Beberapa waktu silam, kampus saya menggelar kuliah umum bertajuk "Kenapa Kita Harus Bermadzhab?". Didapuk sebagai pembicara ialah Ust. Isnan Anshory dari Rumah Fiqih Indonesia. Sebetulnya ini adalah materi dasar pada semester-semester awal. Namun, selalu saja ada cakrawala baru ketika menyimak ilmu dari guru yang berbeda.
Salah satunya mengenai posisi madzhab dalam Islam. Bagian ini penting, sebab apabila kita salah memosisikan madzhab, kita akan salah mengartikan "perbedaan". Selain itu, bisa-bisa kita malah mengetatkan yang longgar dan melonggarkan yang harusnya ketat.
.
Untuk sesuatu yang telah disepakati, tidak ada perbedaan, berarti tidak madzhab. Misalnya, hukum shalat lima waktu itu wajib. Di sini semua orang sepakat. Tidak ada perbedaan, sama dengan tidak ada madzhab.
Pertanyaannya, apakah kita boleh berbeda dalam semua hal? Di mana kita seharusnya sepakat, dan di mana kita boleh berbeda?
.
Sebelum lanjut bicara madzhab, kita mesti tahu sumber masalah yang kerap menjadi sumber perbedaan.
Pertama, dari agama Islam itu sendiri. Masalah agama terbagi dua, yaitu:
1. Perkara ushul/pokok/akidah. Biasanya mengenai konsep ketuhanan, kenabian, asal-usul manusia, dan sebagainya.
2. Perkara furu/cabang/fikih. Biasanya mengenai praktis kehidupan sehari-hari, seperti ibadah, muamalah, dan sejenisnya.
Kedua, dari dalil. Jenis dalil terbagi dua, yaitu:
1. Dalil Qath'i, yakni dalil yang tidak melahirkan multitafsir. Misal, surat Al-Ikhlas ayat 1, tidak ada tafsir lain kecuali bahwa Allah itu Mahaesa.
2. Dalil Zhanni, yakni dalil yang memungkinkan terjadinya penafsiran lain dan ini jumlahnya banyak sekali.
.
Setelah kita memahami sumber masalahnya, kita bisa mengidentifikasi posisi madzhab. Sekaligus posisi perbedaan kita.
1. Perkara ushul yang dalilnya Qath'i.
Contohnya surat Al-Ikhlas ayat satu tadi. Konsekuensi kalau kita berbeda di bagian ini adalah Muslim vs Kafir. Hubungannya kerap kita sebut Millah atau Diin. Kalau mengingkarinya, kita bisa keluar dari Diin Islam.
2. Perkara ushul yang dalilnya Zhanni.
Contohnya mengenai konsep takdir. Di sini perbedannya dalam hal Firqah atau Manhaj. Pilihannya antara Ahlus Sunnah wal Jamaah atau ahlul Bid'ah. Di bagian ini, mungkin kita pernah mendengar istilah mu'tazilah, qadariyah, asy'ariyah, dan lainnya.
Namun walau berbeda atau bisa tergolong sesat, belum tentu pengikutnya kafir. Tapi setiap yang kafir pasti sesat. Jangan dibalik.
3. Perkara furu yang dalilnya Qath'i.
Contohnya mengenai kewajiban shalat lima waktu. Kalau ada orang yang mengingkari kewajiban ini bisa tergolong dalam Zindiq, dan kemungkinan besar keluar dari Islam.
4. Perkara furu yang dalilnya Zhanni.
Nah, di sinilah letak madzhab yang empat besar itu. Madzhab yang selama ini kita sebut kalau kita ada perbedaan dalam fikih. Pilihannya hanya Rajih atau Marjuh; kuat atau nggak argumennya.
Pada bagian ini, ada sebuah pepatah menarik, "Tidak boleh mengingkari perkara yang diperselisihkan ulama, tetapi ingkarilah perkara yang telah ulama sepakati kemudian ada yang menolaknya."
.
Dari sini, kita harusnya dapat lebih bijak jika menemukan perbedaan pendapat. Kalau perbedaannya sekadar fikih zhanni, jangan cap orang lain sebagai ahlu bid'ah. Sebab konteksnya berbeda. Kadang orang jadi bingung membedakan mana manhaj dan mana madzhab. Sekadar beda fikih, lantas dianggap manhajnya beda.
Selain itu, jelas pula mana bagian kita boleh berbeda pendapat dan mana yang tidak. Untuk poin 2 dan 4, walau berbeda tidak akan menyebabkan kita keluar dari Islam. Namun, berhati-hatilah apabila kita berbeda di poin 1 dan 3.
Allahu a'lam bi ash-shawwab.
0 comments:
Post a Comment