Nulis Suka-Suka

Jadi Narablog: Kecintaan pada Menulis, Modal Nekat, hingga Jalan Menjemput Rezeki





Saya dan Menulis

Kata seorang senior yang lulusan S1 psikologi, mengenal passion itu ada banyak cara. Salah satu yang termudah ialah melihat kebiasaan kita di lima sampai sepuluh tahun silam. Mana aktivitas yang sanggup kita kerjakan selama berjam-jam, bahkan sampai lupa waktu. Kita menikmati itu, meski tanpa dibayar serupiah pun. Tentu tidur tidak termasuk, ya.

Apabila benar demikian, sepertinya saya tidak terlalu heran jikalau hari ini menulis telah menjadi bagian yang sulit terpisahkan. Saya suka sekali membaca cerita sejak SD. Tiap awal semester, biasanya sekolah membagikan buku paket Bahasa Indonesia. Saat itu, saya lekas mencari cerita-cerita yang tertuang dalam buku. Contohnya, kisah kancil dengan beragam versi, dongeng, maupun cerita rakyat. Seluruh cerita selesai disantap dalam satu hari. Di perpustakaan sekolah pun sama, buku yang saya cari sebagian besar berisi cerita—di samping pengetahuan unik dan buku peribahasa.

Kebiasaan itu terus berlanjut di bangku SMP. Bedanya, saya juga perlahan menggemari puisi. Tapi, aksesnya belum banyak. Lagi-lagi saya hanya mengandalkan buku paket Bahasa Indonesia. Di antara puisi favorit saya kala itu adalah karangan sang maestro Sapardi Djoko Darmono:


aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan,
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Bersamaan dengan hal tersebut, saya pun perlahan menulis puisi. Jangan berekspektasi tinggi, ya. Puisi-puisi saya mungkin lebih cocok disebut kegalauan bocah SMP. Lucu juga kalau ingat masa-masa itu. But, the first of everything is shit, right?

Yang menarik, pernah ada seorang teman perempuan sekelas mengajak saya berbalas puisi. Dia menulis puisi, kirimkan kepada saya, kemudian saya balas dengan puisi lain. Begitu seterusnya selama beberapa bulan. Seingat dan setahu saya, tidak ada satu pun orang lain yang mengetahui kegiatan kami ini. Jumlah puisinya lumayan banyak, mungkin cukup untuk dibukukan. Sayang, ketika saya pindah rumah, kumpulan puisi itu hilang. Lebih tepatnya saya lupa, siapa di antara kami yang menyimpannya. Selepas lulus SMP, kami tidak menjalin kontak lagi.

Selama SMK, saya mulai jarang menulis puisi. Entahlah, mungkin karena kesibukan akademis dan organisasi. Tetapi, hasrat untuk menulis itu tetap menggebu, baik puisi atau artikel biasa. Selaras dengan semakin banyaknya buku yang saya lahap dari perpustakaan masjid sekolah.

“Seru kali ya, menjadi penulis yang sanggup mengubah pikiran banyak orang,” sebait angan melintas.


Blog dan Saya

Pertama kali bikin blog sekitar tahun 2013. Di tengah kesibukan PKL (Praktik Kerja Lapangan) selama satu tahun penuh. Maklum, saya bersekolah di SMK khusus program empat tahun. Saat itu modal nekat saja, tanpa mengetahui sama sekali tentang dunia blog. Saya sekadar butuh media untuk menyalurkan hobi menulis, sembari perlahan meniti jalan kepenulisan. Nama blognya setiawanhary.blogspot.com. Seluruh pengaturan, desain, dan detail kecil lainnya, dikerjakan sendiri. Hingga setahun kemudian saya baru sadar ternyata wordpress lebih user friendly, haha.

Banyak hal saya ceburkan ke dalam blog. Sebagian besar berupa tulisan opini dan essai. Saya bukan tipe orang yang mudah curhat atau menulis cerita keseharian. Well, sebenarnya blog tersebut mirip gado-gado sih: isinya campur. Sinopsis buku yang menjadi dagangan juga dimasukkan. Nggak ada bagusnya deh blog yang itu.

Ini sih salah satu kebiasaan buruk saya. Modal nekat, belajarnya paralel. Nanti setelah belajar, inginnya memulai semuanya dari nol. Capek merapikan yang terlanjut ribet, mending bikin baru. Jangan diikuti ya yang begini.

Dua tahun berikutnya, saya mulai beralih menulis di blog.setiabuku.com. Blog yang berfungsi menjaga rating domain toko online saya di google. Walaupun akhirnya situs tersebut hanya berisi artikel, tokonya sendiri nggak aktif, hehe.

Oktober 2018 lalu, kedua blog di atas resmi dinon-aktifkan. Sebagai gantinya, saya meretas blog pribadi—kali ini lebih rapi—dengan nama coretcoretawan.blogspot.com. Tulisan-tulisan lama yang masih layak, saya tuang kembali. Di blog tersebut, saya juga membiasakan menulis cerita pengalaman keseharian. Mungkin bahasa pemasarannya, saya ingin membangun branding diri melalui blog baru itu.

Saya bersama Blog

Dibandingkan bangga, barangkali saya lebih suka menyebut bersyukur karena telah menjadi narablog. Saya latihan menulis di situ. Saya mencurahkan isi benak di situ. Saya juga menjemput rezeki salah satunya dari situ. Rezeki yang dimaksud bisa dalam arti banyak hal. Akal yang tetap waras dan hati yang tenang karena aktivitas menulis adalah bagian dari rezeki. Gajian juga pastinya rezeki.

Karena dikenal sering menulis, seorang kakak kelas hingga kini mempercayakan job nulis freelance kalau ia sedang overload. Hasilnya lumayan untuk membiayai kuliah. Di samping itu, secara tidak langsung saya juga memperoleh banyak ilmu mengenai dunia digital wiriting. Gratis..tis..tis..

Dari blog, saya pun berhasil menyabet sejumlah penghargaan. Di antaranya, Juara 3 Lomba Resensi Novel “Pulang” dari Republika (2016), Resensi Pilihan 1 Lomba Resensi Novel “Maneken” dari Republika (2016), dan Juara 1 Lomba Resensi Novel “Pergi” dari Republika (2018).

fb.com/bukurepublika
fb.com/bukurepublika

Sejak pertama kali jadi blogger hingga sekarang, banyak kejutan saya peroleh. Begitu pula kesempatan berkecimpung di dunia digital writing. Nulis buku? Ingin sih, tapi sekadar aktualisasi diri saja, bukan sebagai mata pencaharian. Belum ada target ke sana juga sepertinya. Tahun 2019 ini, harapan tertinggi saya semoga tetap bisa menginspirasi—sebagaimana tujuan awal saya menulis. Istiqamah menabur kebajikan, di saat sebagian orang dengan berani dan lantang memasarkan keburukan melalui jemari mereka.

Banyak prestasi yang saya ingin kejar pula. Dalam hal ini, saya iri betul pada Pak Nodi yang dalam dua tahun jadi blogger telah menjuari puluhan penghargaan. Boleh iri kan, ya? Hehe. Lah, saya kurang lebih lima tahun ngeblog, produktivitasnya minim banget. Ini persoalan besar, mudah-mudahan bisa diperbaiki di tahun ini. Mohon doa dan dukungannya.


Share:

Menjemput Rezeki di Awal Tahun 2019



Well, mungkin ini curhatan pertama yang aku tulis di blog. Alias tulisan yang lebih santai dibandingkan tema-tema berat yang biasanya kusajikan. Alhamdulillah awal tahun 2019 ini banyak hal terjadi. Satu per satu pintu rezeki seolah Allah buka. Nilainya sih nggak sampai 80 juta. But, I think it's worth for my future. I hope.

Dimulai dari awal Desember, tepatnya ketika hunting buku di event Out of the Boox-nya Mizan di Lebak Bulus. Bi idznillah, ketemu buku My Hobby My Business: Kafe Buku karangan Gunawan Ardiyanto. Isinya sih nampak masih "kulit", tapi sepertinya cukup bagi aku untuk mengenal dunia kafe. Saat itu, pikiranku juga tengah terbang dari satu pohon ide ke pohon ide lainnya. Sudah hampir 5 tahun berbisnis buku, kok nggak ada perubahan, ya? Apa yang mesti aku lakukan atau bikin di tahun besok?

Kafe bertema buku jawabannya.

Sebenarnya, ini baru lintasan pikiran, sampai beberapa hari kemudian aku baca status Whatsapp seorang teman. Winda namanya, dia bilang juga mau bikin kafe buku. Ah, ini kesempatan, pikirku. Doi anak FLP Jakarta, lebih paham dunia menulis dan perbukuan. Mulailah kami mengobrol sejenak, sedikit berseloroh mengajak kolaborasi. Done! Tapi belum ada tindak lanjut.

Tak lama, seorang teman lain membuat status Whatsapp, "#2019BikinKafe". Doi yang biasa aku panggil Bang Rohmat jelas lebih pandai soal manajemen. Sebelum aku japri ajak kolaborasi, ternyata dia juga sudah menghubungi Winda. Yeah, kita bertiga juga saling kenal, sih.

