Nulis Suka-Suka

Sejarah Perayaan Maulid Nabi



Peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah lama menjadi perdebatan sengit di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Kontroversi mengenai permasalahan tersebut, salah satunya, dilatarbelakangi oleh faktor sejarah. Sebagian orang beranggapan, peringatan Maulid Nabi merupakan bagian dari syiar ajaran-ajaran Syiah. Sedangkan golongan lain menyangkal bahwa perayaan ini diinisasi oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima bermazhab Asy'ari yang berhasil merangkul Al-Aqsa ke dalam pangkuan umat Islam untuk kedua kalinya.

Manakah sejarah perayaan Maulid Nabi yang valid?

Mula-mula kita ulas dahulu 3 teori berbeda mengenai sejarah perayaan ini.

Pertama, perayaan Maulid Nabi diyakini dimulai pada masa Dinasti Ubaid (Fathimiyah) di Mesir yang berafiliasi dengan Syiah Rafidhah. Tepatnya di era kepemimpinan Al-Mu’idz li Dinillah yang berkuasa pada tahun 341-365 H. Bukan hanya Maulid Nabi, mereka juga mengadakan perayaan tahun baru, perayaan Hari ‘Asyura, perayaan Maulid Ali bin Abi Thalib, perayaan Maulid Hasan, perayaan Maulid Husain, dan perayaan Maulid Fathimah.[1]

Perayaan yang mereka gelar bermaksud untuk merebut hati masyarakat Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kedua, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran di kalangan Ahlus Sunnah pertama kali oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukbari, gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Beliau menyediakan berbagai hidangan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir-miskin, dan sebagainya.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini adalah penguasa Irbil, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukbari bin Zainuddin bin Baktatin. Salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan.”

Ketiga, perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Beliau mengadakan perayaan Maulid untuk meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam rangka menghadapi Perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yerusalem dari tangan Kerajaan Salibis.[2]

Kompromi Sejarah

Para pendukung perayaan Maulid Nabi biasanya beralasan bahwa mereka mengikuti apa yang dirintis oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menyebut perayaan Maulid Nabi sebagai perbuatan bid’ah. Kalaupun bid’ah, maka hal tersebut termasuk bid’ah hasanah. Sebab Sultan Shalahuddin mengadakannya untuk memperkuat dan menyatukan kaum muslimin. Sedangkan para penentang Maulid Nabi berdalih bahwa Maulid Nabi merupakan budaya Syiah Rafidhah yang justru harus ditinggalkan.

Sebetulnya ketiga teori sejarah di atas dapat dikompromikan tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Dalam buku biografi Shalahuddin Al-Ayyubi, Ali Muhammad Ash-Shalabi memaparkan sejumlah fakta menarik.[3]

Ketika hendak menaklukkan Mesir yang dikuasai Dinasti Ubaid, Shalahuddin tidak lantas menggunakan cara-cara fisik. Alasannya, pengaruh Syiah Rafidhah telah mengakar kuat di Mesir selama bertahun-tahun dan tidak mudah untuk mencabutnya. Untuk itu, Shalahuddin mengambil langkah-langkah kultural dengan menghapus budaya Syiah Rafidhah satu per satu. Tujuannya agar tidak terlalu mencolok dan perlahan menarik simpati rakyat Mesir. Dengan demikian, Shalahuddin tetap mengadakan Maulid Nabi sebagai salah satu metodenya sambil perlahan menghapus hari raya lain, melepas pengaruh Syiah dari lembaga-lembaga pendidikan termasuk Al-Azhar, hingga mengganti khutbah Jumat yang menyebut Khalifah Al-Adhid (Syiah) dengan nama Khalifah Abbassiyah saat itu.

Praktik Shalahuddin ini ternyata menarik perhatian Malik Muzhaffar Kukbari di Irbil. Sehingga beliau pun mengadakan perayaan Maulid Nabi pula. Apalagi Malik Muzhaffar merupakan sejawat Shalahuddin dalam Perang Salib. Tidak heran hubungan antara keduanya pun cukup erat.

Allahu a'lam.



[1] Ibnu Saini bin Muhammad bin Musa, Benarkah Shalahuddin Al-Ayubi Merayakan Maulid Nabi?, (Jakarta: Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 2014), hal. 21-31.
[2] AM. Waskito, Pro dan Kontra Maulid Nabi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 23-24.
[3] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Shalahuddin Al-Ayyubi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), hal. 253-255.
image: easyparcel.com
Share:

Resensi The Dead Returns: Nyawamu adalah Hasil Pengorbanan Banyak Orang




“..Diabaikan secara tak sadar dan tanpa alasan rasanya lebih menyakitkan daripada diabaikan karena di-bully.” (hal. 98)

Pernahkah kita khawatir, jika nanti mati, apa tanggapan orang-orang di sekitar kita? Menangis sedih, merasa biasa saja, atau justru tertawa gembira? Rasa penasaran yang kuat bercampur dengan kengerian untuk menyaksikannya.

Namun, sepertinya Koyama Nobuo sudah siap menerima semua kenyataan di hadapannya. Apa yang perlu ia harapkan pada teman-teman sekelasnya di SMA Higashi? Koyama hanyalah seorang otaku (fanatik) kereta api di kelasnya. Tidak punya kelebihan, tidak menonjol, dan pastinya tidak digemari murid-murid perempuan. Bersama sahabatnya, Yoshio, ia bertahan di tengah orang-orang yang menganggap mereka pemilik masa depan suram. Keduanya tidak di-bully, tapi tidak diperhatikan juga.

Betul saja. Sekembalinya ia ke kelas, bahkan bunga putih untuk mengenangnya pun tergeletak layu. Tidak ada yang mengganti airnya.

Koyama harus sabar. Bukan itu tujuan ia kembali ke sana. Kini tubuhnya adalah milik Takahashi Shinji, murid pindahan berwajah cerah, tampan blasteran, dan lebih tinggi darinya. Seseorang yang berusaha menyelamatkannya saat terempas akibat didorong oleh pelaku misterius di Tebing Miura Kaishoku pada malam setelah upacara pembukaan semester baru.

Saat Koyama siuman dari koma panjang, ia telah bertukar tubuh dengan Takahashi. Kesempatan ini tidak boleh dibuang percuma. Koyama punya kehidupan kedua yang harus dimanfaatkan guna mencari si pelaku. Tersangka utama: 35 orang teman sekelasnya.

***

Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan membaca The Dead Returns seusai logika saya diaduk-aduk oleh Girls in the Dark. Akiyoshi Rikako kembali menyajikan cerita misteri yang lincah dan mengajak pembaca berspekulasi.

Mula-mula, kita dijebak untuk mencurigai Sasaki dan Arai. Kemudian muncul tokoh Jozaki. Maruyama yang berkepribadian sama dengan Koyama juga tak boleh diabaikan. Perlahan, kita pun seakan dipaksa untuk menebak Yoshio sebagai pelakunya. Bahkan ibu Koyama, Sakamoto-sensei, dan Takahashi Shinji sendiri tidak bisa lepas dari praduga.

Saya sejenak berpikir, jangan-jangan ujung novel ini mirip Murder on the Orient Express-nya Agatha Christie. Everyone is suspect!
Sayangnya, lagi-lagi plot twist. Sulit benar-benar menemukan jawabannya kalau belum sampai halaman terakhir.

Rasanya saya juga perlu berterima kasih pada Penerbit Haru yang berhasil menerjemahkan novel ini dengan baik. Dialog maupun narasinya mengalir sebagaimana novel remaja pada umumnya. Gambaran mengenai kehidupan sekolah di Jepang juga cukup terlukiskan secara apik. Kegiatan klub, festival budaya, sungguh masa muda yang penuh energi. Sayangnya, kasus bullying tampak tidak pernah selesai.

Budaya modernnya yang membanjiri dunia hari ini memoles sisi kelam negeri sakura tersebut. Kita kerap terpukau pada kemajuan teknologi dan masyarakat Jepang yang terkenal disiplin. Faktanya, angka bunuh diri di Jepang termasuk yang tertinggi dari seluruh negara. Kementrian Kesehatan setempat, pada tahun 2016 lalu, mencatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai hampir 22 ribu orang (Kompas.com).

Adapun di Indonesia, jumlahnya cenderung menurun. Dari 30 ribu kasus pada 2005, hingga hanya 840 kasus di tahun 2013. Terdapat empat penyebab utama: putus cinta, masalah ekonomi, keluarga yang tidak harmonis, dan masalah sekolah!



Koyama yang berupaya mencari pembunuhnya, ternyata juga disadarkan pemandangan menarik. Kadang ia menyaksikan kepalsuan teman-temannya, kadang justru ia menemukan kebaikan di balik anggapan kelirunya. Begitu pula Yoshio maupun Maruyama. Ketiganya menganggap teman-teman yang lain tidak mengerti mereka, tanpa disadari mereka pun punya pandangan negatif terhadap teman sekelasnya. Semua masalah tersebut ternyata mampu diselesaikan melalui hal sederhana: komunikasi. Saling terbuka dan menyampaikan hal-hal yang disukai maupun tidak disukainya.

Nyawa kita terlalu mahal untuk dikorbankan begitu saja. Padahal bisa jadi ada andil pengorbanan banyak orang agar kita tetap hidup.

“Kau bilang keberadaanmu muncul karena pengorbanan orang lain. Tapi, bukankah semua orang memang seperti itu? Namun, sedikit sekali orang yang menyadari fakta penting itu. Akan tetapi, Takahashi-kun, kau bisa menyadari hal yang mulia itu. Bukankah itu bagus sekali? Dengan itu saja, kau sudah cukup berarti untuk dilahirkan. Karean itu, percaya dirilah. Aku ingin kau hidup dengan bangga. Hmm... menurutku, Takahashi-kun pantas untuk hidup.” (hal. 156)


Judul : The Dead Returns
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Penerbit Haru
Tebal : 252 halaman
Cetakan : VIII, Oktober 2017
Nomor ISBN : 978-602-7742-57-4

Share:

Resensi Girls in the Dark: Siapa Ingin Membunuh Siapa



Kau pernah berpikir ingin membunuh seseorang?

Awal kali saya berjumpa dengan novel ini kurang lebih setahun lalu, ketika cuci mata di Gramedia Matraman. Dan pertemuan tersebut begitu menggoda. Mulai dari tampilan sampul, ukuran buku yang pas di genggaman tangan, hingga narasi sinopsisnya. Sayang, dompet saat itu mirip peci: tipis! Tahu sendiri, kan, kalau di Gramedia itu nggak ada diskon. #eh

Syukur ada kesempatan di International Indonesia Book Fair (IIBF) tahun ini. Waktunya hunting buku diskonan berbekal uang hadiah lomba Resensi Pergi Tere Liye (#sombong). Seperti biasa, booth Penerbit Haru terbilang unik. Di booth yang juga menjual sejumlah aksesoris itu, gelombang kalap sudah tidak bisa dibendung. Tiga buku segera dibungkus mbak-mbak kasir: Girls in the Dark, The Dead Returns, dan Holy Mother dari penulis yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, tangan seolah tak sabar membuka Girls in the Dark. Zalim sih sebenarnya. Banyak buku yang dibeli berbulan-bulan lalu, belum dibaca sampai sekarang. Sedangkan ini ada anak kemarin sore datang ke rumah, langsung bertahta di atas singgasana. Untung mereka nggak bikin demo.



***

Cerita bermula dari kegemparan di SMA Katolik Putri Santa Maria atas kematian Shiraishi Itsumi. Anak pengelola sekolah tersebut bersimbah darah sambil memegang setangkai bunga lily, terlentang di bagian teras seolah jatuh dari lantai atas. Apakah gadis cantik itu dibunuh? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu.

Seminggu kemudian, enam gadis dari Klub Sastra yang dulu diketuai oleh Itsumi mengadakan pertemuan. Sumikawa Sayuri, selaku wakil ketua, memimpin kegiatan yami-nabe di salon sastra mereka yang berkelas. Seluruh peserta akan memasukkan bahan-bahan aneh yang mereka bawa ke dalam panci dan semua orang harus memakannya di tengah kegelapan. Bahannya bisa berupa benda yang bisa dimakan maupun tidak, asal tetap higienis. Selama kegiatan berlangsung, masing-masing peserta wajib menulis cerita pendek sekaligus membacakan naskahnya.

Inilah gairah sesungguhnya yami-nabe. Terlebih, Sayuri telah menetapkan tema khusus. “Iya. Tema kali ini adalah kematian Ketua Klub sebelumnya, Shiraishi Itsumi.” (hal. 15)

Siapa sangka, cerita pendek yang mereka buat ternyata berisi analisis siapa yang menjadi pembunuh Itsumi.

Naskah pertama: Tempat Berada oleh Nitani Mirei. Murid kelas 1-A itu mengisahkan kehidupannya yang di bawah kecukupan, orang tua yang bercerai, serta kebanggaannya setelah memperoleh beasiswa. Ia juga mendeskripsikan ketakjubkannya pada kebaikan dan keanggunan Itsumi hingga undangan untuk bergabung dengan Klub Sastra, kelompok elit yang tidak semua orang dapat memasukinya. Di akhir cerita, Mirei melempar tuduhan pada Koga Sonoko sebagai pembunuh Itsumi. Bunga lily mengandung pesan, “Yang membunuhku adalah perempuan dengan harum bunga lily.”

Naskah kedua: Macaronage oleh Kominami Akane. Akane merupakan anak pemilik sebuah restoran Jepang ternama. Ayahnya sendiri yang menjadi koki. Hatinya merasa sakit setelah tahu restoran akan diwariskan kepada kakaknya. Demi terus memupuk semangat, ia pun mulai menekuni masakan Barat. Dapur salon sastra menjadi dunia kecilnya. Ibarat istana yang dilengkapi bahan masakan kelas satu serta peralatan masak terlengkap dan terbaik di dunia. Walau tersirat, murid kelas 2-B itu menganggap Mirei bertanggung jawab atas kematian Ketua Klub mereka.

Naskah ketiga: Balkan di Musim Semi oleh Diana Detcheva. Seorang gadis yang berasal dari sebuah desa kecil di Bulgaria. Ia dan kakaknya, Ema, menjadi pemandu Itsumi untuk mengelilingi desa sekaligus mengunjungi sejumlah objek wisata bersejarah dalam program semester pendek. Diana kemudian terpilih sebagai peserta murid internasional karena Ema tiba-tiba mengalami kecelakaan. Sepanjang kehidupannya di sekolah, Diana menemukan fakta bahwa tangan Takaoka Shiyo telah berlumur darah Itsumi.

Naskah keempat: Perjamuan Lamia oleh Koga Sonoko. Anak jurusan IPA, sekelas dengan Itsumi, serta sama-sama bermimpi menjadi dokter. Selain sebagai anggota Klub Sastra, tahun ini ia juga menjabat sebagai ketua perayaan Paskah dan Pantekosta. Super sibuk. Tetapi berbagai kegiatan tersebut justru mengantarkannya membuat kesimpulan bahwa pembunuh sebenarnya ialah Diana.

“...Darah? Lamia. Tukang sihir. Setan pengisap darah. Hamba iblis...” (hal. 186)

Naskah kelima: Pengibirian Raja Langit oleh Takaoka Shiyo. Bisa dibilang, murid kelas 2-C ini adalah anggota pertama yang direkrut Itsumi. Namanya tersohor sejak merilis novel remaja ringan, Kimi-kage Sou. Baginya, Itsumi bak kakak idaman. Sebab itu, dirinya menyesal setelah menyaksikan Akane mendorong Itsumi di teras.

Cerita pendek siapa yang dapat dipercaya?



***

Secara garis besar, cerpen yang disusun setiap anggota mempunyai pola yang sama. Mendeskripsikan kehidupan mereka, luapan emosi kegembiraan karena bergabung dengan Klub Sastra, kekaguman pada kesempurnaan Itsumi, sampai menyusun teori pembunuhan.

Di sinilah letak kejeniusan Akiyoshi Rikako yang membuat pembaca menerka-nerka hingga akhir bab. Terutama ketika pembacaan naskah keenam oleh Sumikawa Sayuri berjudul Bisikan dari Kubur, cerpen yang ditulis oleh Itsumi sendiri. Loh?

“Ah, sial. Ternyata...”

Saya tidak tahu banyak tentang sastra Jepang, tapi ada ketertarikan untuk membacanya. Novel ini adalah yang kedua, setelah sebelumnya saya menghabiskan Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga). Di lain waktu, mungkin saya ingin menyicipi karya-karya Haruki Murakami. Katanya sih fantasinya di luar nalar.

Sebagai penggemar serial Sherlock Holmes dan detektif-detektif Agatha Christie, Girls in the Dark berhasil menyajikan twist sempurna. Alur yang sulit ditebak, lengkap dengan petunjuk-petunjuk yang membingungkan.

Pembaca pun dibuat terhenyak karena ternyata setiap anggota Klub Sastra memiliki rahasia kelam. Topeng yang menutupi kebusukan hati. Misterinya berjalan lugas, tanpa bumbu thriller atau horor khas negeri sakura. Memang ada beberapa bagian yang salah ketik serta terlalu banyak penggunaan kata ganti “aku”. Sedikit mengganggu, tapi jadi tidak terasa karena gaya bahasa penerjemahannya yang kaya diksi dan membuat cerita mengalir dalam tempo cepat. Perpindahan sudut pandang pada setiap cerpen dibangun sedemikian rupa sehingga pembaca merasakan perbedaan karakter yang cukup dalam.

Novel ini tepat bagi dua orang. Pertama, para pecinta teka-teki. Kedua, mereka yang ingin belajar menguatkan karakter pada tokoh novel atau cerpen.

“Siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang memegang tongkat kekuasaan, siapa yang memilik wibawa... gadis-gadis itu mengendusnya, memilah-milahnya. Dan kalau ada kesempatan, mereka mengincar untuk merebutnya. Begitulah yang saya lihat tentang siswi SMA di Jepang.” (hal. 129)

“Pegang rahasianya, rebut tempatnya berada, dan sudutkan. Menggenggam rahasia seseorang sama dengan menggenggam jiwanya. Tidak ada kepuasan yang melebihi kepuasan itu.” (hal. 227)

Judul : Girls in the Dark
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Penerbit Haru
Tebal : 289 halaman
Cetakan : XII, Januari 2018
Nomor ISBN : 978-6027742-31-4

Share:

Tidak Mati, Tidak Pula Hidup



Salah satu aturan penggunaan Death Note menyebutkan bahwa pemakainya kelak tidak punya tempat di surga maupun neraka. Tak memperoleh nikmat, tak pula diazab. Setelah mati, pemakai Death Note akan berada di dunia berbeda.
Ya, tentu ini hanya ada dalam cerita. Kalaupun suatu agama mempercayainya, tentu tidak bagi Islam. Di akhirat kelak, manusia akan dibagi dalam dua tempat: surga atau neraka. Tidak ada tempat lain. Apalagi tempat semacam surga yang tak dirindukan (#eh).
Alih-alih menyoalkan tempat, Al-Qur'an justru membeberkan rahasia berbagai kondisi manusia di akhirat nanti.
Salah satunya ialah yang termaktub dalam surat Al-A'la,
"Maka mereka tidaklah mati di dalamnya, tidak pula hidup." (Qs. Al-A'la: 13)
Bayangkanlah sebuah kondisi ketika manusia tidak berada dalam keadaan mati, apalagi hidup. Hidup segan, mati pun tak mau. Sebab sesungguhnya ajal sudah menemui manusia di dunia. Dan kehidupan yang hakiki nan abadi ialah di surga-Nya.
Lalu siapakah orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini?
"Dan (segera) menjauhlah (dari peringatan itu) orang-orang yang celaka. (Yaitu) orang-orang yang menyalakan api yang besar." (Qs. Al-A'la: 11-12)
Merekalah para penghuni neraka yang menyala-nyala. Yang apinya dibakar selama ribuan tahun. Dari semula berwarna merah, menghitam, lalu memutih saking panasnya. Yang siksaan teringannya adalah dipakaikan sandal dari batu api, panasnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Yang makanannya ialah buah zaqqum: tidak mengenyangkan, justru menyiksa tubuh.
Mereka sudah menyalakan api neraka bagi diri mereka sendiri sejak di dunia. Selama hidupnya, tidak ada usaha untuk mendekati surga. Tidak punya takut atas peringatan-peringatan dari Rasul-Nya. Tiada iman, apalagi amal shalih yang menyelamatkan. Semakin ia berbuat dosa, semakin berkobarlah api yang disiapkan untuknya.
Kapling bagi mereka telah sedia dan siksaan menanti.
Siksaan-siksaan tersebut meleburkan tubuh mereka. Namun, tiada kematian lagi sesudah ajal di dunia. Mereka lalu dihidupkan, untuk disiksa hingga lebur lagi. Hidup lagi, siksa lagi, lebur lagi. Begitu seterusnya.
Dan Allah mengilustrasikan kejadian-kejadian tersebut dalam sebuah ayat yang ringkas, "Maka mereka tidaklah mati di dalamnya, tidak pula hidup!"
Suatu peringatan atas kengerian yang menimpa orang-orang durhaka. Yang sejak di dunia, sudah menyalakan api bagi dirinya sendiri.
"Sungguh, beruntunglah orang-orang yang menyucikan diri. Dan yang ingat pada Tuhannya, lalu ia mendirikan shalat." (Qs. Al-A'la: 14-15)
Allahu a'lam.
Share:

Memahami Hakikat Syura dari Perang Uhud




Kronologi Singkat Perang Uhud

“Takkan menyesal orang yang istikharah, takkan rugi mereka yang bermusyawarah.”


Selama setahun sejak kekalahan di Perang Badar, Makkah terus menggulung kekuatan. Napas kebencian diembuskan ke seantero kota. Tidak kurang dari 3.000 pasukan Quraisy berhimpun bersama sekutu-sekutunya. Dua ratus di antaranya merupakan penunggang kuda, sementara tujuh ratus orang berseragam baju besi. Komandan tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb, sedangkan pasukan penunggang kuda dipimpin Khalid bin Walid serta Ikrimah bin Abu Jahal. Panji perang diserahkan kepada Bani Abdid-Dar.

Setelah persiapan dirasa cukup, pasukan bertolak keluar Makkah. Terus melewati Wadi al-Aqiq, kemudian belok kanan hingga sampai di dekat bukit Uhud. Tepatnya di sebuah daerah bernama Ainain, sebelah utara kota Madinah.

Sang Rasul yang mendengar kabar tersebut melalui mata-matanya, lantas menggelar Majelis Permusyawaratan Militer. Beliau berupaya menghimpun pendapat mengenai langkah yang perlu diambil pasukan muslim seraya menceritakan mimpinya,

Demi Allah, aku telah bermimpi bagus. Dalam mimpi itu, kulihat beberapa ekor lembu disembelih, kulihat di mata pedangku ada gompal, dan aku memasukkan tangan ke dalam baju besi yang kokoh.

Sejumlah lembu yang disembelih ditakwilkan sebagai para sahabat yang kelak terbunuh dalam perang ini, mata pedang yang gompal menandakan anggota keluarga Rasul yang terkena musibah, sedangkan baju besi berarti kota Madinah. Berdasarkan mimpinya, beliau mengusulkan agar pasukan muslim cukup bertahan di dalam kota. Apabila orang-orang Quraisy tetap tidak melakukan serangan, biarkan kondisinya begitu tanpa kejelasan. Tapi jika mereka memutuskan masuk ke Madinah, pasukan muslim dapat segera mengepung dan para wanita bisa membantu melempari tentara Quraisy dari atap rumah mereka.

Gagasan ini disambut baik oleh Abdullah bin Ubay. Namun, sebagian besar sahabat yang sebelumnya tidak mengikuti Perang Badar, mendesak agar pasukan muslim pergi ke luar Madinah. “Wahai Rasulullah, sejak dulu kami sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia telah menuntun kami dan tempat yang dituju amat dekat,” cecar mereka, “Keluarlah untuk menghadapi musuh-musuh kita agar mereka tidak menganggap kita takut kepada mereka.”

Akhirnya Rasulullah mengabaikan ide beliau sendiri, lalu mengikuti pendapat mayoritas.

Sebakda keputusan ini diambil, setidaknya ada dua kejadian menarik yang patut dicermati:

Pertama, usai shalat Jumat sembari mengobarkan semangat pasukan, Rasulullah berdiam di dalam rumah selang beberapa saat. Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair pun berpikir para sahabat telah memaksa beliau. “Wahai Rasulullah, bukan maksud kami untuk menentang engkau. Berbuatlah menurut kehendak engkau. Jika memang engkau lebih suka kita menetap di Madinah, lakukanlah!”

“Tidak layak bagi seorang Nabi,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “apabila sudah mengenakan baju besinya, ia menanggalkannya semula, sampai Allah membuat keputusan antara dirinya dan musuhnya.”

Kedua, sesaat sebelum fajar menyingsing, shalat subuh hampir ditegakkan, dan musuh telah tampak di kejauhan, Abdullah bin Ubay tiba-tiba membelot bersama sepertiga pasukan. Abdullah bin Haram yang telah mengingatkannya lekas mengutuk, “Semoga Allah menjauhkan kalian wahai musuh-musuh Allah. Sehingga Allah membuat Nabi-Nya tidak membutuhkan kehadiran kalian!”

Dan kesudahan perang ini masyhur dalam ingatan kita. Pasukan muslim yang nyaris memenangi pertempuran, seketika kocar-kacir akibat kesalahan fatal detasemen pemanah yang turun dari bukit sebelum menerima komando. Akibatnya Rasulullah mengalami kondisi kritis. Sekitar 70 sahabat syahid termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib, sang Singa Allah sekaligus paman Rasulullah.



***

Pelajaran Tentang Syura/Musyawarah

"Membaca sejarah adalah cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan kebajikan-kebajikan hari ini, walaupun buah kebajikan itu baru dipetik oleh mereka yang akan lahir esok hari.” (Anis Matta)


Perang Uhud, sebagaimana epos sejarah lainnya, selalu menyisakan hikmah bagi kita yang hidup hari ini maupun di masa depan. Hikmah itu berserakan, hanya menunggu waktu sampai seseorang memungutnya. Salah satunya mengenai hakikat syura. Cobalah kita ulas sejenak.

1. Urgensi Syura dalam Pengambilan Keputusan

Pernahkah kita berpikir? Sebetulnya mudah saja bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera mengambil sikap dalam peperangan ini. Pertama, beliau telah bermimpi dan mimpi seorang nabi merupakan wahyu. Kedua, sekali Rasul membuat keputusan, niscaya seluruh sahabat akan menaatinya. Ketuk palu, tanpa musyawarah, selesai.

Tetapi kenyataannya, beliau justru tetap mengadakan musyawarah. Apakah beliau tidak yakin terhadap mimpinya? Tentu kita menjaga diri dari buruk sangka demikian. Analisis paling mungkin ialah beliau benar-benar ingin menunjukkan pada umatnya betapa pentingnya mekanisme syura dalam pengambilan keputusan.

Benarlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Aku tidak pernah melihat seseorang pun yang paling sering bermusyawarah dengan sahabatnya selain Rasulullah.” (Hr. Bukhari)

Organisasi yang tidak menghidupkan budaya syura hanya akan melahirkan pemimpin yang otoriter—minimal sok tahu. Para pemimpin, selain Rasulullah, hanyalah manusia biasa. Adakalanya ia memang telah menyusun rencana, merenda mimpi dan menentukan arah bagi kelompoknya. Tetapi secemerlang bagaimanapun gagasannya, tetaplah terbatas pada pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Kadang ia juga salah dan alpa. Sesekali mungkin ia merasa benar, tetapi bisa jadi ada blind spot yang tidak disadarinya. Titik-titik buta di dalam benaknya itulah yang hanya bisa diluaskan pandangannya oleh masukan dari orang lain.

2. Tidak Menyetujui Hasil Syuro

Perbedaan gagasan adalah sunnatullah, dan syura ialah medan peraduannya. Di luar itu, seluruh anggota wajib mengikuti ketetapan syura, apa pun hasilnya. Tetapi terkadang masih terdapat rasa mengganjal karena pendapat kita tidak diakui. Itu hal yang wajar. Setiap manusia memiliki ego dengan tingkatan masing-masing. Hanya saja, ketidaksetujuan terhadap hasil syura tetap harus dikelola agar kita tidak mengulang episode memilukan di Perang Uhud.

Bagaimana caranya?

Pertama, pastikan kita berdiri di atas niat yang lurus kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika mempertahankan pendapat. Bukan sekadar ambisi untuk mengalahkan saudara yang lain, nafsu yang ingin tampak intelek, atau bahkan sikap pengecut sebagaimana yang dipertontonkan oleh Abdullah bin Ubay. Gembong orang-orang munafik itu seolah-olah mendukung Rasulullah, padahal dirinya hanya tidak ingin berperang. Bila pasukan muslim takluk dan Sang Rasul wafat, maka ia berpeluang besar duduk di tampuk kepemimpinan Madinah.

Kedua, yakinkah bahwa pendapat kita digali dari analisis mendalam serta data-data yang valid? Tidak hanya berupa lintasan pikiran atau semangat yang menyala sesaat. Mari kenali ulang gagasan kita, kemudian pertimbangkan lagi apakah kita benar-benar pantas memperjuangkannya.

Ketiga, ingatlah bahwa persatuan jamaah jauh lebih utama dari kemenangan dakwah, apalagi sekadar kemenangan pendapat kita.

Siapapun tahu, Perang Badar merupakan pertempuran yang mahadahsyat. Kaum muslimin berjuang mati-matian. Sampai-sampai Rasul menengadahkan tangannya. Sampai-sampai Allah menurunkan bala tentara-Nya. Sayangnya, tatkala prosesi pembagian harta rampasan perang, tiba-tiba kondisi berubah. Para sahabat justru berpecah, saling berebut ghanimah sambil memamerkan jasa-jasanya.

“Aku yang membunuh musuh paling banyak!”

“Aku yang melindungi Rasulullah!”

“Aku yang maju paling depan!”

Akhirnya, Allah menegur mereka melalui ayat pertama surat al-Anfal. Lihat! Bukan pujian yang mereka terima. Melainkan peringatan dari Allah karena persatuan para sahabat seketika lenyap oleh masalah harta.

3. Tidak Menaati Hasil Syura

Apakah penyebab kekalahan pasukan muslim? Pasukan pemanah yang turun dari bukit? Mungkin ada benarnya, tetapi saya rasa itu bukan faktor tunggal. Kaburnya Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan merupakan faktor lain yang turut mempengaruhi jalannya pertempuran.

Mereka tidak mematuhi hasil musyawarah. Parahnya, mereka pergi justru ketika musuh telah terlihat di kejauhan. Bukan sedari awal, sebelum pasukan muslim berangkat. Tekad jihad para sahabat tentu masih membara, tapi berkurangnya jumlah pasukan akan sedikit melemahkan kekuatan. Harga yang kemudian harus dibayar karena pembelotan ini terlalu mahal. Di sisi lain, mungkin ini memang cara Allah menyeleksi siapa yang layak masuk dalam barisan tentara-Nya.



4. Sudah Syura, Tetap Kalah?

Kalau menjadi Abdullah bin Ubay, mungkin saya akan berkata begini sekembalinya pasukan muslim ke Madinah, “Tuh kan, apa gue bilang. Kalah, kan? Ngotot sih, bukannya ikut usul Rasulullah!”

Pernah menemukan ini di organisasimu? Berarti orang semacam itu belum memahami hakikat syura. Syura adalah mekanisme terbaik untuk mengambil keputusan. Bukan penentu kemenangan atau kekalahan. Sebagaimana sahur, tanpanya pun orang tetap kuat berpuasa, tapi Rasulullah menjadikannya sunnah karena terdapat barakah di dalamnya.

Orang-orang yang menjalankan musyawarah bukanlah komunitas malaikat. Kita tetap manusia biasa yang mengerahkan seluruh sumber daya untuk menghasilkan keputusan yang dianggap paling tepat. Ingat! DIANGGAP. Oleh karenanya, ketetapan dalam syura bersifat ijtihadiyah, kebenarannya berkisar antara 70-95 persen. Kalau keputusannya benar, kita bersyukur. Bila salah, cukup evaluasi dan musyawarahkan ulang. Tanpa perlu menyalahkan siapa pun.

Ketika Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair meminta Rasulullah tidak perlu menanggapi usulan para sahabat yang cenderung memaksa, beliau justru tidak ingin mengubah keputusan syura.

“...Apabila kamu telah berazzam, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.” (Qs. Ali Imran: 159)

Pada ayat sama, Allah mengingatkan Rasulullah agar tetap bermusyawarah dengan para sahabat walau mungkin mereka menyesal karena tidak menuruti pendapat beliau.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...” (Qs. Ali Imran: 159)

Menariknya, persis satu hari setelah kekalahan ini, Rasulullah tidak membiarkan kesedihan para sahabat berlarut-larut. Beliau mengajak pasukannya yang ikut dalam Perang Uhud untuk mengejar tentara Quraisy. Abdullah bin Ubay dan komplotannya dilarang masuk ke dalam barisan. Mereka terus berjalan hingga sampai di daerah bernama Hamra’ul Asad, sekitar 7 mil dari Madinah. Rasulullah dan pasukannya berdiam di sana selama 3 hari untuk memastikan orang-orang Quraisy tidak kembali menyerang.

Maka Allah menimpakan kepadamu kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan terhadap apa yang menimpamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran: 153)

Begitulah kira-kira pendidikan syura yang tergambar selama Perang Uhud berlangsung. Ibrah dan hikmah ibarat harta karun, siapa yang menemukannya maka ia yang berhak memilikinya. Allahu a’lam bi ash-shawab.

Share:

Adil dan Ihsannya Allah



Menonton serial anime Death Note, sepintas saya berpikir mengenai konsep adil dan ihsan-nya Allah.

