Nulis Suka-Suka

Konsep Wahyu dalam Worldview Islam



Berbicara mengenai Worldview of Islam, sebetulnya mau tak mau kita akan membicarakan worldview dari peradaban lain dan membandingkannya dengan worldview yang dimiliki Islam. Sebab penyebutan Worldview of Islam (pandangan hidup Islam) sendiri berfungsi untuk mengkhususkan bahwa pandangan ini adalah milik Islam. Menjadi ciri khas agama ini dan tidak dimiliki oleh worldview lain.

Salah satu hal yang membedakan tersebut adalah mengenai konsep wahyu.

“Banyak lapisan makna di dalam worldview,” tulis Hamid Fahmi Zarkasyi. “Membahas worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into landless-sea), kata Nietszche. Meskipun begitu, di Barat masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera.”[1]

Oleh sebab itu, di Barat orang-orang membahas worldview hanya berdasarkan pendekatan kultural dan saintifik. Bukti-bukti nyata mengenai sesuatu harus dibuktikan secara empiris atau melalui pengalaman langsung. Definisi ilmiah bagi mereka ialah apabila sesuatu itu dapat dilihat, didengar, dan diraba.

Sehingga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu dicapai indera, mereka hanya mampu berspekulasi.

Sementara itu bagi setiap Muslim, wahyu adalah bagian dari apa yang orang Barat sebut sebagai sesuatu yang “ilmiah.” Islam memiliki konsep khabar shadiq (kabar yang benar). Khabar shadiq ini datang dari dua wahyu Allah; Al-Quran dan Sunnah Nabi yang mutawattir. Sebagaimana kata Hamid Fahmi Zarkasyi, “Dalam Islam, sejauh apa pun pikiran kita berpetualang, wahyu akan tetap menjadi obornya.”[2]

Dengan demikian, demi menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep Tuhan, agama, manusia, surga-neraka, hari akhir, dan sebagainya, setiap Muslim tidak perlu berspekulasi. Dan memang dilarang berspekulasi. Sebab semuanya telah dijelaskan di dalam Al-Quran dan Sunnah. Seorang Muslim hanya perlu menggalinya dengan metodologi yang tepat.

Masalahnya, selain menolak wahyu, mereka juga mengidap apa yang Syamsuddin Arif sebut dengan “Kanker Epistemologis.”[3]

Gejala-gejala yang ditimbulkannya cukup jelas. Pertama, mereka bersikap skeptis terhadap segala hal. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Meskipun hal tersebut merupakan hal yang qath’i bagi seorang Muslim dan telah dijelaskan melalui wahyu. Perkara-perkara tersebut masih bebas untuk diperdebatkan.

Kedua, berpaham relativistik. Sehingga jika seorang Muslim menjunjung tinggi wahyu, ia tidak boleh menganggap hal tersebut sebagai hal yang paling benar. Seorang relativis berpikir untuk menerima dan menganggap semuanya benar.

Ketiga, mengalami kekacauan ilmu. Ia tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan yang salah. Sehingga konsekuensinya sesuatu yang salah bisa dianggap sebagai kebenaran, begitu pun sebaliknya.

Selain itu, anggaplah mereka yang pikirannya belum terwarnai dengan Worldview of Islam menerima Al-Quran, tetapi ketika menggali sesuatu darinya, mereka tetap saja menafikan konsep wahyu.

“Level berikutnya adalah Al-Quran sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di tengah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norman dan aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada level inilah, Al-Quran bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya,” tutur Ulil Abshar Abdalla.[4]

Bagi Ulil, Al-Quran sebagai wahyu dan data sejarah harus dipisahkan. Pengkajian ilmiah atas Al-Quran bersifat relatif, karena mengandalkan asumsi, sehingga bersifat kondisional dan provisional. Dari sini, maka tidak heran muncullah Tafsir Hermeneutika. Mengganggap Al-Quran sebagai kitab biasa, sehingga bisa ditafsirkan sebebasnya.

