Dalam artikel berjudul Berkah
Sekularisme, Luthfi Assyaukanie menulis bahwa dalam perkembangannya,
sekularisme dapat menjadi konsep yang efektif untuk meredam konflik antara
agama dan negara. Bahkan efektif dalam memberikan landasan bagi demokrasi dan
persamaan hak.
Lebih lanjut, dosen di Universitas
Paramadina menyebut penolakan sebagian kaum Muslim terhadap sekularisme
dipengaruhi oleh negara-negara Islam yang salah mengadopsi sistem ini. Sebut
saja Turki, Mesir, dan Irak. Saat sekularisme mendominasi Turki, sejumlah
atribut dan praktik keagamaan dilarang. Seperti pelarangan jilbab, penutupan
intitusi pengajaran Al-Qur’an, dan penangkapan terhadap aktivis Islam. Di
Mesir, sekularisme justru identik dengan diktatorisme. Ikonnya menjelma ke
dalam diri Husni Mubarak.
Bahkan di Eropa pun, sekularisme
tercemar. Sebagai contoh Perancis yang memaknai sekularisme sebagai kewaspadaan
terhadap “ancaman” agama. Memakai jilbab, karenanya, dianggap sebagai ancaman
bagi sekularisme.
Sebaliknya, Luthfi meminta kaum
Muslim agar memandang sekularisme dari negara-negara yang berhasil
menerapkannya dengan baik. Amerika Serikat, Inggris, dan Australia adalah
contoh nyata ketika sekularisme tidak dipahami sebagai musuh agama. Tapi justru
dijadikan sebagai pelindung agama. Maka paragraf terakhir artikel ini berbunyi,
“Alangkah tidak fair jika kita
mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme
yang salah. Kita tentu saja tak mengingingkan model sekularisme Turki, atau
Mesir, atau Perancis. Lagi pula, mengapa kita terobsesi dengan negara yang
gagal ini? Mengapa tak berkaca pada pengalaman yang jelas-jelas terbukti
sukses?”[1]
Di satu sisi, kita bisa sependapat
dengan Luthfi Assyaukanie mengenai Turki, Mesir, dan Perancis. Bahkan proyek
sekularisasi di dunia Islam secara umum dapat dibilang harus menelan pil pahit
kegagalan. Khilafah Islamiyyah terakhir memang runtuh oleh sekularisme pada
tahun 1924. Tetapi Islam ternyata tidak mati.
Anis Matta memberikan beberapa bukti
kasat mata kegagalan tersebut:[2]
- Hanya
empat tahun setelah runtuhnya khilafah, gerakan Islam Ikhwanul Muslimin
lahir ke permukaan sejarah memelopori gerakan kebangkitan Islam.
- Gerakan
Islamisasi kampus yang terjadi di seluruh dunia Islam yang menjadi agen
perubahan besar bagi masa depan Islam.
- Suksesnya
kudeta putih di Sudan tahun 1987. Memang bukan khilafah yang tegak. Tapi
ketika negara terbesar di benua Afrika itu secara resmi memproklamirkan
Islam sebagai dasar negara, gagasan pemisahan dan Islam seketika mati; ia
menemui ajalnya dalam kesadaran ummat Islam.
- Jihad
Afghanistan selama 14 tahun bukan hanya berbuah kemenangan. Tapi juga
runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.
- Keruntuhan
Uni Soviet berimplikasi pada berakhirnya rezim diktator. Kanal politik
terbuka seiring terjadinya proses demokratisasi. Dalam tempo singkat,
gerakan-gerakan Islam menjelma menjadi partai-partai Islam.
Namun, tidak
serta merta pandangan kita bisa dialihkan begitu saja pada praktik sekularisme
di Amerika Serikat dan Inggris. Apalagi mengklaim bahwa negara-negara tersebut
mampu menerapkan sekularisme dengan baik. Pada kenyataannya, meski sama-sama
mempraktikkan sekularisme, namun model yang dipakai oleh Amerika Serikat
berbeda dengan negara-negara Eropa.
Di Amerika
Serikat, sekularisme didefinisikan sebagai “kebebasan beragama” (freedom of
religion), sedangkan di Eropa istilah itu cenderung didefinisikan sebagai
“kebebasan dari agama” (freedom from religion) (Jacoby dan Yavuz, 2008).[3]
Dengan
definisi seperti itu, maka pemerintah Amerika Serikat benar-benar tidak ikut
campur mengenai agama para warga negaranya. Hal ini tidak mengherankan,
mengingat sejarah Amerika mengharuskan negara tersebut mengambil kebijakan yang
mampu menyelamatkan keutuhan negaranya.
