Bersiaplah Menyambutnya
Memang
tidak ada orang yang dapat mengingkari fakta ini. Tamu tak diundang itu sering
menyelinap ke dalam hati tiap insan, laki-laki dan perempuan, tak peduli status
sosial, jabatan, pekerjaan, pendidikan, suku, warna kulit, atau
kewarganegaraan. Cinta, nama yang kita pakai untuk menggambarkan perasaan
tersebut rasanya memang masih belum bisa kita sepakati definisinya. Tapi, itu
tidaklah penting. Kita hanya perlu memahami cara kerjanya ketika mengubah dan
memberikan suasana kehidupan yang baru bagi tiap jiwa yang merasakannya.
“Tak ada sesuatu yang dapat
menggerakkan kekuatan besar, menyalurkan keberkahan, memahatkan huruf-huruf dan
guratan emas di atas halaman sejarah, serta menyelamatkan begitu banyak orang
dari kesesatan, kelemahan dan kemiskinan, sekuat cinta.” Tulis Asy-Syaikhut
Tarbiyah Ust. Rahmat Abdullah dalam sebuah artikel pendeknya menggambarkan
energi cinta.
Tersebab cinta pula, pertanyaan
Anas ibn Malik seputar kiamat dijawab dengan indah oleh Rasulullah, “Engkau
akan bersama dengan yang engkau cintai.”
Uniknya,
energi cinta yang melahirkan sakinah (ketenangan) dan kelembutan kerap tidak diketahui cara kerjanya
oleh kita. Cinta semacam apa yang membuat Rasulullah mengucapkan ummatii..
sebanyak 3 kali di penghujung hayatnya? Cinta seperti apa yang membuat ‘Umar
semula mengatakan, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai
daripada segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”, menjadi “Sesungguhnya
mulai saat ini, demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”?
Hanya dalam hitungan detik.
Ketidaktahuan
kita pada cara kerja cinta ini lalu berimbas ketika kita (pada masa-masa
tertentu) dihadapkan pada realita cinta yang lain; terhadap lawan jenis. Bahkan
justru ketika kekanakan kita sedang memuncak dan kedewasaan kita tengah menjanin.
Dua keadaan yang membuat diri menjadi sangat mudah tidak stabil.
Di
situlah letak ujiannya datang. Perlahan setan menghinggapi. Membisikkan ke
dalam hati manusia hal-hal yang membuat cinta kehilangan kesucian maknanya.
Berhati-hatilah ketika nafsu itu datang, mendominasi akal pikiran atas nama
cinta.
Ianya
malah melemahkan, menggelisahkan, bahkan menjatuhkan ke dalam lubang dosa
menghinakan. Kata-kata, “Aku mencintaimu!”, menjadi lebih terdengar seperti,
“Aku ingin berzina denganmu.”
“Dan janganlah kamu
mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang
buruk.” (Al-Isra’: 32)
Kita
sedang tidak berbicara zina “masuknya benang ke dalam lubang jarum”. Itu zina “kuno”.
Zina “modern” kini lebih halus dengan memilih nama pacaran dan beberapa istilah
lain dengan embel-embel “asal tahu batasannya.” Kawan, ketahuilah, “Tercatat atas anak Adam nasibnya dari perzinaan dan dia pasti
mengalaminya. Kedua mata zinanya melihat, kedua teling zinanya mendengar, lidah
zinanya bicara, tangan zinanya memaksa (memegang dengan keras), kaki zinanya
melangkah (berjalan) dan hati yang berhasrat dan berharap (berangan-angan).
Semua itu dibenarkan (direalisasikan) oleh kelamin atau digagalkannya.” (HR.
Bukhari).
Cintanya, Bukan Nafsunya
“Allah,
Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya
dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Ruum: 54)
Kata “remaja”
dan kata “pemuda” sering diidentikkan dengan suatu gerakan perubahan, barisan
pembangun peradaban, atau penentu masa depan sebuah bangsa. Maka sungguh tak
seharusnya cinta yang menjadi fitrah tiap insan didominasi oleh nafsu dan godaan
syahwat.
Jika cinta telah
menyentuh dinding jiwa, jagalah dan hindarkanlah ia menjelma menjadi air keruh
yang menyamarkan kebenaran. Lalu jalan tak halal ditempuh. Berpacaran maupun
istilah-istilah lainnya. Setan telah cukup lihai mengelabui pikiran anak-cucu
Adam. Hinggalah pacaran itu disebut langkah penjajakan dan saling memahami.
“Padahal..” kata Anis Matta dalam sebuah ceramahnya, “…bukan itu yang terjadi!
Kenyataannya ialah mereka berusaha tampil lebih baik dari yang sebenarnya.
Mereka sedang membuat iklan untuk menggoda pembeli. Karena takut bila pelanggan tidak puas, akhirnya ia akan
ditinggalkan.”
Mari bersabar
dalam sedikit kerinduan, menantikan kenikmatan berbuka dari “puasa” panjang
hati. Kita isi waktu “berpuasa” ini dengan aktivitas bernilai surgawi. Teringat
sebaris kalimat dari Asy-Syafi’i, “Jika tak dengan kebenaran, kau ‘kan
disibukkan dengan keburukan.”
Yuk, dalam
sedikit penantian ini. Daripada sibuk memanjang angan dan mimpi, lebih baik
sibuk memperbaiki diri.
Maka Habislah Cintanya
Saya
tidak dapat menjamin cerita ini benar sepenuhnya, tapi memang Qais terlanjur
menyejarah dengan cerita cintanya yang tragis. Konon, Romeo-Juliet dari Shakespeare
pun terinspirasi dari cerita ini. Selanjutnya syair-syair cinta antara Qais dan
kekasih hatinya yang dikumpulkan oleh seorang sufi bernama Nizami ini lebih
kita kenal dengan “Layla Majnun”.
Qais
yang dikenal tampan dan kaya raya seketika jatuh cinta dengan seorang wanita
cantik yang ia pun mencintai Qais. Ya, dialah Layla. Lihatlah untaian syair
Qais yang menggambarkan kecantikan Layla.
Layla telah menyihirkuDengan kedua matanya yang hitam,Ia mempesonaku dengan jenjang lehernya,Dengan rambut, dengan wajah elok berseri.…Dan kening, dan alis tak terjamah irisan garis.Seperti lengkung huruf nun.
Namun,
cinta kedua hati tidak mempertemukan kedua jiwa. Qais pergi berniaga ke negeri
lain bersama ayahnya; Al-Mulawwah. Ke Damsyik, Hims, Halab, Kufah, hingga
Basrah. Sementara Qais pergi, seorang saudagar kaya dari Irak; Sa’ad ibn Munif
melamar Layla dengan tawaran mahar 1000 dinar. Al-Mahdi, ayah Layla, menerima
pinangan tersebut tanpa dapat Layla tolak.
Sebelum
pernikahan dilangsungkan, Qais yang tubuhnya semakin kurus kembali ke kota
asalnya. Mendengar Layla telah telah dipinang, melalui ayahnya, Qais menawarkan
100 unta sebagai mahar pengganti 1000 dinar yang diberikan Sa’ad ibn Munif. Namun
Al-Mahdi menolaknya, dan pernikahan Layla dengan Sa’ad tetap dilangsungkan.
Hancur
hati Qais. Sejak saat itu ia tidak mau berbicara dengan siapa pun dan sering
kali berbicara dengan diri sendiri. Sementara Layla, pernikahan tinggallah
pernikahan, namun cintanya tetap jatuh pada Qais. Layla tak kuat menanggung
penderitaannya, ia jatuh sakit. Di tengah sakitnya, nama Qais sering disebut di
setiap panggilannya. Akhirnya Qais dipanggil untuk menemui Layla. Dalam pesan
terakhirnya Layla menyatakan bahwa mereka akan bertemu di akhirat nanti sebagai
sepasang kekasih.
Layla
pun meninggal. Tak kuat melihat kekasihnya meninggal, Qais serasa putus asa.
Kesehariannya diisi dengan duduk di samping makam Layla, hingga Qais pun meninggal
juga. Jasad Qais dikuburkan di samping makam Layla.
Cinta Kita Beda Lagi!
Lupakan!
Lupakan cinta yang tak mentautkan kedua jiwa di atas pelaminan. Karena itu
hanya akan membawa penderitaan batin. Cinta Qais dan Layla memang terasa indah
sebab kesetiaan yang terpampang, tapi cobalah merasakan diri menjadi salah satu
di antara keduanya. Lagipula jauh lebih nikmat kisah pertama. Tercebur dalam
hina. Lalu taubat tuk menghapus dosa. Justru Allah hadiahkan karunia tiada
tara. Allahu akbar!
Maka
mempersiapkan dan memperbaiki diri adalah cara kerja cinta kita. Maka memulai
memantaskan diri adalah cara kerja cinta kita. Maka belajar, belajar, dan
belajar adalah cara kerja cinta kita.
…dan Kita Pun Saling
Berbenah Diri
Ya,
s-a-l-i-n-g. Jujur saja sebagai lelaki, saya—dan lelaki umumnya—menginginkan muslimah yang telah
siap dan matang secara emosional, keilmuan, dan hal-hal lain yang terkadang
bersifat subjektif. Bagi lelaki, menikah adalah sebuah tanggung jawab. Salah
satunya tanggung jawab menafkahi, maka terkadang di antara para lelaki itu
mencari muslimah yang siap diperistri oleh lelaki yang punya gaji tak seberapa.
Sebagian
besar lelaki memiliki sifat cenderung menyimpan masalah sendiri, diutarakan
justru nanti setelah masalah selesai. Mengeluh atau mengutarakan masalah sebelum
selesai ibarat “aib” bagi lelaki.
Maka
terkadang di antara para lelaki itu mencari muslimah yang telah mengetahui hal
ini, yang tidak sering memojokkan suami, atau memberondong dengan sejumlah
pertanyaan ketika suami baru saja tiba setelah seharian bekerja. Pun istri yang
punya kapasitas ilmu tentang din ini, memberi ketenangan ketika suami di rumah,
menjaga amanah ketika ditinggalkan.
Ya,
s-a-l-i-n-g. Karena saya yakin pun muslimah juga punya kriteria tertentu
mencari pelabuhan cintanya yang halal. Bahkan mungkin berbanding terbalik dari
kriteria para lelaki. Yang siap mendengarkan keluhan istri, yang siap
memberikan perhatian sepenuh hati. Karena muslimah justru cenderung berkisah
saat masalah hadir. Tapi tak ingin dipotong dengan solusi ketika ia keluhkan
masalahnya.
Ah,
tentu itu hanya anggapan saya saja yang didapat dari tulisan Ust. Salim Akhukum
Fillah di akun twitter beliau. Bisa
jadi ada beberapa yang tidak sesuai dengan keadaan atau watak muslimah
sebagiannya. Termasuk tentang sebagian besar muslimah yang menginginkan suami
yang dapat menjadi imam dan menuntunnya ke dalam surga. Iya, kan?
Kita
saling berbenah karena baik yang muslim maupun yang muslimah sama-sama memiliki
kriteria khusus bagi calon belahan hatinya. Kita sama-sama berbenah karena kita
sudah hafal ayat itu; wanita yang baik hanyalah cocok bagi lelaki yang baik
pula, begitu pun sebaliknya.
Kita
saling berbenah agar kita mencintai pasangan bukan dengan cara kita ingin
dicintai. Kita saling berbenah agar kita kita mampu mencintai pasangan sesuai
cara ia ingin dicintai.
Kita
saling berbenah agar tampaklah jelas antara menyegerakan menikah dengan
tergesa-gesa melangsungkan pernikahan. Betapa banyak dari saudara kita yang
ingin melangsungkan pernikahan sekedar “menjaga diri dari zina”. Baru mendengar
satu atau dua kali pengajian tentang pernikahan, segera meluap-luap
semangatnya. Begitu diingatkan tentang keutamaan menikah di usia muda, segera
terbakar ambisinya. Tanpa berbekal persiapan ilmu, kesiapan psikis, maupun
tanggung jawab untuk berumah tangga.
Lalu
apa saja yang perlu kita saling benahi dan persiapkan? Mengutip Ust. Mohammad
Fauzil Adhim dalam buku terbarunya, Saatnya Untuk Menikah, setidaknya ada 5
hal yang beliau tuliskan dalam 5 sub-bab. Saya tuliskan sedikit darinya dengan
beberapa tambahan secukupnya.
1.
Bekal Ilmu
Kita—termasuk saya—umumnya kurang sekali membekali
diri dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam berumah tangga, padahal ada
kewajiban-kewajiban maupun kebajikan-kebajikan dalam pernikahan yang menuntut
kita untuk memiliki ilmunya sehingga kita bisa melaksanakan dengan baik dan
tidak menyimpang.
Bukankah
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri, mengingatkan dan menasihati istri,
mendampingi suami, melayani suami, dan sebagainya butuh ilmu? Ilmu yang
berkenaan dengan dengan apa yang akan kita lakukan serta ilmu tentang bagaimana
melakukannya. Mengajarkan ilmu agama kepada istri berarti membutuhkan
penguasaan atas ilmu agama serta ilmu tentang bagaimana mengajarkannya kepada
istri. Menaati suami juga membutuhkan ilmu tentang apa yang harus, perlu, dan
yang tidak boleh ditaati serta ilmu untuk melaksanakannya.
Masalahnya,
ilmu kita sangat terbatas, sedangkan seminar-seminar yang sering diadakan tidak
mungkin memberi bekal ilmu yang memadai.
2.
Kemampuan Memenuhi Tanggung Jawab
Banyak
tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang yang sudah menikah sehingga
kadang membuat sebagian orang takut memasukinya. Suami berkewajiban memberi
pakaian kepada istrinya, memberi makan, dan menyediakan tempat tinggal sesuai
dengan kadar kesanggupannya. Bersamaan dengan itu, istri berkewajiban pula
untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak
menuntut suami untuk memberikan sesuatu yang suami tak sanggup memberikannya. Sehingga mendorong suami ke arah pemaksaan diri untuk memenuhi keinginan istri
yang berada di luar jangkauan. “Sebenarnya…”, kata beliau, “…akarnya ya pada
soal hati. Kita ini sering tidak qana’ah,
sih!”
Pun,
kata beliau, termasuk pula kewajiban tentang pemenuhan kebutuhan seksual.
Jangan sampai karena suami yang merupakan seorang aktivis yang ingin
menunjukkan bahwa pernikahannya semata karena dakwah, lalu ia menahan diri
tidak berhubungan dengan istrinya dalam jangka waktu yang lama. Tidak boleh
seorang suami menelantarkan istrinya dalam perkara ini. Bukankah ‘Umar telah
menetapkan aturan waktu maksimal seorang tentara muslim bertugas meninggalkan
rumah juga karena pertimbangan ini?
Pembicaraan
kita di bagian ini sekali lagi menunjukkan betapa pentingnya ilmu. Jika ada
ilmu pada diri kita, kita akan mengetahui apa yang menjadi tanggung jawab kita
serta bagaimana memenuhinya.
3.
Kesiapan Menerima Anak
Pada
suatu kesempatan mengisi seminar, seorang peserta bertanya dengan nada sedikit
protes. Katanya, “Bapak Pembicara, nikah usia muda tidak menjadi masalah. Tapi,
banyak yang menikah semasa kuliah tidak siap menerima ketika punya anak. Ini
bagaimana? Apakah dengan kenyataan seperti ini, menikah usia muda masih
dianggap baik?”
Ada
sebagian dari saudara kita menikah begitu saja, padahal boleh jadi ia masih
berstatus makruh untuk menikah. Ia hanya memiliki kesiapan untuk menikah, dalam
arti sekedar untuk menghalalkan hubungan mereka sebagai lawan jenis. Masalah
ini perlu diingatkan supaya anjuran menikah pada usia dini tidak ternodai oleh
pernikahan yang tergesa-gesa dari sejumlah ikhwan dan akhwat, serta desakan
dari sejumlah pembimbing halaqah yang belum mengenal betul bimbingannya. Semoga
Allah memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan
ampunan-Nya. Allahumma amin.
4.
Kesiapan Psikis
Betapa
banyak yang mendambakan istri seperti Khadijah, tetapi tidak mau menikah dengan
orang yang usianya sedikit saja di atasnya. Betapa banyak yang merindukan
kemesraan seperti Rasulullah dengan Aisyah, tetapi melupakan bahwa Nabi ada
kalanya harus mengganjal perutnya dengan batu karena dua hari tidak menemukan
makanan.
Kesiapan
psikis untuk berumah tangga juga berarti kesiapan untuk menerima
kekurangan-kekurangan orang yang menjadi pendampingnya. Karena terkadang,
sebagian kekurangan-kekurangan itu memang sepatutnya dimaklumi daripada
dituntut untuk diperbaiki.
5.
Kesiapan Ruhiyah
Sebenarnya,
hanya dengan berbekal kesiapan ruhiyah, telah cukup bagi kita untuk memasuki
jenjang pernikahan. Istilah kesiapan ruhiyah ini lebih merujuk pada kondisi
seseorang yang mudah menerima kebenaran dikarenakan hatinya telah tersentuh
oleh kesadaran agama.
Mereka
yang hatinya telah sangat peka terhadap agama, akan mudah menerima nasihat,
teguran, maupun pemberitahuan mengenai tuntunan agama, sekalipun ilmu mereka
masih sangat kurang. Kesiapan hati inilah yang membedakan, bukan kadar
pengetahuan agama. Orang yang bagus kesiapan ruhiyahnya lebih dapat mengarahkan
dirinya untuk belajar dan mendapatkan apa yang belum dimiliki, baik ilmu maupun
bekal ma’isyah, serta dapat
berhati-hati dalam bertindak.
Tapi,
tunggu. Di mana letak kesiapan finansial? Bukankah menikah tidak cukup dengan
cinta dan cita-cita? Dalam hal ini, Ust. Moh. Fauzil Adhim memang sengaja tidak
memasukkannya. Jika memang tiba saatnya, menikahlah. Tidak usah menunggu mapan
secara ekonomi, kata beliau. Karena kata ba’ah
dalam hadits Nabi lebih tepat ditafsirkan dengan kesiapan dalam memberi
nafkah. Mapan tidaklah dengan sendirinya menunjukkan kesiapan memberi nafkah.
Belum tentu suami yang mampu dalam ekonomi memenuhi kebutuhan istrinya, bahkan
dalam hal primer sekalipun, seperti makan. Kesiapan memberi nafkah lebih
berkait dengan kesiapan untuk sungguh-sungguh bekerja keras mencari nafkah bagi
keluarganya, meskipun sebelumnya ia tidak mampu secara ekonomi.
Bukankah ‘Ali sebelumnya tak punya apa-apa untuk dijadikan mahar sehingga ia harus menjual baju perangnya?
Kesiapan-kesiapan
yang telah diterangkan di atas tidaklah bermaksud membuat ragu mereka yang
hendak melangsungkan pernikahan terutama di usia dini. Ah, tentu saja ini semua
lebih tepat ditujukan kepada diri penulis. Tak lain ini hanyalah berbagi
sedikit dari pengetahuan yang penulis miliki. Berharap satu atau dua jiwa dapat
mengamalkannya sudahlah cukup. Sekali lagi, kesiapan ini agar tampaklah jelas
antara menyegerakan pernikahan dengan tergesa-gesa dalam menikah.
Agar
bila di antara kita ada yang mengharapkan istri seperti Khadijah, dapat
terlebih dahulu memperbaiki diri agar layak mendapatkan muslimah seperti beliau.
Dan agar bila di antara kita merindukan suami layaknya ‘Ali ibn Abi Thalib,
dapat segera memantaskan diri menjadi seperti Fatimah. Semoga Allah membimbing
kita menemukan pendamping hidup yang baik menurut-Nya dan yang dapat
mengantarkan kita ke jannah-Nya kelak. Amin.
Allahu a’lam bi
ash-shawab. []