Memang benar bahwa tafsir itu bersifat relatif. Para mufassir terdahulu hingga yang kontemporer tidak pernah ada yang mengklaim bahwa tafsirnya adalah tafsir yang paling benar. Paling sesuai dengan maksud Allah Swt.

Tetapi ketika menafsirkan Al-Quran, mereka menggunakan metodologi yang sesuai prosedur dan memenuhi segala persyaratannya. Syaikh Manna Al-Qathan menjelaskan setidaknya ada 9 syarat bagi mufassir untuk menafsirkan Al-Quran.[5]

  1. Akidah yang benar. Maka mereka yang tidak mempercayai Tuhan, menganggap Tuhan itu lebih dari satu, mengatakan bahwa ada nabi setelah Rasulullah Saw., tidaklah memenuhi persyaratan.
  2. Bersih dari hawa nafsu, sehingga tidak ada keinginan untuk membela kepentingan kelompoknya sendiri apalagi kepentingan orang-orang yang membayarnya.
  3. Lebih dahulu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.
  4. Mencari penafsiran dari Sunnah.
  5. Melihat pendapat para shahabat mengenai ayat yang dimaksud.
  6. Merujuk kepada pendapat para tabi’in.
  7. Memiliki kemampuan bahasa Arab yang baik. Bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga menguasai ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
  8. Memiliki pengetahuan mengenai Al-Quran. Di antaranya adalah ilmu qira’at, ushul at-tafsir, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lain-lain.
  9. Pemahaman yang cermat untuk menyimpulkan makna dari ayat-ayat tersebut.
Tidak hanya sampai situ, seorang mufassir juga mesti memiliki adab yang baik. Niatnya lurus karena Allah, berakhlak mulia, mengamalkan ilmunya, jujur dalam penilainnya, serta siap mengikuti metodologi yang telah ditetapkan di atas.

Data sejarah—seperti asbab an-nuzul—perlu dipisahkan dalam arti bahwa fakta sejarah tidak menjadi penilaian utama dalam mengambil kesimpulan hukum. Data tersebut hanya membantu untuk memahami ayat-ayat Allah. Dalam hal ini berlaku kaidah, “Yang dianggap adalah lafazh yang umum, bukan sebab yang khusus.”[6]

Misal, firman Allah berikut, “Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari neraka, yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, padahal tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi ia memberikan semua itu semua semata-mata karena mencari keridhaan Allah, Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak ia benar-benar mendapatkan kepuasan.” (Qs. Al-Lail: 17-21)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar. Tetapi apakah hanya Abu Bakar ra. yang bisa memperoleh keutamaan demikian. Jumhur ulama—dan ini merupakan pendapat terkuat—berkata bahwa yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum. Sehingga jika umat Islam lain melakukan hal dikerjakan Abu Bakar, ia bisa mendapatkan keutamaan serupa. Berupa ”Dan kelak ia benar-benar mendapatkan kepuasan.”

Begitulah Worldview of Islam membimbing manusia menuju jalannya yang tepat. Banyak hal yang tidak diketahui manusia. Dan wahyu turun sebagai petunjuk serta menjawab persoalan-persoalan tersebut. Tak hanya itu, wahyu pun mengarahkan manusia agar akalnya mampu berpikir lurus sesuai jalan Tuhannya. Inilah poin utama yang tidak dimiliki oleh worldview peradaban lain.

Allahu a’lam. []


[1] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSISTS, 2012), hlm. 242
[2] Ibid, hlm. 244
[3] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 140-142
[4] Ulil Abshar Abdalla, Alquran Sebagai Wahyu dan Fakta Sejarah, http://islamlib.com/kajian/quran/alquran-sebagai-wahyu-dan-data-sejarah/, diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pukul 14.00 WIB
[5] Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 414-418
[6] Ibid, hlm. 102-104

Share:

0 comments:

Post a Comment