Jadilah bikin kopdar pertama di Upnormal Rawamangun. Saling diskusi menawarkan konsep dan membeberkan motivasi mengapa memilih kafe buku. Dari meet up itu, kami sepakat bertemu lagi akhir Januari nanti. Dalam waktu sebulan, ada beberapa pekerjaan rumah yang mesti dituntaskan. Salah satunya survei ke kafe buku yang ada di Jakarta. Bismillah..

Di waktu yang hampir berbarengan, pengajian pekanan yang biasa aku ikuti juga ketiban proyek besar. Proyek ini sebenarnya program salah satu organisasi yang aku pegang. Karena nggak ada yang mengurus, awalnya aku pengin jorokin Rizki, teman dekat yang juga berprofesi sebagai pengajar Al-Qur'an. Doi mengiyakan dengan syarat kelompok pengajian jadi rekan setimnya. Oke, deal!


Dan terbentuklah RUMAH QUR'AN PELAJAR (RQP).

Prosesnya sangat cepat, kalau nggak mau disebut ngebut. Dalam beberapa hari, tutor kami memandu raker, menyiapkan segala printilan, dan menyusun program. Termasuk bersiap mengadakan acara Pelatihan Guru Qur'an. Target peserta 50 orang, dikerjakan kurang dari dua pekan.

Dari perjalanan ini, yang menarik bagi aku, ketika tiba-tiba jumlah peserta membludak hingga dua kali lipat. Ya siapa sih yang nggak mau ikut pelatihan micro teaching, diisi Ust. Efendi Anwar yang mengasuh Lembaga Tahfizh Utsmani, dapat makan siang, diberi sertifikat, serta hanya dibebankan infak 50 ribu rupiah. Kewalahan? Pasti. Alhamdulillah semuanya masih terkontrol. Lucunya lagi, sampai H-1 kursi untuk acara ternyata belum disiapkan. Panik sih sebentar, namun terselesaikan juga perlahan.

Memang ada sejumlah kendala teknis ketika acara. Biasa. Di luar itu, pendirian RQP terasa lancar, cepat, mulus, hampir tak ada hambatan. Kata orang, segala sesuatu seperti begitu siklusnya. Mula-mula tampak untung demi menggemberikan pemula dan memberinya motivasi lebih. Di pertengahan, mendadak semua hal tak sesuai rencana untuk menguji kesungguhan pelaku. Entahlah, aku lebih suka menyebut ini: "Berkah Al-Qur'an".

Kemudian, di pertengahan Januari ini, milestone baru datang. Kali ini dari seorang alumni senior. Saking seniornya, beliau sudah masuk STM, sedangkan saya masih kelas 1 SD. Saya memanggilnya Mba Azizah.

Dari senior lainnya, Mba Azizah mendapatkan kontak aku untuk diminta menjadi timnya mengurus sebuah lembaga filantropi. Digaji profesional untuk mengisi konten fundraising. Namanya Happy Qur'an, program rintisan baru. Kami bertiga, termasuk bos beliau yang bernama Pak Erwin, sepakat bertemu besoknya. Ba'da zuhur di Kokas.

Pada kesempatan itu, Pak Erwin menjelaskan apa dan ke mana arah Happy Qur'an ini. Sepanjang pembicaraan, bagi aku sebetulnya program ini masih belum jelas. Wajar sih, karena kami memang harus bertemu lagi dengan si empunya ide. Ibu Fida, emaknya Zaskia Adya Mecca. Wow banget!


Selang tiga hari kemudian, kami berempat meeting di Meccanism Kemang. Saya juga mengajak seorang teman dekat, Bang Imron, untuk menjadi bagian dari tim. Saya mengurus konten, doi bagian desain.

Aaaarrgh, belum genap 20 hari di tahun 2019, banyak banget yang Allah berikan. Satu per satu proyek berdatangan. Milestone yang siap mengantarkan ke puncak tertentu. Mengulas semuanya dalam blog ini mungkin adalah bagian dari suka cita. Aku tak pandai mengungkapkannya kepada orang lain, hanya tulisan yang kuanggap media terbaik. Walau sebetulnya aku juga bingung mendeskripsikan rasa syukur ini.

Penasaran, kejutan-kejutan apa lagi yang mau Allah kasih. Bukan geer, hanya optimis. Well, bertambah satu proyek berarti tambah lagi satu amanah baru yang mesti dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan Allah kuatkan juga pundakku dan semoga bisa melalui tahun ini dengan banyak karya. Kali aja juga bisa nikah di tahun 2019, #eh.
Share: