Peringatan atau perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah lama menjadi perdebatan sengit di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Kontroversi mengenai permasalahan tersebut, salah satunya, dilatarbelakangi oleh faktor sejarah. Sebagian orang beranggapan, peringatan Maulid Nabi merupakan bagian dari syiar ajaran-ajaran Syiah. Sedangkan golongan lain menyangkal bahwa perayaan ini diinisasi oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima bermazhab Asy'ari yang berhasil merangkul Al-Aqsa ke dalam pangkuan umat Islam untuk kedua kalinya.
Manakah sejarah perayaan Maulid Nabi yang valid?
Mula-mula kita ulas dahulu 3 teori berbeda mengenai sejarah perayaan ini.
Pertama, perayaan Maulid Nabi diyakini dimulai pada masa Dinasti Ubaid (Fathimiyah) di Mesir yang berafiliasi dengan Syiah Rafidhah. Tepatnya di era kepemimpinan Al-Mu’idz li Dinillah yang berkuasa pada tahun 341-365 H. Bukan hanya Maulid Nabi, mereka juga mengadakan perayaan tahun baru, perayaan Hari ‘Asyura, perayaan Maulid Ali bin Abi Thalib, perayaan Maulid Hasan, perayaan Maulid Husain, dan perayaan Maulid Fathimah.[1]
Perayaan yang mereka gelar bermaksud untuk merebut hati masyarakat Sunni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kedua, Maulid Nabi dirayakan secara besar-besaran di kalangan Ahlus Sunnah pertama kali oleh Sultan Abu Said Muzhaffar Kukbari, gubernur Irbil di wilayah Irak. Beliau mengundang para ulama, ahli tasawuf, ahli ilmu, dan seluruh rakyatnya. Beliau menyediakan berbagai hidangan, memberikan hadiah, bersedekah kepada fakir-miskin, dan sebagainya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Orang yang pertama kali merintis peringatan Maulid ini adalah penguasa Irbil, Malik Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kukbari bin Zainuddin bin Baktatin. Salah seorang raja yang mulia, agung, dan dermawan.”
Ketiga, perayaan Maulid Nabi pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Beliau mengadakan perayaan Maulid untuk meningkatkan semangat jihad kaum muslimin dalam rangka menghadapi Perang Salib melawan kaum Salibis dari Eropa dan merebut Yerusalem dari tangan Kerajaan Salibis.[2]
Kompromi Sejarah
Para pendukung perayaan Maulid Nabi biasanya beralasan bahwa mereka mengikuti apa yang dirintis oleh Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menyebut perayaan Maulid Nabi sebagai perbuatan bid’ah. Kalaupun bid’ah, maka hal tersebut termasuk bid’ah hasanah. Sebab Sultan Shalahuddin mengadakannya untuk memperkuat dan menyatukan kaum muslimin. Sedangkan para penentang Maulid Nabi berdalih bahwa Maulid Nabi merupakan budaya Syiah Rafidhah yang justru harus ditinggalkan.
Sebetulnya ketiga teori sejarah di atas dapat dikompromikan tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Dalam buku biografi Shalahuddin Al-Ayyubi, Ali Muhammad Ash-Shalabi memaparkan sejumlah fakta menarik.[3]
Ketika hendak menaklukkan Mesir yang dikuasai Dinasti Ubaid, Shalahuddin tidak lantas menggunakan cara-cara fisik. Alasannya, pengaruh Syiah Rafidhah telah mengakar kuat di Mesir selama bertahun-tahun dan tidak mudah untuk mencabutnya. Untuk itu, Shalahuddin mengambil langkah-langkah kultural dengan menghapus budaya Syiah Rafidhah satu per satu. Tujuannya agar tidak terlalu mencolok dan perlahan menarik simpati rakyat Mesir. Dengan demikian, Shalahuddin tetap mengadakan Maulid Nabi sebagai salah satu metodenya sambil perlahan menghapus hari raya lain, melepas pengaruh Syiah dari lembaga-lembaga pendidikan termasuk Al-Azhar, hingga mengganti khutbah Jumat yang menyebut Khalifah Al-Adhid (Syiah) dengan nama Khalifah Abbassiyah saat itu.
Praktik Shalahuddin ini ternyata menarik perhatian Malik Muzhaffar Kukbari di Irbil. Sehingga beliau pun mengadakan perayaan Maulid Nabi pula. Apalagi Malik Muzhaffar merupakan sejawat Shalahuddin dalam Perang Salib. Tidak heran hubungan antara keduanya pun cukup erat.
Allahu a'lam.
image: easyparcel.com