati ialah sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah Saw. sehingga melahirkan keimanan yang sejati pula. Allahu a’lam.
[]
[1]
Artawijaya, #IndonesiaTanpaLiberal, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2012),
hal. 41.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Juz 3, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2000), hal. 311.
[3]
Ibid, hal. 311.
[4]
Ibid, hal. 314.
[5]
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003),
hal. 257.
[6]
Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: PIMPIN,
2011), hal. 78.
[7]
Ibid, hal. 80.
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Juz 3, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2000), hal. 316.
[9]
Ibid, hal. 316.
0 comments:
Post a Comment