Kronologi Singkat Perang Uhud
“Takkan menyesal orang yang
istikharah, takkan rugi mereka yang bermusyawarah.”
Selama setahun sejak kekalahan di Perang Badar, Makkah
terus menggulung kekuatan. Napas kebencian diembuskan ke seantero kota. Tidak kurang
dari 3.000 pasukan Quraisy berhimpun bersama sekutu-sekutunya. Dua ratus di
antaranya merupakan penunggang kuda, sementara tujuh ratus orang berseragam
baju besi. Komandan tertinggi dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb, sedangkan
pasukan penunggang kuda dipimpin Khalid bin Walid serta Ikrimah bin Abu Jahal.
Panji perang diserahkan kepada Bani Abdid-Dar.
Setelah persiapan dirasa cukup, pasukan bertolak keluar
Makkah. Terus melewati Wadi al-Aqiq, kemudian belok kanan hingga sampai di
dekat bukit Uhud. Tepatnya di sebuah daerah bernama Ainain, sebelah utara kota
Madinah.
Sang Rasul yang mendengar kabar tersebut melalui
mata-matanya, lantas menggelar Majelis Permusyawaratan Militer. Beliau berupaya
menghimpun pendapat mengenai langkah yang perlu diambil pasukan muslim seraya
menceritakan mimpinya,
“Demi Allah, aku telah bermimpi bagus. Dalam mimpi
itu, kulihat beberapa ekor lembu disembelih, kulihat di mata pedangku ada
gompal, dan aku memasukkan tangan ke dalam baju besi yang kokoh.”
Sejumlah lembu yang disembelih ditakwilkan sebagai para
sahabat yang kelak terbunuh dalam perang ini, mata pedang yang gompal
menandakan anggota keluarga Rasul yang terkena musibah, sedangkan baju besi
berarti kota Madinah. Berdasarkan mimpinya, beliau mengusulkan agar pasukan
muslim cukup bertahan di dalam kota. Apabila orang-orang Quraisy tetap tidak
melakukan serangan, biarkan kondisinya begitu tanpa kejelasan. Tapi jika mereka
memutuskan masuk ke Madinah, pasukan muslim dapat segera mengepung dan para
wanita bisa membantu melempari tentara Quraisy dari atap rumah mereka.
Gagasan ini disambut baik oleh Abdullah bin Ubay. Namun,
sebagian besar sahabat yang sebelumnya tidak mengikuti Perang Badar, mendesak
agar pasukan muslim pergi ke luar Madinah. “Wahai Rasulullah, sejak dulu kami
sudah mengharapkan hari seperti ini dan kami selalu berdoa kepada Allah. Dia
telah menuntun kami dan tempat yang dituju amat dekat,” cecar mereka, “Keluarlah
untuk menghadapi musuh-musuh kita agar mereka tidak menganggap kita takut
kepada mereka.”
Akhirnya Rasulullah mengabaikan ide beliau sendiri, lalu
mengikuti pendapat mayoritas.
Sebakda keputusan ini diambil, setidaknya ada dua
kejadian menarik yang patut dicermati:
Pertama, usai shalat
Jumat sembari mengobarkan semangat pasukan, Rasulullah berdiam di dalam rumah
selang beberapa saat. Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair pun berpikir para
sahabat telah memaksa beliau. “Wahai Rasulullah, bukan maksud kami untuk
menentang engkau. Berbuatlah menurut kehendak engkau. Jika memang engkau lebih
suka kita menetap di Madinah, lakukanlah!”
“Tidak layak bagi
seorang Nabi,” beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “apabila
sudah mengenakan baju besinya, ia menanggalkannya semula, sampai Allah membuat
keputusan antara dirinya dan musuhnya.”
Kedua, sesaat
sebelum fajar menyingsing, shalat subuh hampir ditegakkan, dan musuh telah
tampak di kejauhan, Abdullah bin Ubay tiba-tiba membelot bersama sepertiga
pasukan. Abdullah bin Haram yang telah mengingatkannya lekas mengutuk, “Semoga
Allah menjauhkan kalian wahai musuh-musuh Allah. Sehingga Allah membuat
Nabi-Nya tidak membutuhkan kehadiran kalian!”
Dan kesudahan perang ini masyhur dalam ingatan kita.
Pasukan muslim yang nyaris memenangi pertempuran, seketika kocar-kacir akibat
kesalahan fatal detasemen pemanah yang turun dari bukit sebelum menerima
komando. Akibatnya Rasulullah mengalami kondisi kritis. Sekitar 70 sahabat
syahid termasuk Hamzah bin Abdul Muthalib, sang Singa Allah sekaligus paman
Rasulullah.
***
Pelajaran Tentang Syura/Musyawarah
"Membaca sejarah adalah
cara menemukan harapan. Harapanlah yang membuat kita rela dan berani melakukan
kebajikan-kebajikan hari ini, walaupun buah kebajikan itu baru dipetik oleh
mereka yang akan lahir esok hari.” (Anis Matta)
Perang Uhud, sebagaimana epos sejarah lainnya, selalu
menyisakan hikmah bagi kita yang hidup hari ini maupun di masa depan. Hikmah
itu berserakan, hanya menunggu waktu sampai seseorang memungutnya. Salah
satunya mengenai hakikat syura. Cobalah kita ulas sejenak.
1. Urgensi Syura dalam Pengambilan Keputusan
Pernahkah kita berpikir? Sebetulnya mudah saja bagi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk segera mengambil sikap
dalam peperangan ini. Pertama, beliau telah bermimpi dan mimpi seorang nabi
merupakan wahyu. Kedua, sekali Rasul membuat keputusan, niscaya seluruh sahabat
akan menaatinya. Ketuk palu, tanpa musyawarah, selesai.
Tetapi kenyataannya, beliau justru tetap mengadakan
musyawarah. Apakah beliau tidak yakin terhadap mimpinya? Tentu kita menjaga
diri dari buruk sangka demikian. Analisis paling mungkin ialah beliau
benar-benar ingin menunjukkan pada umatnya betapa pentingnya mekanisme syura
dalam pengambilan keputusan.
Benarlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Aku
tidak pernah melihat seseorang pun yang paling sering bermusyawarah dengan
sahabatnya selain Rasulullah.” (Hr. Bukhari)
Organisasi yang tidak menghidupkan budaya syura hanya
akan melahirkan pemimpin yang otoriter—minimal sok tahu. Para pemimpin, selain
Rasulullah, hanyalah manusia biasa. Adakalanya ia memang telah menyusun
rencana, merenda mimpi dan menentukan arah bagi kelompoknya. Tetapi secemerlang
bagaimanapun gagasannya, tetaplah terbatas pada pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya. Kadang ia juga salah dan alpa. Sesekali mungkin ia merasa benar,
tetapi bisa jadi ada blind spot yang tidak disadarinya. Titik-titik buta
di dalam benaknya itulah yang hanya bisa diluaskan pandangannya oleh masukan
dari orang lain.
2. Tidak Menyetujui Hasil Syuro
Perbedaan gagasan adalah sunnatullah, dan syura ialah
medan peraduannya. Di luar itu, seluruh anggota wajib mengikuti ketetapan
syura, apa pun hasilnya. Tetapi terkadang masih terdapat rasa mengganjal karena
pendapat kita tidak diakui. Itu hal yang wajar. Setiap manusia memiliki ego
dengan tingkatan masing-masing. Hanya saja, ketidaksetujuan terhadap hasil
syura tetap harus dikelola agar kita tidak mengulang episode memilukan di
Perang Uhud.
Bagaimana caranya?
Pertama, pastikan kita berdiri di atas niat yang lurus
kepada Allah ‘Azza wa Jalla ketika mempertahankan pendapat. Bukan sekadar
ambisi untuk mengalahkan saudara yang lain, nafsu yang ingin tampak intelek,
atau bahkan sikap pengecut sebagaimana yang dipertontonkan oleh Abdullah bin
Ubay. Gembong orang-orang munafik itu seolah-olah mendukung Rasulullah, padahal
dirinya hanya tidak ingin berperang. Bila pasukan muslim takluk dan Sang Rasul
wafat, maka ia berpeluang besar duduk di tampuk kepemimpinan Madinah.
Kedua, yakinkah bahwa pendapat kita digali dari analisis
mendalam serta data-data yang valid? Tidak hanya berupa lintasan pikiran atau
semangat yang menyala sesaat. Mari kenali ulang gagasan kita, kemudian
pertimbangkan lagi apakah kita benar-benar pantas memperjuangkannya.
Ketiga, ingatlah bahwa persatuan jamaah jauh lebih utama
dari kemenangan dakwah, apalagi sekadar kemenangan pendapat kita.
Siapapun tahu, Perang Badar merupakan pertempuran yang
mahadahsyat. Kaum muslimin berjuang mati-matian. Sampai-sampai Rasul
menengadahkan tangannya. Sampai-sampai Allah menurunkan bala tentara-Nya.
Sayangnya, tatkala prosesi pembagian harta rampasan perang, tiba-tiba kondisi
berubah. Para sahabat justru berpecah, saling berebut ghanimah sambil
memamerkan jasa-jasanya.
“Aku yang membunuh musuh paling banyak!”
“Aku yang melindungi Rasulullah!”
“Aku yang maju paling depan!”
Akhirnya, Allah menegur mereka melalui ayat pertama surat
al-Anfal. Lihat! Bukan pujian yang mereka terima. Melainkan peringatan dari
Allah karena persatuan para sahabat seketika lenyap oleh masalah harta.
3. Tidak Menaati Hasil Syura
Apakah penyebab kekalahan pasukan muslim? Pasukan pemanah
yang turun dari bukit? Mungkin ada benarnya, tetapi saya rasa itu bukan faktor
tunggal. Kaburnya Abdullah bin Ubay bersama sepertiga pasukan merupakan faktor
lain yang turut mempengaruhi jalannya pertempuran.
Mereka tidak mematuhi hasil musyawarah. Parahnya, mereka
pergi justru ketika musuh telah terlihat di kejauhan. Bukan sedari awal,
sebelum pasukan muslim berangkat. Tekad jihad para sahabat tentu masih membara,
tapi berkurangnya jumlah pasukan akan sedikit melemahkan kekuatan. Harga yang
kemudian harus dibayar karena pembelotan ini terlalu mahal. Di sisi lain,
mungkin ini memang cara Allah menyeleksi siapa yang layak masuk dalam barisan
tentara-Nya.
4. Sudah Syura, Tetap Kalah?
Kalau menjadi Abdullah bin Ubay, mungkin saya akan
berkata begini sekembalinya pasukan muslim ke Madinah, “Tuh kan, apa gue
bilang. Kalah, kan? Ngotot sih, bukannya ikut usul Rasulullah!”
Pernah menemukan ini di organisasimu? Berarti orang
semacam itu belum memahami hakikat syura. Syura adalah mekanisme terbaik untuk
mengambil keputusan. Bukan penentu kemenangan atau kekalahan. Sebagaimana
sahur, tanpanya pun orang tetap kuat berpuasa, tapi Rasulullah menjadikannya
sunnah karena terdapat barakah di dalamnya.
Orang-orang yang menjalankan musyawarah bukanlah
komunitas malaikat. Kita tetap manusia biasa yang mengerahkan seluruh sumber
daya untuk menghasilkan keputusan yang dianggap paling tepat. Ingat! DIANGGAP.
Oleh karenanya, ketetapan dalam syura bersifat ijtihadiyah, kebenarannya
berkisar antara 70-95 persen. Kalau keputusannya benar, kita bersyukur. Bila
salah, cukup evaluasi dan musyawarahkan ulang. Tanpa perlu menyalahkan siapa
pun.
Ketika Sa’d bin Mu’adz dan Usaid bin Hudhair meminta
Rasulullah tidak perlu menanggapi usulan para sahabat yang cenderung memaksa,
beliau justru tidak ingin mengubah keputusan syura.
“...Apabila kamu telah berazzam, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal.” (Qs.
Ali Imran: 159)
Pada ayat sama, Allah mengingatkan Rasulullah agar tetap
bermusyawarah dengan para sahabat walau mungkin mereka menyesal karena tidak
menuruti pendapat beliau.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu...” (Qs. Ali Imran: 159)
Menariknya, persis satu hari setelah kekalahan ini,
Rasulullah tidak membiarkan kesedihan para sahabat berlarut-larut. Beliau
mengajak pasukannya yang ikut dalam Perang Uhud untuk mengejar tentara Quraisy.
Abdullah bin Ubay dan komplotannya dilarang masuk ke dalam barisan. Mereka
terus berjalan hingga sampai di daerah bernama Hamra’ul Asad, sekitar 7 mil
dari Madinah. Rasulullah dan pasukannya berdiam di sana selama 3 hari untuk
memastikan orang-orang Quraisy tidak kembali menyerang.
“Maka Allah menimpakan kepadamu kesedihan atas
kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput darimu dan
terhadap apa yang menimpamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Qs. Ali Imran: 153)
Begitulah kira-kira pendidikan syura yang tergambar
selama Perang Uhud berlangsung. Ibrah dan hikmah ibarat harta karun, siapa yang
menemukannya maka ia yang berhak memilikinya. Allahu a’lam bi ash-shawab.