Berabad-abad
lalu, orang-orang Eropa melakukan migrasi besar-besaran menuju benua yang
mereka sebut New World, yakni Amerika. Masyarakat yang bermigrasi ini
terdiri dari tiga kelompok agama, yaitu Puritan, Katolik, dan Quaker. Ketiga
agama ini sama-sama mengalami pengalaman buruk di Eropa. Sehingga mereka
memiliki harapan dapat membangun tatanan masyarakat baru yang lebih bebas.
Tetapi
kebebasan beragama ini justru memunculkan berbagai peristiwa berdarah, seperti
pengarakan agama Quaker di Massachussets oleh kaum Puritan, pelarangan ibadah
bagi kaum Yahudi di New York, dan pembakaran gereja-gereja Katolik.
Sejarah
kelam ini terus berlanjut hingga sekarang. Bukti paling nyata ialah peristiwa
meledaknya gedung WTC di New York. Seketika itu, Amerika menyatakan perang
kepada umat Islam. Banyak non-muslim memandangn sinis komunitas Muslim di
daerahnya. Inilah bukti bahwa hingga saat ini sekularisme di Amerika Serikat
pun tidak lepas dari masalah. Sekularisme justru memunculkan konflik agama,
karena negara tidak berhak sama sekali mengatur urusan agama.[4]
Ketika
terjadi penistaan agama, maka negara tidak akan berbuat apa-apa. Resikonya,
justru membuat masyarakat main hakim sendiri. Sebab tidak ada hukuman apa pun
terhadap penistaan tersebut. Seperti yang terjadi pada penganut Ahmadiyah di
Indonesia.
Begitu pula
dengan praktik sekularisme di Inggris. Sebagaimana di Perancis, sekularisme ala
Inggris juga menyimpan banyak problem.
“Komunitas-komunitas agama di luar Gereja Anglikan sering merasa
diperlakukan diskriminatif. Dalam soal pendidikan misalnya, meskipun pada 1988
pemerintah telah mengeluarkan sebuah undang-undang reformasi pendidikan yang
bertujuan untuk menjamin agar pendidikan terbebas dari intervensi pandangan
keagamaan tertentu, kenyataanya Gereja Anglikan melalui kewenangan komite lokal
mempunyai hak veto untuk mengubah silabus kurikulum pendidikan agama yang
diajukan oleh sekolah-sekolah swasta (An-Na’im, 2007).”[5]
Terbukti bahwa praktik sekularisme di Amerika Serikat dan Inggris
pun memiliki banyak masalah. Bahkan cenderung mengalami kegagalan untuk
benar-benar menjauhkan agama dari negara.
Luthfi sepertinya salah memahami, bahwa penolakan kaum Muslim
terhadap sekularisme justru bukan semata merujuk pada praktik negara-negara
tertentu. Namun, secara konseptual, sekularisme justru bertolak berlakang
dengan nilai-nilai Islam. Islam tidak mengatakan hak kaisar untuk kaisar, dan
hak Allah untuk Allah. Justru Islam mengatur kehidupan bernegara sejak awal
agar sesuai dengan firman-Nya. Mulai dari bagaimana memilih pemimpin, budaya
amanah, kriteria pemimpin dalam Islam, hingga undang-undang yang mesti berlaku.
Sehingga lahirlah sebuah negara dengan pemimpin yang mampu mengejawantahkan
syariat Allah di muka bumi. Allahu a’lam. []
[1]
Luthfi Assyaukanie, Berkah Sekularisme, http://islamlib.com/politik/sekularisasi/berkah-sekularisme/,
diakses pada tanggal 19 April 2016 pkl 12.30 WIB
[2]
Anis Matta, Dari Gerakan Ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2010),
hal. 104-105
[3]
Amin Mudzakkir, Sekularisme dan Identitas Muslim Eropa dalam Jurnal
Kajian Wilayah, (Jakarta: PSDR LIPI, 2013), hal. 95
[4]
Andika Kelana Putra, Memahami Konsekuensi Sekularisme di Amerika Serikat,
http://andikakelanaputra22.blogspot.co.id/2013/04/memahami-konsekuensi-sekularisme-di.html,
diakses pada tanggal 19 April 2016 pkl 13.00 WIB
[5]
Amin Mudzakkir, Sekularisme dan Identitas Muslim Eropa dalam Jurnal
Kajian Wilayah, (Jakarta: PSDR LIPI, 2013), hal. 97
0 comments:
Post a Comment