Nulis Suka-Suka

Resensi Buku Sang Pangeran dan Janissary Terakhir



Sejarah adalah milik para pemenang. Adagium itu terlintas dalam lamunan ketika saya tengah mengikuti kelas Sekolah Pemikiran Islam beberapa tahun silam. Tepatnya saat pembicara berpesan, “Hari ini kita kekurangan ahli sejarah. Bayangkan, penelitian mendalam mengenai Pangeran Diponegoro justru dilakukan oleh Prof. Peter Carey, sejarawan yang bukan asli orang Indonesia.”

Tidak banyak yang saya ingat mengenai Sang Pangeran, kecuali kekaguman atas gelarnya yang terdengar islami. Itu pun saya lupa lengkapnya. Sisanya, sayup-sayup terlukis nama Kyai Mojo dan makam leluhur yang terimbas pembangunan jalan sehingga meletuskan Perang Diponegoro.

Barulah belakangan saya tahu, teori yang diajarkan sejak SD itu memang diambil dari arsip-arsip Belanda. Benar, kan? Sejarah memang milik para pemenang.

Lalu, apa yang sebenarnya melatarbelakangi perang pada 1825-1830 itu?

Syukurlah, referensi peradaban tanah air tidak putus sepenuhnya melalui kelahiran novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir. Inilah novel pertama yang ditulis oleh Ust. Salim A. Fillah. Walaupun, sebagian dari kita mungkin sudah terbiasa mereguk hikmah dalam buku-buku beliau lainnya, yang banyak menuturkan kisah menakjubkan.

Sang Pangeran dan Janissary Terakhir ditulis menggunakan plot maju-mundur dengan sudut pandang orang ketiga. Sesuai judulnya, novel ini tidak hanya menyoroti Pangeran Diponegoro, terutama menjelang berakhirnya masa perang. Melainkan juga petualangan Nurkandam Pasha dan kawan-kawan yang berusaha membantu atas nama pasukan elit Turki Utsmaniyah, Janissary.

Dari situ kita bisa menebak bahwa Perang Diponegoro bukan perang lokal biasa. Demi mengalahkan pasukan multinasional, tidak cukup bermodalkan semangat kesukuan saja.

Sebagai fiksi sejarah, novel setebal 632 halaman ini menyajikan banyak fakta menarik. Mulai dari latar belakang terjadinya perang, alasan mengapa Janissary harus turun tangan, perseteruan Daendels dan Van den Bosch yang bekerja di bawah dua kekaisaran berbeda, hingga kronologi pengasingan Pangeran Diponegoro.

Riset mendalam, sebagai puzzle yang hilang di banyak novel Indonesia, tersusun apik di dalam novel. Kaya diksi, tanpa harus berputar-putar dan sok menyastra. Pembaca juga bisa lebih mengenal aneka makanan khas dari berbagai negara. Namun, terkadang saya masih bingung dengan beberapa gambaran mengenai deskripsi lokasi maupun bangunan. Ya, mungkin karena baru mendengarnya.

Sisi menarik lainnya, berulang kali kata “Maktub” tertuang di tengah dialog. Ini mengingatkan saya pada masterpiece Paulo Coelho, Sang Alkemis. Keduanya sama-sama mengajak kita menginsyafi diri bahwa segala sesuatunya telah tertulis. Termasuk pecahnya Perang Diponegoro, yang ternyata menggelindingkan bola salju kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagaimanapun, bagi sebagian orang, sebuah novel masih belum kuat dijadikan sebagai referensi sejarah. Tapi kita berdoa dan berharap, dari yang belum sempurna ini mampu mendorong lebih banyak orang untuk mengupas lebih jauh warisan sejarah bangsanya sendiri.


Judul: Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis: Salim A. Fillah
Penerbit: Pro-U Media
Terbit: 2019
ISBN: 978-623-7490-06-7

Share: