Beberapa waktu lalu, seorang adik kelas berbisik mengajukan tanya, "Bang, teman saya pernah nanya begini, kenapa sih kalau acara-acara Rohis atau keislaman gitu harus pakai hijab? Ikhwan dan akhawat kenapa sih harus dipisah?"
Sampai sini, di dalam hati saya kira temannya itu ingin memprotes aturan tersebut tanpa alasan. Namun kemudian ia melanjutkan, "Tapi kadang kalau melihat panitianya, ngobrol antara ikhwan dan akhawat biasa saja. Saling tatap. Hijabnya seolah lepas jika berada di luar acara. Saya juga dulu sempat mikir sama kaya gitu bang. Terus ngapain saya diajarkan soal pergaulan ini-itu. Menurut antum bagaimana, bang?"
Subhanallah. Sungguh, sebenarnya saya terlalu malu untuk menjawabnya. Jelas, ini pukulan telak.
"Pertama, saya mewakili teman-teman memohon maaf pada antum dan teman-teman yang berpikiran sama seperti itu. Apa pun yang diajarkan pada antum mengenai pergaulan, insya Allah itu yang lebih benar dan lebih berhak untuk antum ikuti.
Insya Allah ini jadi bahan evaluasi buat saya dan teman-teman. Beberapa orang mungkin antum temui berbeda sikapnya dengan apa yang kami ajarkan. Yang seperti ini, jangan antum ikuti dan silakan dilaporkan kepada saya atau teman-teman alumni yang lain."
Beberapa hari yang lalu pun, seorang kakak kelas memberi pesan kepada saya melalui Whatsapp. Saat itu, sedang berlangsung diskusi antarsekolah mengenai apakah di acara rihlah antarrohis nanti akan ada penampilan seni dari Rohis masing-masing atau tidak.
"Ry, kalau nanti penampilan seninya jadi," pesan beliau, "tolong ingatkan sekolah lain ya. Usahakan akhawat itu jangan tampil. Ini kan acaranya untuk ikhwan juga. Khawatir apa yang kita ajarkan di sini, berbeda dengan sekolah lain."
Seharusnya ini menjadi koreksi bagi diri kita semua. Terutama mereka yang bergelut di dunia dakwah dan kebajikan.
Jangan-jangan, banyak yang lari dari dakwah ini bersebab kelakukan para pegiat dakwah itu sendiri. Nilai-nilai keteladanan meluntur. Seluruhnya atas dalih keterbukaan dan peleburan. Sampai tak jarang, antara ikhwan dan akhawat sesama penegak dakwah bercanda sepuasnya. Cair begitu saja seolah belum pernah merasakan tarbiyah Islamiyah.
Sebagaimana yang dituturkan Ust. Salim A. Fillah, kisah-kisah seperti ikhwan-akhawat sebuah kampus yang duduk saling membelakangi membicarakan dakwah, hingga salah satunya tidak sadar jika temannya telah pergi, tak tahu bahwa untuk beberapa menit ia berbicara sendiri. Kini sekadar cerita saja. Atau lelucon yang tak diambil ibrahnya.
Dakwah harus lebih memasyarakat, itu betul. Tetapi sesama pegiat dakwah sendiri tak saling menjaga adab, lalu masyarakat mau mencontoh siapa lagi? Di mana kontrol diri?
"Insya Allah kami masih bisa mengontrol diri kok. Sekadar saling tatap insya Allah masih aman."
Wallahi, apa indikator kita dapat menjaga diri? Padahal umur kita adalah masa-masa ketika syahwat bergejolak. Bergelora meminta dituruti ajakannya. Minimal, ia mengajak setan agar membengkokan hati kita. Jadilah amal itu sia-sia.
Sudah dakwah tidak maksimal, pahala tak jua didapat.
Allahu a'lam.
0 comments:
Post a Comment