Sejak
berabad-abad silam, filsuf-filsuf Yunani dan negeri lainnya memikirkan berbagai
hal mendasar seputar hakikat manusia serta alam semesta. Sebagai seorang filsuf
yang mencoba berpikir menyeluruh, mereka mencari tahu hakikat kehidupan, konsep
Tuhan, alam, manusia, hingga moral. Sayangnya, para filsuf tersebut tidak
memperoleh informasi berupa wahyu atau bahkan menolaknya. Sehingga otomatis
mereka akan berspekulasi. Wahyu inilah yang membedakan konsep berpikir menurut pandangan
hidup (worldview) Islam dengan para filsuf tersebut. Malangnya, kata
Adian Husaini, berspekulasi kemudian diberi nilai yang sangat tinggi yaitu
sedang berfilsafat![1]
Cukupkah Hanya Dengan Pendidikan Karakter?
“Good character is more to be
praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good
character, by contranst, is not given to us. We have to build it piece by
piece—by thought, choice, courage, and determination.” (John Luther).
Resensi Novel Pergi: Memburu Makna Hidup di Belantara Shadow Economy
Ada dua momen paling penting dalam hidup. Pertama,
ketika kita dilahirkan. Kedua, saat kita tahu mengapa.
Sepanjang sejarah kehidupan, manusia selalu bertanya:
siapa mereka, sekarang ada di mana, dan mau menuju ke mana. Setiap individu
akan mencapai suatu titik untuk bertanya demikian pada dirinya sendiri. Itulah
pertanyaan dasar yang harus dijawab. Dan itu pula yang berkelindan di benak
Bujang saat ini. Ia bukan Tauke Besar biasa, memuaskan ambisinya tanpa putus.
Ia Bujang, pemilik darah tukang pukul terbaik negeri sekaligus pewaris darah
seorang ulama besar.
Syiah dan Risalah Amman
Pada tanggal 10 November 2012,
harian Republika menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Jalaluddin
Rakhmat bertajuk “Menyikapi Fatwa Tentang Fatwa”. Ketua Dewan Syura Ikatan
Jamaah Ahlulbait Indonesia itu menulis tanggapan atas tulisan KH. Ma’ruf Amin
berjudul “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” yang sempat dimuat harian Republika pada
tanggal 8 November 2012. Fatwa yang dimaksud ialah fatwa mengenai kesesatan
Syiah, terutama ketika kasus Syiah Sampang merebak.
Ayat 'Pluralis'
Meski
belum ada definisi pasti mengenai Pluralisme Agama, namun penganut paham ini
terus saja bertambah. Termasuk dari para cendekiawan Muslim sendiri. Pluralisme
Agama yang memandang semua agama sama dan tidak boleh ada yang mendeklarasikan truth
claim, tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika semua agama itu sama,
maka tidak akan ada cerita Rasulullah mengirim surat dan delegasi ke Romawi,
Persia, Ethiopia, dan daerah lain. Mengajak raja dan seluruh rakyatnya agar
masuk Islam.
Apakah Kaum Feminis Itu Mau?
Suatu hari,
rekam Abu Nu'aim al-Asbahani dalam kitab Ma'rifat al-Shahabah, Asma
binti Yazid al-Anshariyah menghadapi Nabi yang tengah berada di antara
shahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah Yang jadikan ayahku dan ibuku tebusanmu
wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun
di antara mereka saat ini, kecuali berpikiran yang
sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan
perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas
aktivitasnya, menunggu rumah kalian para suami, dan yang mengandung anak-anak
kalian.
Kegagalan Sekularisme
Dalam artikel berjudul Berkah
Sekularisme, Luthfi Assyaukanie menulis bahwa dalam perkembangannya,
sekularisme dapat menjadi konsep yang efektif untuk meredam konflik antara
agama dan negara. Bahkan efektif dalam memberikan landasan bagi demokrasi dan
persamaan hak.
Menyerahkan Diri Hanya Kepada Allah: Tadabbur Surat Ali Imran Ayat 18-20
Pada tanggal 11 Mei 2003, Harian Jawa
Pos memuat wawancara yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla kepada Budhy
Munawar Rahman. Tokoh JIL yang juga dosen Univeritas Paramadina itu mengatakan,
“...inti keberagaman itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam
bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata
Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya,
kepasrahan dan ketundukan...”[1]
Nabi Ibrahim Mencari Tuhan atau Sekadar Berdebat?
Bisakah sebuah kebenaran dicapai
tanpa bimbingan wahyu? Bisa jadi bisa. Bagi para pengagum akal, aktivitas
filsafat, berpikir, dan bukti-bukti empiris merupakan sarana mencapai
kebenaran. Bukankah itu pula yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam?
Benarkah Nabi Ibrahim Mengajarkan Tiga Agama Samawi?
Ada salah kaprah di tengah
masyarakat mengenai konsep agama samawi (wahyu). Agama Yahudi, Nasrani, dan
Islam dianggap sejajar karena ketiganya merupakan agama-agama yang memperoleh
kitab dari Tuhan. Selain itu, ketiganya berasal dari sumber yang satu, yakni
Nabi Ibrahim as.
Konsep Wahyu dalam Worldview Islam
Berbicara
mengenai Worldview of Islam, sebetulnya mau tak mau kita akan
membicarakan worldview dari peradaban lain dan membandingkannya dengan worldview
yang dimiliki Islam. Sebab penyebutan Worldview of Islam
(pandangan hidup Islam) sendiri berfungsi untuk mengkhususkan bahwa pandangan
ini adalah milik Islam. Menjadi ciri khas agama ini dan tidak dimiliki oleh worldview
lain.
Salah
satu hal yang membedakan tersebut adalah mengenai konsep wahyu.
“Banyak
lapisan makna di dalam worldview,” tulis Hamid Fahmi Zarkasyi. “Membahas
worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into
landless-sea), kata Nietszche. Meskipun begitu, di Barat masalah worldview
tetap hanya sejauh jangkauan panca indera.”[1]
Oleh
sebab itu, di Barat orang-orang membahas worldview hanya berdasarkan
pendekatan kultural dan saintifik. Bukti-bukti nyata mengenai sesuatu harus
dibuktikan secara empiris atau melalui pengalaman langsung. Definisi ilmiah
bagi mereka ialah apabila sesuatu itu dapat dilihat, didengar, dan diraba.
Sehingga
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu dicapai indera, mereka
hanya mampu berspekulasi.
Sementara
itu bagi setiap Muslim, wahyu adalah bagian dari apa yang orang Barat sebut
sebagai sesuatu yang “ilmiah.” Islam memiliki konsep khabar shadiq
(kabar yang benar). Khabar shadiq ini datang dari dua wahyu Allah;
Al-Quran dan Sunnah Nabi yang mutawattir. Sebagaimana kata Hamid Fahmi
Zarkasyi, “Dalam Islam, sejauh apa pun pikiran kita berpetualang, wahyu akan
tetap menjadi obornya.”[2]
Dengan demikian, demi menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep Tuhan, agama, manusia,
surga-neraka, hari akhir, dan sebagainya, setiap Muslim tidak perlu
berspekulasi. Dan memang dilarang berspekulasi. Sebab semuanya telah dijelaskan
di dalam Al-Quran dan Sunnah. Seorang Muslim hanya perlu menggalinya dengan
metodologi yang tepat.
Masalahnya,
selain menolak wahyu, mereka juga mengidap apa yang Syamsuddin Arif sebut
dengan “Kanker Epistemologis.”[3]
Gejala-gejala
yang ditimbulkannya cukup jelas. Pertama, mereka bersikap skeptis
terhadap segala hal. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan
keraguan. Meskipun hal tersebut merupakan hal yang qath’i bagi seorang
Muslim dan telah dijelaskan melalui wahyu. Perkara-perkara tersebut masih bebas
untuk diperdebatkan.
Kedua,
berpaham
relativistik. Sehingga jika seorang Muslim menjunjung tinggi wahyu, ia tidak
boleh menganggap hal tersebut sebagai hal yang paling benar. Seorang relativis
berpikir untuk menerima dan menganggap semuanya benar.
Ketiga,
mengalami kekacauan ilmu. Ia tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan
yang salah. Sehingga konsekuensinya sesuatu yang salah bisa dianggap sebagai
kebenaran, begitu pun sebaliknya.
Selain itu, anggaplah mereka yang
pikirannya belum terwarnai dengan Worldview of Islam menerima Al-Quran,
tetapi ketika menggali sesuatu darinya, mereka tetap saja menafikan konsep
wahyu.
“Level berikutnya adalah Al-Quran
sebagai data sejarah, yakni sebagai teks yang secara historis berada di
tengah-tengah umat Islam. Ia menjadi sumber, fondasi, dan ilham bagi norman dan
aturan-aturan yang mengatur kehidupan umat Islam. Pada level inilah, Al-Quran
bisa diinterogasi secara ilmiah, dianalisa, diinterpretasikan, dan seterusnya,”
tutur Ulil Abshar Abdalla.[4]
Bagi Ulil, Al-Quran sebagai wahyu
dan data sejarah harus dipisahkan. Pengkajian ilmiah atas Al-Quran bersifat
relatif, karena mengandalkan asumsi, sehingga bersifat kondisional dan
provisional. Dari sini, maka tidak heran muncullah Tafsir Hermeneutika.
Mengganggap Al-Quran sebagai kitab biasa, sehingga bisa ditafsirkan sebebasnya.
Memang benar bahwa tafsir itu
bersifat relatif. Para mufassir terdahulu hingga yang kontemporer tidak
pernah ada yang mengklaim bahwa tafsirnya adalah tafsir yang paling benar.
Paling sesuai dengan maksud Allah Swt.
Tetapi ketika menafsirkan Al-Quran,
mereka menggunakan metodologi yang sesuai prosedur dan memenuhi segala
persyaratannya. Syaikh Manna Al-Qathan menjelaskan setidaknya ada 9 syarat bagi
mufassir untuk menafsirkan Al-Quran.[5]
- Akidah yang benar. Maka mereka yang tidak mempercayai Tuhan, menganggap Tuhan itu lebih dari satu, mengatakan bahwa ada nabi setelah Rasulullah Saw., tidaklah memenuhi persyaratan.
- Bersih
dari hawa nafsu, sehingga tidak ada keinginan untuk membela kepentingan
kelompoknya sendiri apalagi kepentingan orang-orang yang membayarnya.
- Lebih
dahulu menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.
- Mencari
penafsiran dari Sunnah.
- Melihat
pendapat para shahabat mengenai ayat yang dimaksud.
- Merujuk
kepada pendapat para tabi’in.
- Memiliki
kemampuan bahasa Arab yang baik. Bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga
menguasai ilmu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
- Memiliki
pengetahuan mengenai Al-Quran. Di antaranya adalah ilmu qira’at, ushul
at-tafsir, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lain-lain.
- Pemahaman yang cermat untuk menyimpulkan makna dari ayat-ayat tersebut.
Tidak hanya sampai situ, seorang mufassir juga mesti memiliki adab yang baik. Niatnya lurus karena Allah, berakhlak mulia, mengamalkan ilmunya, jujur dalam penilainnya, serta siap mengikuti metodologi yang telah ditetapkan di atas.
Data
sejarah—seperti asbab an-nuzul—perlu dipisahkan dalam arti bahwa fakta
sejarah tidak menjadi penilaian utama dalam mengambil kesimpulan hukum. Data
tersebut hanya membantu untuk memahami ayat-ayat Allah. Dalam hal ini berlaku
kaidah, “Yang dianggap adalah lafazh yang umum, bukan sebab yang khusus.”[6]
Misal,
firman Allah berikut, “Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa itu dari
neraka, yang menafkahkan hartanya di jalan Allah untuk membersihkannya, padahal
tidak ada seorang pun memberikan nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi
ia memberikan semua itu semua semata-mata karena mencari keridhaan Allah,
Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan kelak ia benar-benar mendapatkan kepuasan.” (Qs.
Al-Lail: 17-21)
Ayat
ini turun berkenaan dengan Abu Bakar. Tetapi apakah hanya Abu Bakar ra. yang
bisa memperoleh keutamaan demikian. Jumhur ulama—dan ini merupakan pendapat
terkuat—berkata bahwa yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum. Sehingga
jika umat Islam lain melakukan hal dikerjakan Abu Bakar, ia bisa mendapatkan
keutamaan serupa. Berupa ”Dan kelak ia benar-benar mendapatkan kepuasan.”
Begitulah
Worldview of Islam membimbing manusia menuju jalannya yang tepat. Banyak
hal yang tidak diketahui manusia. Dan wahyu turun sebagai petunjuk serta
menjawab persoalan-persoalan tersebut. Tak hanya itu, wahyu pun mengarahkan
manusia agar akalnya mampu berpikir lurus sesuai jalan Tuhannya. Inilah poin
utama yang tidak dimiliki oleh worldview peradaban lain.
Allahu
a’lam. []
[1]
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi,
dan Islam, (Jakarta: INSISTS, 2012), hlm. 242
[2]
Ibid, hlm. 244
[3]
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), hlm. 140-142
[4]
Ulil Abshar Abdalla, Alquran Sebagai Wahyu dan Fakta Sejarah, http://islamlib.com/kajian/quran/alquran-sebagai-wahyu-dan-data-sejarah/,
diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pukul 14.00 WIB
[5]
Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010), hlm. 414-418
[6]
Ibid, hlm. 102-104