Kira yang berbekal buku kematian, menulis nama sekaligus membunuh semua penjahat yang ia ketahui di seluruh dunia. Cita-citanya besar: menciptakan dunia baru tanpa kejahatan. Mungkin ia lebih kejam dari para penjahat itu. Tapi bagi Kira, itulah keadilan.
Share:

Visi dan Misi Islam



Sejak berabad-abad silam, filsuf-filsuf Yunani dan negeri lainnya memikirkan berbagai hal mendasar seputar hakikat manusia serta alam semesta. Sebagai seorang filsuf yang mencoba berpikir menyeluruh, mereka mencari tahu hakikat kehidupan, konsep Tuhan, alam, manusia, hingga moral. Sayangnya, para filsuf tersebut tidak memperoleh informasi berupa wahyu atau bahkan menolaknya. Sehingga otomatis mereka akan berspekulasi. Wahyu inilah yang membedakan konsep berpikir menurut pandangan hidup (worldview) Islam dengan para filsuf tersebut. Malangnya, kata Adian Husaini, berspekulasi kemudian diberi nilai yang sangat tinggi yaitu sedang berfilsafat![1]
Share:

Cukupkah Hanya Dengan Pendidikan Karakter?



Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good character, by contranst, is not given to us. We have to build it piece by piece—by thought, choice, courage, and determination.” (John Luther).
Share:

Resensi Novel Pergi: Memburu Makna Hidup di Belantara Shadow Economy




Ada dua momen paling penting dalam hidup. Pertama, ketika kita dilahirkan. Kedua, saat kita tahu mengapa.

Sepanjang sejarah kehidupan, manusia selalu bertanya: siapa mereka, sekarang ada di mana, dan mau menuju ke mana. Setiap individu akan mencapai suatu titik untuk bertanya demikian pada dirinya sendiri. Itulah pertanyaan dasar yang harus dijawab. Dan itu pula yang berkelindan di benak Bujang saat ini. Ia bukan Tauke Besar biasa, memuaskan ambisinya tanpa putus. Ia Bujang, pemilik darah tukang pukul terbaik negeri sekaligus pewaris darah seorang ulama besar.
Share:

Syiah dan Risalah Amman



Pada tanggal 10 November 2012, harian Republika menerbitkan sebuah artikel yang ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat bertajuk “Menyikapi Fatwa Tentang Fatwa”. Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia itu menulis tanggapan atas tulisan KH. Ma’ruf Amin berjudul “Menyikapi Fatwa MUI Jatim” yang sempat dimuat harian Republika pada tanggal 8 November 2012. Fatwa yang dimaksud ialah fatwa mengenai kesesatan Syiah, terutama ketika kasus Syiah Sampang merebak.
Share:

Ayat 'Pluralis'



Meski belum ada definisi pasti mengenai Pluralisme Agama, namun penganut paham ini terus saja bertambah. Termasuk dari para cendekiawan Muslim sendiri. Pluralisme Agama yang memandang semua agama sama dan tidak boleh ada yang mendeklarasikan truth claim, tentu bertentangan dengan ajaran Islam. Jika semua agama itu sama, maka tidak akan ada cerita Rasulullah mengirim surat dan delegasi ke Romawi, Persia, Ethiopia, dan daerah lain. Mengajak raja dan seluruh rakyatnya agar masuk Islam.
Share:

Apakah Kaum Feminis Itu Mau?



            Suatu hari, rekam Abu Nu'aim al-Asbahani dalam kitab Ma'rifat al-Shahabah, Asma binti Yazid al-Anshariyah menghadapi Nabi yang tengah berada di antara shahabatnya, lalu berkata, “Demi Allah Yang jadikan ayahku dan ibuku tebusanmu wahai Rasulullah, aku adalah perwakilan seluruh Muslimah. Tiada satu pun di antara mereka saat ini, kecuali berpikiran yang sama dengan aku. Sungguh Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu kami beriman dan mengikutimu. Kami kaum hawa terbatas aktivitasnya, menunggu rumah kalian para suami, dan yang mengandung anak-anak kalian.
Share:

Kegagalan Sekularisme




Dalam artikel berjudul Berkah Sekularisme, Luthfi Assyaukanie menulis bahwa dalam perkembangannya, sekularisme dapat menjadi konsep yang efektif untuk meredam konflik antara agama dan negara. Bahkan efektif dalam memberikan landasan bagi demokrasi dan persamaan hak.
Share:

Menyerahkan Diri Hanya Kepada Allah: Tadabbur Surat Ali Imran Ayat 18-20




Pada tanggal 11 Mei 2003, Harian Jawa Pos memuat wawancara yang dilakukan Ulil Abshar Abdalla kepada Budhy Munawar Rahman. Tokoh JIL yang juga dosen Univeritas Paramadina itu mengatakan, “...inti keberagaman itu kan kesadaran Tuhan. Kosa kata “din” dalam bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan kepada Tuhan. Kata Islam juga bisa dikembalikan kepada maknanya yang generik, yang asal, artinya, kepasrahan dan ketundukan...”[1]
Share: