Mendung Sebelum Badai
Ada
kejadian menarik saat aksi unjuk rasa mahasiswa mengenai Revisi UU KPK beberapa
waktu lalu. Yakni hadirnya peserta demo dari kalangan siswa SMA/SMK. Tak pernah
kita mendengar anak-anak ini turun ke jalan. Sontak, media dan masyarakat
dibuat terheran-heran. Ada yang mengapresiasi, dan tidak sedikit pula yang
meremehkan, “Anak sekolah ngerti apa?”
Terlepas
dari kontroversi tersebut, sudah sepatutnya kita menyadari bahwa mungkin ada
lubang dalam pendidikan negeri ini. Pendidikan kita terlambat membuat mereka
dewasa. Seakan menganggap mereka sulit diajak berpikir kritis. Padahal usia
remaja, khususnya yang sudah baligh, bukan lagi masa-masa hanya memikirkan diri
sendiri. Nurani mereka dapat dipupuk untuk peduli dan ambil bagian dalam
memperbaiki negeri.
Buktinya,
2001 silam, lebih dari lima ratus pelajar yang tergabung dalam Kesatuan Aksi
Pelajar Muslim Indonesia (KAPMI) DKI Jakarta melakukan aksi damai di Bundaran Hotel
Indonesia. Aksi bertajuk Pelajar Cinta Damai itu menuntut elit politik agar
segera menghentikan pertikaian, meningkatkan SDM guru, menurunkan biaya
pendidikan, serta mengembalikan perhatian pemerintah kepada masalah pelajar.
Pendidikan
bukan hanya berbicara tentang sekolah. Salah satunya, seberapa besar dan mudah masyarakat
mengakses buku bacaan. Di sinilah, menurut saya, terdapat missing link genre
buku berdasarkan usia.
Buku
anak berserakan di mana-mana. Buku-buku untuk kalangan dewasa, minimal untuk
kategori mahasiswa, berlimpah ruah. Namun, buku yang fokus menyasar remaja?
Minim sekali jumlahnya. Kalaupun ada, masih didominasi tema percintaan, baik
yang berunsur komedi atau berakhir sedih.
Hadirnya
Serial Anak Nusantara, terutama Si Anak Badai, barangkali bisa sedikit menambal
missing link itu. Melalui novel yang menggugah jiwa ini, kita diajak
untuk semakin dekat dengan budaya negeri sekaligus menyadari apa yang sesungguhnya
sanggup dilakukan oleh para remaja. Semuanya terangkum dalam tiga kata:
persahabatan, perjuangan, dan kemenangan.
***
Badai
Si
Anak Badai mengambil latar belakang di Kampung Manowa. Sebuah tempat yang dilukiskan
sebagai perkampungan para nelayan. Lengkap dengan rumah-rumah yang berdiri
tegak di atas sungai serta jalan-jalan kecil yang terbuat dari papan kayu ulin.
Di
dunia nyata, sulit menebak lokasi persis kampung tersebut. Mungkin memang
fiksi. Tapi kita tahu, kehidupan nelayan sudah melekat pada sebagian besar
penduduk negeri ini. Terlebih, atmosfer Nusantara semakin kental melalui
penamaan tokoh seperti Ode dan Ros, penggambaran pasar terapung, dan penggunaan
panggilan “Oi!” khas tanah Sumatra.
Oi,
Indonesia pun punya pasar terapung ternama. Contohnya yang ada di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Pasar tersebut dahulu dibangun oleh pedagang-pedagang
Melayu. Di Palembang juga ada. Tepatnya di atas Sungai Musi. Berbelanja sembari
menikmati kecantikan Jembatan Ampera.
Latar
waktunya mungkin sekitar awal 2000-an, sekitar tahun 2002-2003 ketika KPK baru
pertama kali dibentuk. Selain ditandai dengan berdirinya lembaga tersebut,
pembaca juga dapat menilai dari adegan ibu-ibu penabuh rebana yang menyanyikan
lagu khas Nasida Ria. Zaenal pun sempat menyebut tokoh kartun bajak laut yang
punya kemampuan memelarkan tubuhnya bak karet. Tokoh yang dimaksud bisa jadi
Luffy dari serial kartun One Piece, yang masih boleh tayang di layar kaca pada
awal millenium lalu.
Nenek
moyangku seorang pelaut
Gemar
mengarung luas samudra
Menerjang
ombak tiada takut
Menempuh
badai sudah biasa
Tidak
ada awal dalam novel ini.
Pembaca
segera dihadapkan pada keramaian kampung nelayan melalui tokoh utama Zaenal
(sudut pandang orang pertama). Bersama Malim, Ode, dan sejumlah anak lain,
mereka berebut mengambil koin yang dilemparkan para penumpang kapal ke atas
sungai. Seru, meski tampak berbahaya. Persis sebagaimana aktivitas anak-anak
pengumpul koin di Pelabuhan Merak atau Pelabuhan Ketapang Banyuwangi.
Cerita
terus berpusat pada Zaenal, Malim, Ode, dan Awang. Kelak bocah-bocah yang baru
berusia 12 tahun ini disebut Geng Si Anak Badai karena petualangan besar yang
berhasil dilewati.
Sepanjang
sepertiga buku, hari-hari tampak cerah. Ada kelucuan di tengah omelan Pak
Kapten. Ada pelajaran kehidupan saat keempatnya berinteraksi dengan Guru Rudi.
Ada sedikit tangisan kala mengingat kasih sayang Mamak. Ada nuansa keakraban
dan semangat gotong-royong dalam beberapa kejadian.
Namun
semua perlahan berubah ketika Pak Alex dan Utusan Gubernur datang.
Keduanya
merupakan inisiator pembangunan pelabuhan di Kampung Manowa. Sayangnya, rencana
pembangunan tersebut hanya diputuskan sepihak tanpa melibatkan warga setempat. Penduduk
kampung tentu menolak. Apalagi, tidak ada kejelasan mengenai ganti-rugi dan
nasib mereka ke depan.
Apakah
pembangunan pelabuhan itu akan terus berlanjut? Bagaimana takdir akan berakhir
bagi kehidupan Zaenal, Malim, Ode, Awang, serta penduduk lainnya?
“Kehidupan
terus berlanjut tanpa melihat kita sedang sedih atau gembira.”
(Hal. 225)
***
Cahaya Setelah Badai
Selama
lebih dari 50 tahun, Weekly Shonen Jump sebagai majalah komik terlaris
di Jepang berhasil menginspirasi ribuan hingga jutaan anak muda di sana. Bukan
hanya mengasyikkan, sebagian besar komik yang diterbitkan selalu hadir dengan
tiga elemen penting: persahabatan, perjuangan, dan kemenangan.
Sebut
saja serial Captain Tsubasa, yang akhirnya sukses mendorong
remaja-remaja pria di negeri sakura untuk menjangkau mimpinya sebagai pesepak
bola kelas dunia. Contoh lainnya serial Naruto, yang bersama teman-teman
satu angkatannya berjuang menyelamatkan dunia ninja (shinobi).
Nilai-nilai
tersebut tergambar pula dalam novel Si Anak Badai.
Mereka
mungkin tidak sampai pergi menyelamatkan dunia. Tetapi Zaenal, Malim, Ode, maupun
Awang mengajarkan kita bahwa ratusan kemenangan kecil bisa diraih bersama
sahabat-sahabat terbaik, melalui sedikit pengorbanan dan usaha keras.
Kita
sering terbuai untuk buru-buru mengubah semesta. Tanpa disadari, banyak langkah
kecil yang sebenarnya bisa diwujudkan. Di sekeliling kita. Di lingkungan kita
sendiri.
Awang,
si pandai berenang, rela telanjang bulat lalu menyelam di bawah sekolah demi
mengambil bolpoin kesayangan adik kelasnya. Zaenal tidak mau pulang sebelum
selesai memperbaiki kesalahan ukur baju, sebagai bentuk tanggung jawab. Malim
yang dipaksa kembali bersekolah oleh ketiga temannya. Hingga petualangan mereka
di tengah badai sungguhan dan ketika berupaya menghentikan pembangunan
pelabuhan.
Apa
pun bisa dicapai, asal ada sahabat terbaik di situ.
Ingat!
Mereka semua masih usia belasan tahun. Di umur segitu, saya masih ketagihan
main kelereng. Ya begitulah, pendidikan kita terlambat mendewasakan. Alhasil,
hari ini sulit rasanya menemukan sosok mirip Usamah bin Zaid yang pada usia 19
tahun telah menjadi panglima perang, membawahi veteran sekelas Abu Bakar dan
Umar bin Khattab. Hampir mustahil sepertinya menjumpai anak muda bak Muhammad
Al-Fatih yang pada usia 24 tahun berhasil menaklukan benteng Konstantinopel,
ibukota dunia pada saat itu.
Pernah
menemukan anak kelas 6 SD yang berani menghentikan sebuah proyek besar? Atas
nama keadilan. Demi kampungnya tercinta! Demi tanah leluhurnya tersayang!
Di
sini Tere Liye juga menyajikan secuplik kenyataan pahit. Betapa masih banyak
terjadi pembangunan terselubung yang bersembunyi di bawah ketiak modernisasi.
Tidak mengindahkan kearifan lokal, dananya pun masuk kantung sendiri. Warga di
desa-desa bisa apa? Suara mereka tidak akan didengar. Para pengadil disumpal
cuan berjuta-juta.
Kritik
sosial semacam ini mengingatkan saya pada buku The Hundred-Year-Old Man Who
Climbed Out the Window and Disappeared karangan Jonas Jonasson. Jurnalis
asal Swedia itu membawakan kritik pada kegilaan dunia melalui novel komedi yang
inspiratif. Konflik yang tersaji tidak sampai membuat kita mengernyitkan dahi.
Pembaca hanya akan tenggelam bersama aliran cerita.
Dalam
Si Anak Badai sendiri, hanya 9 dari 25 bab yang benar-benar terhubung dengan
konflik pembangunan pelabuhan. Sisanya, mempertontonkan kehidupan kampung yang
berjalan lambat, akrab, dan saling menolong. Sesuatu yang semakin pudar,
khususnya di tengah masyarakat perkotaan. Cenderung egosentris dan kehilangan
adab. Sampai-sampai kita mendengar kabar seorang ibu membunuh anaknya sendiri
karena depresi oleh ocehan mertua dan tetangga.
Persahabatan,
perjuangan, dan kemenangan.
Kita
rindu pada remaja-remaja yang peduli pada lingkungannya. Kita rindu pada
manusia yang tidak hanya berpikir mengenai dirinya sendiri. Namun sejatinya, kita
juga rindu pada diri kita. Pada diri yang terlukis dalam sosok Si Anak Badai.
Judul
: Si Anak Badai
Penulis : Tere Liye
Co-author
: Saripuddin
Penerbit
: Republika Penerbit, Jakarta
Tebal
: 322 halaman
Cetakan
: I,
Agustus 2019
Nomor
ISBN : 978-602-573-4939