Dalam suatu ceramahnya, Ustad Pitoyo Marhaban pernah bercerita mengenai pendidikan yang diperoleh Muhammad Al-Fatih. Uniknya, sultan penakluk Konstantinopel tersebut bukan hanya dididik sedari kecil, tetapi bahkan sejak ayahnya mencari pendamping hidup.
Meski seorang raja, Sultan Murad II benar-benar selektif mencari istri. Setiap wanita yang ditemuinya akan ditanya, "Apakah kamu mau melahirkan anak yang kelak membebaskan Konstantinopel?"
Pencarian tersebut berlangsung lama. Sebab sebagian besar wanita merasa tidak sanggup. Kalaupun mengiyakan, masih tampak jejak keraguan. Namun Murad II tidak menyerah. Tekadnya sudah bulat. Ini adalah langkah pertama yang harus diambil untuk mencapai visi besarnya. Hingga akhirnya pencarian itu menghadirkan wanita yang sanggup mengatakan, "Iya, saya mau."
Kita tinggalkan sejenak kisah sang sultan. Walau sebetulnya kisah ini bertalian dengan persoalan niat kita saat berupaya mencari kekasih hati. Kala menentukan batas-batas kriterianya.
Sebab sebagian dari kita kerap tidak jujur. Ingin dapat akhwat shalihah lagi peduli pada dakwah, tapi ketika digoda sedikit dengan si cantik berjilbab "gaul", langsung goyah. Padahal bisa jadi memang begitu cara Allah menguji kejujuran niat kita. Sebagaimana Murad II yang sulit mencari calon ibu nan kelak melahirkan Al-Fatih. Kalau beliau tidak jujur atau tidak yakin pada visinya, barangkali takkan pernah ada kisah heroik penaklukan Konstantinopel.
"Ah, tapi kan beliau sultan. Jabatannya menguntungkan. Bisa ke sana-sini cari yang sesuai harapan."
Wallahi, ini bukan soal mencari sosok sempurna. Tapi sejauh mana kita mau jujur pada niat, sehingga tak perlulah mengendurkan yang harusnya ketat atau sebaliknya.
Dalam buku Bahagianya Merayakan Cinta, baru kali ini saya melihat tulisan Ustad Salim yang terkesan marah, meski tetap berbingkai husnuzhan.
Tulisnya, beliau pernah mencarikan jodoh bagi seorang ikhwan. Hafizhah kriterianya, itu saja. Tidak ada yang lain.
Alhamdulillah, dapat satu. Namun si ikhwan menolak dengan alasan pandangan akhwat tersebut terhadap dakwah dan harakah cenderung negatif. Akhirnya beliau mundur.
Syukur kedua kali, dapat pula seorang hafizhah. Fisik memadai. Bahkan sikapnya begitu wara', tak mencolek sedikit pun jajanan pasar yang dihidangkan kepadanya. Tetapi lagi-lagi ikhwan tersebut mundur. Alasannya jarak mereka jauh: si ikhwan di Yogyakarta, sedangkan akhwatnya di Jawa Tengah.
Beberapa bulan berselang, Ustad Salim mendengar kabar bahwa ikhwan tersebut akhirnya menikah. Yang bikin kaget, ternyata bukan dengan seorang hafizhah. Bahkan akhwatnya tinggal di Kalimantan!
Allahuakbar. Sampai-sampai Ustad Salim bilang, "Mengapa tak dari awal mengatakan ingin hafizhah yang cantik?"
Mudah-mudah dua kisah ini dapat kita jadikan pelajaran. Benarlah nasihat Sufyan Ats-Tsauri, "Tidak ada yang lebih berat aku perbaiki daripada meluruskan niat."
0 comments:
Post a Comment