Bisakah sebuah kebenaran dicapai
tanpa bimbingan wahyu? Bisa jadi bisa. Bagi para pengagum akal, aktivitas
filsafat, berpikir, dan bukti-bukti empiris merupakan sarana mencapai
kebenaran. Bukankah itu pula yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam?
“Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu
termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang
tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata:
"Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari
terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka
tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah
kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi
petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan
yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki
sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu.
Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku
takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal
kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah
sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka
manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari
malapetaka), jika kamu mengetahui?" Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk. Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim
untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa
derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-An’am: 75-83)
Ayat-ayat
ini menjadi legitimasi bahwa manusia dapat mencapai kebenaran dan pengeahuan
mengenai Tuhannya melalui pengamatan terhadap alam semesta. Sebagaimana Nabi
Ibrahim mencari Tuhannya. Beliau ‘alaihis salam seolah sedang
berfilsafat, persis ketika para filsuf menanyakan konsep Tuhan, agama, dan
dirinya sendiri.
Padahal dalam Tafsir Al-Quran
Al-Azhim dan kitab Qashashul
Anbiya’, Ibnu Katsir secara tegas menyatakan bahwa ayat ini menggambarkan
perdebatan antara Nabi Ibrahim dengan kaumnya. Lebih tepatnya kepada para
penduduk Harran.[1] Nabi
Ibrahim menjelaskan kepada mereka mengenai kekeliruan menyembah bintang-bintang
yang beredar. Di antara semua bintang, ada tiga benda langit yang memiliki
cahaya paling terang yaitu matahari, bulan, dan venus.
“Ketika
malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
"Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Qs. Al-An’am: 76)
Nabi Ibrahim
menjelaskan, Bintang Venus tidak layak dijadikan sebagai Tuhan. Karena ia telah
ditundukkan dan ditakdirkan bergerak pada garis edarnya. Ia tidak memiliki
kuasa apa pun atas dirinya. Bintang Venus terbit dari timur, beredar menuju
barat, lalu menghilang.
“Kemudian
tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku".
Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:
"Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu
telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri
dari apa yang kamu persekutukan.” (Qs. Al-An’am: 77-78)
Bulan dan
matahari pun sama seperti bintang. Tidak memiliki kuasa atas dirinya. Ia
muncul, lalu menghilang kembali. Lalu Nabi Ibrahim berlepas diri dari
sesembahan kaumnya itu. Sebab beliau hanya menyembah Pencipta semua benda-benda
itu. Yang mengadakannya, yang menundukkannya, yang menjalankannya, dan yang
mengaturnya.[2]
Maka Ibnu Katsir pun bertanya, “Pantaskah bila dikatakan bahwa Nabi Ibrahim menanyakan hal-hal tersebut? Padahal ia adalah seorang nabi yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam firmannya,
“Dan
sungguh telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa
dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.” (Qs. Al-Anbiya’:
51)
Mustahil
bagi seorang Kekasih Allah—yang dijadikan oleh-Nya sebagai panutan umat
manusia, taat kepada Allah, cenderung kepada agama yang benar (hanif),
dan tidak termasuk orang yang menyekutukan Allah—dianggap sebagai orang yang
mempertanyakan hal tersebut. Bahkan dia orang yang lebih utama untuk memperoleh
fitrah yang sehat dan pembawaan yang lurus sesudah Rasulullah Saw. tanpa
diragukan lagi. Yang benar ialah dia dalam keadaan mendebat kaumnya yang
menyekutukan Allah Swt. Bukan sebagai orang yang menanyakan hal yang dikisahkan
oleh Allah Swt. itu.[3]
Jadilah Nabi
Ibrahim, sebagaimana nabi dan rasul lainnya, seseorang yang mencapai kebenaran
dengan bimbingan wahyu. Bukti empiris dan sains mungkin bisa menjadi sarananya,
tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan manusia untuk mencapai kebenaran melalui
dua hal tersebut? Sedangkan sains pun senantiasa berubah, tidak absolut, sangat
tergantung kepada penelitian-penelitian yang dilakukan manusia. Sementara itu,
kemampuan berpikir manusia pun ada batasnya. Alhasil, kebenaran yang dicapai
hanya bersifat spekulasi, karena ketiadaan arah dan sumber ilmu lain yang bisa
digunakan. Celakanya, mencukupkan diri dengan spekulasi justru disebut dengan
berfilsafat.
“Dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Qs. A-Isra’: 85)
[1]
Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hlm.
216
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 7, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2000), hlm. 385
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 7, (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
2000), hlm. 387-389
0 comments:
Post a Comment