Nulis Suka-Suka

Apakah Kaum Feminis Itu Mau?



            Suatu hari, rekam Abu Nu'aim al-Asbahani dalam kitab Ma'rifat al-Shahabah, Asma binti Yazid al-Anshariyah menghadapi Nabi yang tengah berada di antara shahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah Yang jadikan ayahku dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun di antara mereka saat ini, kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggu rumah kalian para suami, dan yang mengandung anak-anak kalian.


Sementara kalian kaum lelaki dilebihkan atas kami dengan shalat berjama'ah, shalat Jum'at, menengok orang sakit, mengantar jenazah, bisa haji berulang-ulang, dan jihad di jalan Allah. Pada saat kalian haji, umrah, atau berjihad, kami yang menjaga harta kalian, menjahit baju kalian, dan mendidik anak-anak kalian. Mengapa kami tidak bisa menyertai kalian dalam semua kebaikan itu?”

Rasul lantas menoleh kepada para shahabatnya dan berkata, “Tidakkah kalian pernah dengar ucapan perempuan yang bertanya tentang agamanya, lebih baik dari Asma?”

“Tidak, wahai Rasul.”

Beliau lalu bersabda, “Kembalilah wahai Asma dan beri tahukan kaummu bahwa melayani suami kalian, meminta keridhaannya, dan menyertainya ke mana pun ia pergi, pahalanya SETARA dengan apa yang kalian tuntut.”

Asma lalu pergi keluar majelis tersebut seraya bertahlil dan bertakbir kegirangan.

Aspirasi Asma’ tersebut rasanya perlu direnungi baik-baik. Terutama ketika paham kesetaraan gender hari ini sangat dipaksakan oleh sejumlah kalangan, di antaranya para pegiat feminisme. Ketika kaum feminisme itu menyuarakan suaranya menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ternyata para shahabiyah telah memulai terlebih dahulu sejak masa Rasulullah Saw. Hanya saja, tidak ada satu pun shahabiyah yang akhirnya menggeser konsep gender dari segi biologis menjadi ke sisi sosial. Mereka tetap menerima konsep Islam dengan ikhlas dan penuh ketaatan.

Selain itu, menurut Fahmi Salim, ada perbedaan antara aspirasi Asma’ dengan gugatan para pendukung feminisme.

“Aspirasi Asma’ berbeda secara substansial dengan aspirasi kaum pegiat feminisme dan kesetaraan gender saat ini. Asma tidak menuntut kesetaraan nominal; bahwa perempuan dan laki-laki harus sama-sama aktif di ruang publik untuk memajukan pembangunan. Perempuan yang aktif mendidik anak-anaknya di rumah dengan sungguh-sungguh sering direndahkan dan tidak dianggap telah berkontribusi dalam pembangunan. Yang dituntut oleh Asma’ adalah kesetaraan substansial, bukan kesetaraan nominal. Peran bisa berbeda, tetapi peluang untuk meraih pahala dari Allah adalah sama besarnya.”[1]

Asma’ menuntut pada hal yang lebih substansial. Yakni balasan apa yang akan para Muslimah terima atas setiap peran yang mereka tuntaskan. Bagaimana status mereka di hadapan Allah kala hari hisab kelak. Jika para lelaki bisa memperoleh pahala yang besar atas jihad dan amal mereka yang lain, tidakkah para Muslimah pun bisa mendapatkan yang serupa? Peran yang telah diatur oleh Islam bukan pokok gugatan Asma’. Beliau dan para shahabiyah telah menerimanya dan jelas tidak akan mencoba merombaknya.

Tidak ada shahabiyah yang tiba-tiba merasa ingin menggantikan Bilal mengumandangkan azan. Tidak ada dari mereka yang berpikir menggantikan Rasulullah menjadi imam shalat dan khatib Jum’at. Tidak ada satu pun yang merasa dirinya hina dan direndahkan jika bermakmum di belakang laki-laki.

Bandingkan dengan para pegiat feminisme yang ingin mengangkat kesetaraan wanita, tetapi hanya menyentuh sisi kulitnya.

Di antara pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang kerap digugat, yaitu:[2]

1.    Hak waris anak laki-laki dan anak perempuan dengan perbandingan 2:1,
2.    Persaksian 2 perempuan setara dengan 1 orang laki-laki dalam hal muamalah,
3.    Pembayaran diyat pembunuhan korban perempuan adalah setengah dari diyat pembunuhan korban laki-laki,
4.    Hak talak hanya dimiliki oleh suami,
5.    Laki-laki boleh berpoligami,
6.    Istri wajib menunggu masa iddah ketika cerai, sedangkan lelaki tidak,
7.    Perempuan tidak bisa menjadi wali pernikahan,
8.    Perempuan haram jadi imam shalat dan khatib Jum’at,
9.    Shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki,
10. Laki-laki wajib mencari nafkah, sedangkan wanita hanya dibolehkan.

Hal ini tidak mengherankan karena Feminis memang lahir dari kemarahan. Ujungnya justru balik merendahkan laki-laki. Bahkan agama pun menjadi objek gugatannya.

Buktinya nafsu amarah lesbianisme ikut diimpor dan dijual bagai keniscayaan, dibela dengan penuh kepercayaan dan dijustifikasi dengan ayat-ayat keagamaan. Bangunan konseptualnya berwajah liberal, radikal, Marxis, dan terkadang postmo.[3]

Berbeda dengan para shahabiyah. Mereka bahkan tidak segan menyambut panggilan jihad. Ada Khadijah yang rela menginfakkan seluruh hartanya bagi dakwah Rasul. Ada Aisyah dengan keluasan ilmunya dan hafalan hadits yang luar biasa. Ada Asma’ binti Abu Bakar yang menjadi pengatur logistik ketika Rasulullah dan Abu Bakar hijrah. Ada Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah yang aktif berjihad mendampingi suami-suami mereka.

Maukah kaum feminisme bertindak sebagaimana para shahabiyah? Bukan hak atau nominal saja yang dituntut. Namun, berbagai kewajiban pun ditunaikan. Bahkan tidak segan mempertaruhkan nyawa bagi agamanya. Allahu a’lam. []


[1] Fahmi Salim, Tafsir Sesat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2013), hal. 126.
[2] Ibid, hal. 128.
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, (Jakarta: INSISTS-MIUMI 2012), hal. 240.

Share:

0 comments:

Post a Comment