Polisi bilang, aku melaporkan diriku
sendiri.
Kata mereka, aku membunuh seorang pria.
Hanya saja… aku tidak ingat.
Aku tidak ingat pernah melapor, apalagi
membunuh orang.
Sebenarnya, apa yang terjadi?
Setelah
menamatkan Giselle, saya tidak terlalu mengikuti kabar mengenai novel
terbaru Akiyoshi Rikako. Buka Instagram Penerbit Haru pun sekadar scrolling.
Sampai seorang teman bertanya, “Sudah ikutan pre order Memory of Glass?”
Hah?
Tidak
lama kemudian saya mengulik infonya, tapi masih menahan diri untuk membeli.
Maklum, harganya lumayan *peace sign. Buah kesabaran memang tidak pernah
mengecewakan. Akhirnya beruntung mendapatkan diskonan di Islamic Book Fair 2020,
sekaligus belanja novel Murder at Shijinso yang tahun lalu sudah
difilmkan.
Apa
yang menarik dari Memory of Glass?
***
Seperti
biasa, kesan kelam menyelimuti novel-novel karangan cerpenis Yuki no Hana ini.
Terlebih, penerbit mendesain sampul berwarna dominasi hitam, lengkap dengan
gambar seorang wanita yang memegang pisau di antara pecahan kaca. Atmosfer honkaku
mystery yang berisi teka-teki pembunuhan pun semakin membuat bulu kuduk
merinding.
Lembar
cerita dibuka melalui penuturan Kashihara Mayuko yang tiba-tiba mendapati
dirinya berada di rumah sakit. Tetapi ia tidak ingat apa pun. Wanita berusia 41
tahun itu bahkan masih merasa sebagai seorang siswi SMA.
Di
tengah kebingungan itu, Kiritani Yuka dan Nomura Junji berdiri di hadapannya.
Dua detektif tersebut menjelaskan semua yang terjadi secara perlahan. Termasuk
mengenai Mayuko yang melaporkan dirinya telah membunuh seseorang dan penyakit
Gangguan Fungsi Eksekutif Otak yang membatasi ingatannya.
Korban
bernama Gouda. Pria yang membunuh kedua orang tua Mayuko sekitar dua puluh
tahun silam secara sporadis di pinggir jalan Ginza. Mayuko berusaha lari.
Malangnya, ia tertabrak mobil yang dikendarai Mitsuharu, yang kini menjadi
suaminya. Karena luka di bagian otaknya, ingatan Mayuko ibarat kaca: rapuh, mudah
pecah, bahkan hanya bertahan selama 10-20 menit.
Penyelidikan
berjalan alot. Padahal tersangka sudah di depan mata, tetapi bukti tidak
mencukupi dan nihil saksi mata. Bantuan dari Mitsuharu pun tampaknya kurang
memberikan titik terang,
Saat
itulah muncul sosok Yonemori Hisae. Kepada kedua detektif di atas, ia menerangkan
berbagai kejanggalan selama penyelidikan. Kasih sayangnya yang ingin
menyelamatkan Mayuko turut melahirkan kecurigaan pada Mitsuharu. Ia juga tidak
segan menyewa Ogio Masamichi, pengacara muda yang namanya cukup dikenal di
dunia penggiat HAM.
Apa
yang sebenarnya terjadi? Apakah Mayuko yang mudah lupa itu benar-benar bisa
membunuh seseorang? Atau jangan-jangan, ada pihak ketiga? Siapa yang harusnya
Mayuko… eh, yang harus pembaca percayai?
***
Alur
cerita kali ini berjalan dalam tempo yang agak lambat. Akiyoshi Rikako secara
jeli menyusun berbagai kepingan puzzle yang menghadirkan detail-detail kecil
kepada pembaca. Berkat penerjemahan yang apik, detail tersebut tidak terasa
membosankan. Pembaca lagi-lagi dibuat penasaran, menerka-nerka, sekaligus menata
akhir cerita di benaknya sendiri.
Tempo
yang lambat ini juga disebabkan karena penulis memakai dua sudut pandang
berbeda. Pada satu bab, cerita berpusat di Mayuko dengan sudut pandang orang
pertama. Kita bisa ikut merasakan betapa polosnya penderita gangguan otak yang hampir
setiap saat harus segera menulis apa yang terjadi di secarik kertas atau tangannya
sendiri. Penuh kesedihan, penuh penderitaan.
Lalu
pada bab lain, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga yang menyoroti
kehidupan Kiritani Yuka. Di sela pekerjaan, ia juga harus merawat ibunya
yang menderita gangguan otak serupa. Lebih tepatnya demensia tipe Alzheimer.
Plot
twist yang tersaji mungkin tidak terlalu mengejutkan. Apalagi kalau sudah
membaca Holy Mother. Ekspektasi kita barangkali berlebihan. Meski
begitu, ending cerita justru menghangatkan hati hingga meleleh.
Pembaca
disentak dengan kenyataan betapa sulitnya merawat orang-orang dengan penyakit
seperti Mayuko. Bahkan apabila orang tersebut adalah keluarga kita sendiri,
terlebih orang tua. Perilaku mereka seperti anak bayi. Tapi bayi pun punya “masa
depan” dan kita hanya harus bersabar beberapa tahun lagi sampai mereka dewasa. Tetapi
orang yang sudah tua? Mereka tidak akan tumbuh lagi. Di tengah keputusasaan itu,
kita pun harus siap menelan pil pahit kehilangan.
Terima
kasih, Sensei. Benar-benar novel yang luar biasa!
“Tidak
melakukan apa yang tidak bisa dilakukan itu, tidak buruk dan tidak salah. Tidak
ada artinya memaki diri sendiri atau tertekan oleh rasa bersalah.” (h. 345)
Judul: Memory of Glass
Penulis: Akiyoshi Rikako
Penerbit: Penerbit Haru
Tebal: 360 halaman
Cetakan: I, November
2019
Nomor
ISBN: 978-623-7351-21-4