“Good character is more to be
praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good
character, by contranst, is not given to us. We have to build it piece by
piece—by thought, choice, courage, and determination.” (John Luther).
Pada pertemuan Pimpinan
Pascasarjana LPTK Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) se-Indonesia di
Auditorium Universitas Negeri Medan (Unimed) tahun 2010 silam, Prof. Muhammad
Nuh mengungkapkan bahwa Kementrian Pendidikan Nasional telah mencanangkan
penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan. Mulai dari SD
hingga Perguruan Tinggi. Beliau menekankan betapa perlunya pembentukan karakter
sejak usia dini. Dengan begitu, perlahan pendidikan karakter mampu membangun
kepribadian bangsa.
Gagasan mengenai pendidikan
karakter di Indonesia sebetulnya dapat kita maklumi. Hal ini karena sebagian
besar dari kita merasakan bahwa proses pendidikan di tanah air jauh dari kata
berhasil, kalau tidak mau disebut gagal. Sekolah maupun perguruan tinggi banyak
melahirkan para sarjana, namun memiliki karakter yang buruk. Muncul banyak
cendekiawan, tetapi moralnya lemah.
Fenomena ini sejak lama telah
diingatkan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Pribadi, “Banyak
guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan
diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ‘mati’, sebab dia
bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya
untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita,
lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan
karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali
menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”
Tapi, cukupkah membangun manusia
Indonesia hanya melalui pendidikan karakter?
Dalam buku Pendidikan Islam:
Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, DR. Adian Husaini mengatakan
bahwa pendidikan karakter saja tidaklah cukup. Terutama bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas adalah Muslim.
Orang komunis atau ateis bisa
saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab,
mencintai kebersihan, dan sebagainya. Di Jepang, konon, apabila tas kita
tertinggal di dalam taksi, maka si supir akan segera mengembalikannya. Jadi,
karakter yang bagus dapat dibentuk pada setiap manusia, tanpa memandang apa pun
agamanya. Baik orang itu Muslim atau non-Muslim.
Lalu, dimana perbedaan antara
Muslim dan non-Muslim yang berkarakter? Perbedaannya terdapat pada konsep adab.
“Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang
berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab,” tulis
Ketua Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana UIKA Bogor tersebut.
Adab merupakan terminologi dasar
dalam Islam. Istilah ini disinggung oleh Rasulullah Saw. dalam sejumlah sabdanya.
Misalnya, “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (H.r.
Ibnu Majah) dan juga, “Apabila seseorang mendidik anaknya (menjadikan
anaknya beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap hari
sebanyak setengah sha’.” (H.r. Ahmad).
Imam Syafi’i pernah ditanya
seseorang, “Sejauh manakah perhatianmu terhadap adab?” Beliau menjawab, “Setiap
kali telingaku mendengar suatu hal tentang adab, maka seluruh tubuhku merasakan nikmat atas hal itu.” Beliau lalu
ditanya lagi, “Bagaimanakah usaha-usahamu dalam mencari adab itu?” Beliau
menjawab, “Aku akan senantiasa mencarinya, laksana seorang ibu yang mencari anak
satu-satunya yang hilang.”
Melalui pendidikan adab,
seseorang mampu mengenali dan meletakkan sesuatu sesuai tempatnya. Dalam buku Risalah
untuk Kaum Muslimin, Prof. Naquib Al-Attas menegaskan, “Adab adalah kemauan
dan kemampuan seseorang untuk meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, sesuai
dengan harkat dan martabat yang telah ditentukan oleh Allah.”
Beliau kembali mengingatkan
konsep adab dalam buku The Concept of Education in Islam, “Adab is
recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are
ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank,
and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical,
intellectual, and spiritual capacities and potencial.”
Karena mampu meletakkan sesuatu sesuai
porsinya, maka seseorang pun akan dapat mengenali jati dirinya. Mampu menilai
apakah dirinya tahu atau tidak tahu. Manusia yang tidak beradab justru akan
merasa paling tahu, padahal ia tidak tahu. Seseorang pun juga akan menghargai
posisi ilmu serta manfaatnya bagi dirinya di dunia dan akhirat. Niatnya lurus
ketika mencari ilmu dan tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu.
Melalui adab, manusia mampu pula
menempatkan karakternya. Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong.
Dalam konsep adab pun, apabila manusia bekerja keras hanya untuk tujuan duniawi
sesaat, maka manusia termasuk kategori tidak beradab. Karakter yang dimilikinya
tidak akan melanggar norma-norma agama. Contohnya, toleran adalah karakter yang
baik. Tapi sebagai Muslim kita harus toleran terhadap apa? Seorang Muslim tidak
boleh bersikap toleran terhadap kezaliman maupun kemusyrikan. Setiap Muslim
memiliki kewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah, menurut
Adian Husaini, pendidikan yang sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan
yang adil dan beradab.
Pendidikan harus mampu menjadikan
seseorang sebagai manusia yang berkarakter dan beradab sekaligus. Itulah tujuan
pendidikan dalam Islam: mencetak manusia yang baik atau good man.
Sebagaimana dirumuskan oleh Prof. Naquib Al-Attas dalam buku Islam and
Secularism, “The purpose of seeking knowledge in Islam is to inculcalte
goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in
Islam is therefore to produce a good man... the fundamental element inheren in
the Islamic concept of education is the inculcation of adab...”
Allahu a’lam.[]
Referensi:
DR. Adian Husaini, Pendidikan
Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab.
Muhammad Ardiansyah, Catatan
Pendidikan.
0 comments:
Post a Comment