Matahari sudah mengguyur sejak tadi. Meski masih terbilang
pagi, tetapi teriknya cukup menyengat kulit. Hanya ada sedikit awan
menggelantung di langit. Pagi yang normal di hari yang normal, setidaknya untuk
sementara. Bagaimanapun panasnya, aku tetap harus berangkat. Cuacanya tentu
lebih baik daripada harus menembus hujan deras.
Seperti biasa, Sabtu ini ekstrakurikuler Rohis memanggil.
Rutinitas yang sulit ditinggalkan. Bahkan hari Ahad pun hampir selalu ada
kegiatan.
Tidak lama keluar rumah, aku berdiri di pinggir jalan.
Sejenak memeriksa dompet sembari menunggu angkutan umum. Hanya ada satu jenis
angkutan umum di dekat rumah, angkot nomor 22 berwarna merah. Dari rumah sampai
Terminal Pulogadung biasanya memakan tarif 4 ribu rupiah untuk pelajar. Asalkan
memakai celana abu-abu panjang, itu sudah cukup menandakan aku anak SMA.
Sesaat kemudian angkot yang ditunggu datang, setelah aku
sadar cuma ada satu lembar uang 20 ribu dan satu lembar uang 10 ribu di dompet.
Kira-kira cukup untuk ongkos pergi-pulang dan makan siang.
Kalau bukan hari kerja, angkot yang kutumpangi biasanya
sepi, sebagaimana hari ini. Hanya aku penumpangnya yang segera duduk di
belakang sopir. Kursi di samping sopir sudah diisi seorang wanita muda, mungkin
istrinya.
Angkot berjalan lamat sambil menunggu penumpang lain.
Sebenarnya perjalanan kurang lebih hanya menghabiskan waktu tiga puluh menit,
kalau saja angkot ini lebih cepat.
Bermenit-menit selanjutnya, masuklah empat orang anak muda.
Tiga perempuan dan satu laki-laki yang cara bicaranya melambai. Dari postur dan
wajahnya, mereka mungkin anak SMP. Berisik sekali di dalam angkot. Obrolannya alay,
walaupun pakaian dan akseoris yang mereka kenakan ibarat anak orang kaya.
Kondisi di dalam angkot berlangsung demikian sampai kami
tiba di Halte IGI Pulogadung. Tiba-tiba masuklah sekelompok pemuda. Auranya
suram, bila kalian mengerti apa yang kumaksud. Satu orang duduk di depanku, di
bangku kecil dekat pintu angkot. Satu orang lainnya duduk persis di pintu.
Sedangkan ada dua orang lagi duduk mengampit keempat anak muda tadi.
Tidak perlu berpikir lama, segera kudekap tas di atas
pangkuan. Mata fokus menatap ke arah depan angkot.
Suasana lengang. Terdengar bisik-bisik antara keempat anak
muda itu dengan para pemuda yang baru masuk tadi.
“Bodoh!” pekikku dalam hati.
Andai saja aku tidak pengecut. Andai saja aku cukup punya
keberanian untuk mengusir mereka. Sopir dan wanita di sampingnya pun masih
sibuk mengobrol.
Tiba di depan Halte PTC (Pulogadung Trade Center),
pemuda-pemuda tadi turun. Awalnya samar-samar, tetapi perlahan keempat anak
muda itu menangis sesenggukkan.
“Kenapa, Dek?” sopir bertanya kaget.
“Dompet kita diambil,” salah satu dari mereka menjawab
sambil terus mengeluarkan air mata.
“Jam tangan dia juga,” yang lain menyahut sambil menunjuk ke
arah si lelaki.
Setibanya di Terminal Pulogadung, mereka bingung harus
membayar pakai apa. Ingin membantu, tapi aku sedikit ragu. Uang pas-pasan.
Setelah ini, aku harus menyambung angkot lagi menuju sekolah. Kalau satu orang
dikenakan Rp 4 ribu, ditambah aku, maka totalnya Rp 20 ribu. Sopir angkot
mungkin merasa iba, bisa saja ia menggratiskan mereka. Tapi, hati kecilku ingin
membalas kebodohan tadi. Sedikit menutupi betapa pengecutnya aku tadi. Risikonya,
barangkali aku tidak makan siang.
Tidak banyak waktu, aku wajib segera memutuskan!
“Yaudah, Bang. Pakai ini aja,” kataku seraya menyodorkan
satu lembar dua puluh ribu kepada sopir.
Aku buru-buru melangkah turun. Satu per satu dari keempat
anak muda tadi mengucapkan terima kasih.
“Iya,” aku menjawab singkat.
Hari yang sedikit tidak normal pun kembali normal. Matahari masih setia dengan teriknya. Namun, selama di
sekolah hingga tiba di rumah lagi rasanya hati begitu adem. Aku tidak terlalu
lama ingin mengingat kejadian tadi. Harapanku sederhana, agar mereka bisa
pulang dengan selamat, mengambil pelajaran hari ini, serta menjadi anak-anak yang
bisa menelurkan kebaikan.
Walaupun yang kuberi tidak seberapa, tetapi satu episode
unik di dalam lembaran kehidupan ini sering menjadi pelecut. Di lain waktu
ketika ada kesempatan berdonasi atau melihat orang lain membutuhkan, sedangkan
uang di kantong terbatas, aku kerap memarahi diri sendiri, “Sejak kapan lo jadi
pelit, Ry?” atau, “Sejak kapan lo jadi mikirin duit, Ry? Bertahun-tahun di
Rohis masih ragu sama janji Allah?”
Episode ini juga barangkali yang akhirnya memperkenalkanku
dengan berbagai lembaga filantropi kemanusiaan. Bayangkan tidak hanya empat
anak muda itu, melainkan jutaan orang di pelosok Indonesia yang mengalami hal
serupa bahkan lebih buruk lagi. Aku, kamu, dan kita semua bisa membantu
menghadirkan senyum mereka kembali melalui Dompet Dhuafa.
Berbagi ke sesama jadi lebih mudah, bermanfaat, dan bermakna
karena Dompet Dhuafa punya beragam layanan donasi, yaitu:
1. Kanal donasi online
donasi.dompetdhuafa.org
2. Transfer bank
3. Counter
4. Cara visit (meninjau
langsung lokasi program)
5. Tanya jawab zakat
6. Edukasi zakat
7. Laporan donasi
Jangan takut berbagi. Setiap rezeki kita telah
dituliskan-Nya. Kita tidak akan dimatikan sampai jatah rezeki itu habis.
Berbagi mungkin tidak membuat kaya, tetapi dijamin tidak akan menjatuhkan kita
pada kemiskinan. Bila disertai niat ikhlas, insya Allah menjadi bukit pahala di
akhirat kelak.
***
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jangan Takut
Berbagi yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa.
0 comments:
Post a Comment