Nulis Suka-Suka

Resensi The Dead Returns: Nyawamu adalah Hasil Pengorbanan Banyak Orang




“..Diabaikan secara tak sadar dan tanpa alasan rasanya lebih menyakitkan daripada diabaikan karena di-bully.” (hal. 98)

Pernahkah kita khawatir, jika nanti mati, apa tanggapan orang-orang di sekitar kita? Menangis sedih, merasa biasa saja, atau justru tertawa gembira? Rasa penasaran yang kuat bercampur dengan kengerian untuk menyaksikannya.

Namun, sepertinya Koyama Nobuo sudah siap menerima semua kenyataan di hadapannya. Apa yang perlu ia harapkan pada teman-teman sekelasnya di SMA Higashi? Koyama hanyalah seorang otaku (fanatik) kereta api di kelasnya. Tidak punya kelebihan, tidak menonjol, dan pastinya tidak digemari murid-murid perempuan. Bersama sahabatnya, Yoshio, ia bertahan di tengah orang-orang yang menganggap mereka pemilik masa depan suram. Keduanya tidak di-bully, tapi tidak diperhatikan juga.

Betul saja. Sekembalinya ia ke kelas, bahkan bunga putih untuk mengenangnya pun tergeletak layu. Tidak ada yang mengganti airnya.

Koyama harus sabar. Bukan itu tujuan ia kembali ke sana. Kini tubuhnya adalah milik Takahashi Shinji, murid pindahan berwajah cerah, tampan blasteran, dan lebih tinggi darinya. Seseorang yang berusaha menyelamatkannya saat terempas akibat didorong oleh pelaku misterius di Tebing Miura Kaishoku pada malam setelah upacara pembukaan semester baru.

Saat Koyama siuman dari koma panjang, ia telah bertukar tubuh dengan Takahashi. Kesempatan ini tidak boleh dibuang percuma. Koyama punya kehidupan kedua yang harus dimanfaatkan guna mencari si pelaku. Tersangka utama: 35 orang teman sekelasnya.

***

Tidak butuh waktu lama untuk memutuskan membaca The Dead Returns seusai logika saya diaduk-aduk oleh Girls in the Dark. Akiyoshi Rikako kembali menyajikan cerita misteri yang lincah dan mengajak pembaca berspekulasi.

Mula-mula, kita dijebak untuk mencurigai Sasaki dan Arai. Kemudian muncul tokoh Jozaki. Maruyama yang berkepribadian sama dengan Koyama juga tak boleh diabaikan. Perlahan, kita pun seakan dipaksa untuk menebak Yoshio sebagai pelakunya. Bahkan ibu Koyama, Sakamoto-sensei, dan Takahashi Shinji sendiri tidak bisa lepas dari praduga.

Saya sejenak berpikir, jangan-jangan ujung novel ini mirip Murder on the Orient Express-nya Agatha Christie. Everyone is suspect!
Sayangnya, lagi-lagi plot twist. Sulit benar-benar menemukan jawabannya kalau belum sampai halaman terakhir.

Rasanya saya juga perlu berterima kasih pada Penerbit Haru yang berhasil menerjemahkan novel ini dengan baik. Dialog maupun narasinya mengalir sebagaimana novel remaja pada umumnya. Gambaran mengenai kehidupan sekolah di Jepang juga cukup terlukiskan secara apik. Kegiatan klub, festival budaya, sungguh masa muda yang penuh energi. Sayangnya, kasus bullying tampak tidak pernah selesai.

Budaya modernnya yang membanjiri dunia hari ini memoles sisi kelam negeri sakura tersebut. Kita kerap terpukau pada kemajuan teknologi dan masyarakat Jepang yang terkenal disiplin. Faktanya, angka bunuh diri di Jepang termasuk yang tertinggi dari seluruh negara. Kementrian Kesehatan setempat, pada tahun 2016 lalu, mencatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai hampir 22 ribu orang (Kompas.com).

Adapun di Indonesia, jumlahnya cenderung menurun. Dari 30 ribu kasus pada 2005, hingga hanya 840 kasus di tahun 2013. Terdapat empat penyebab utama: putus cinta, masalah ekonomi, keluarga yang tidak harmonis, dan masalah sekolah!



Koyama yang berupaya mencari pembunuhnya, ternyata juga disadarkan pemandangan menarik. Kadang ia menyaksikan kepalsuan teman-temannya, kadang justru ia menemukan kebaikan di balik anggapan kelirunya. Begitu pula Yoshio maupun Maruyama. Ketiganya menganggap teman-teman yang lain tidak mengerti mereka, tanpa disadari mereka pun punya pandangan negatif terhadap teman sekelasnya. Semua masalah tersebut ternyata mampu diselesaikan melalui hal sederhana: komunikasi. Saling terbuka dan menyampaikan hal-hal yang disukai maupun tidak disukainya.

Nyawa kita terlalu mahal untuk dikorbankan begitu saja. Padahal bisa jadi ada andil pengorbanan banyak orang agar kita tetap hidup.

“Kau bilang keberadaanmu muncul karena pengorbanan orang lain. Tapi, bukankah semua orang memang seperti itu? Namun, sedikit sekali orang yang menyadari fakta penting itu. Akan tetapi, Takahashi-kun, kau bisa menyadari hal yang mulia itu. Bukankah itu bagus sekali? Dengan itu saja, kau sudah cukup berarti untuk dilahirkan. Karean itu, percaya dirilah. Aku ingin kau hidup dengan bangga. Hmm... menurutku, Takahashi-kun pantas untuk hidup.” (hal. 156)


Judul : The Dead Returns
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Penerbit Haru
Tebal : 252 halaman
Cetakan : VIII, Oktober 2017
Nomor ISBN : 978-602-7742-57-4

Share:

Resensi Girls in the Dark: Siapa Ingin Membunuh Siapa



Kau pernah berpikir ingin membunuh seseorang?

Awal kali saya berjumpa dengan novel ini kurang lebih setahun lalu, ketika cuci mata di Gramedia Matraman. Dan pertemuan tersebut begitu menggoda. Mulai dari tampilan sampul, ukuran buku yang pas di genggaman tangan, hingga narasi sinopsisnya. Sayang, dompet saat itu mirip peci: tipis! Tahu sendiri, kan, kalau di Gramedia itu nggak ada diskon. #eh

Syukur ada kesempatan di International Indonesia Book Fair (IIBF) tahun ini. Waktunya hunting buku diskonan berbekal uang hadiah lomba Resensi Pergi Tere Liye (#sombong). Seperti biasa, booth Penerbit Haru terbilang unik. Di booth yang juga menjual sejumlah aksesoris itu, gelombang kalap sudah tidak bisa dibendung. Tiga buku segera dibungkus mbak-mbak kasir: Girls in the Dark, The Dead Returns, dan Holy Mother dari penulis yang sama.

Beberapa minggu setelahnya, tangan seolah tak sabar membuka Girls in the Dark. Zalim sih sebenarnya. Banyak buku yang dibeli berbulan-bulan lalu, belum dibaca sampai sekarang. Sedangkan ini ada anak kemarin sore datang ke rumah, langsung bertahta di atas singgasana. Untung mereka nggak bikin demo.



***

Cerita bermula dari kegemparan di SMA Katolik Putri Santa Maria atas kematian Shiraishi Itsumi. Anak pengelola sekolah tersebut bersimbah darah sambil memegang setangkai bunga lily, terlentang di bagian teras seolah jatuh dari lantai atas. Apakah gadis cantik itu dibunuh? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu.

Seminggu kemudian, enam gadis dari Klub Sastra yang dulu diketuai oleh Itsumi mengadakan pertemuan. Sumikawa Sayuri, selaku wakil ketua, memimpin kegiatan yami-nabe di salon sastra mereka yang berkelas. Seluruh peserta akan memasukkan bahan-bahan aneh yang mereka bawa ke dalam panci dan semua orang harus memakannya di tengah kegelapan. Bahannya bisa berupa benda yang bisa dimakan maupun tidak, asal tetap higienis. Selama kegiatan berlangsung, masing-masing peserta wajib menulis cerita pendek sekaligus membacakan naskahnya.

Inilah gairah sesungguhnya yami-nabe. Terlebih, Sayuri telah menetapkan tema khusus. “Iya. Tema kali ini adalah kematian Ketua Klub sebelumnya, Shiraishi Itsumi.” (hal. 15)

Siapa sangka, cerita pendek yang mereka buat ternyata berisi analisis siapa yang menjadi pembunuh Itsumi.

Naskah pertama: Tempat Berada oleh Nitani Mirei. Murid kelas 1-A itu mengisahkan kehidupannya yang di bawah kecukupan, orang tua yang bercerai, serta kebanggaannya setelah memperoleh beasiswa. Ia juga mendeskripsikan ketakjubkannya pada kebaikan dan keanggunan Itsumi hingga undangan untuk bergabung dengan Klub Sastra, kelompok elit yang tidak semua orang dapat memasukinya. Di akhir cerita, Mirei melempar tuduhan pada Koga Sonoko sebagai pembunuh Itsumi. Bunga lily mengandung pesan, “Yang membunuhku adalah perempuan dengan harum bunga lily.”

Naskah kedua: Macaronage oleh Kominami Akane. Akane merupakan anak pemilik sebuah restoran Jepang ternama. Ayahnya sendiri yang menjadi koki. Hatinya merasa sakit setelah tahu restoran akan diwariskan kepada kakaknya. Demi terus memupuk semangat, ia pun mulai menekuni masakan Barat. Dapur salon sastra menjadi dunia kecilnya. Ibarat istana yang dilengkapi bahan masakan kelas satu serta peralatan masak terlengkap dan terbaik di dunia. Walau tersirat, murid kelas 2-B itu menganggap Mirei bertanggung jawab atas kematian Ketua Klub mereka.

Naskah ketiga: Balkan di Musim Semi oleh Diana Detcheva. Seorang gadis yang berasal dari sebuah desa kecil di Bulgaria. Ia dan kakaknya, Ema, menjadi pemandu Itsumi untuk mengelilingi desa sekaligus mengunjungi sejumlah objek wisata bersejarah dalam program semester pendek. Diana kemudian terpilih sebagai peserta murid internasional karena Ema tiba-tiba mengalami kecelakaan. Sepanjang kehidupannya di sekolah, Diana menemukan fakta bahwa tangan Takaoka Shiyo telah berlumur darah Itsumi.

Naskah keempat: Perjamuan Lamia oleh Koga Sonoko. Anak jurusan IPA, sekelas dengan Itsumi, serta sama-sama bermimpi menjadi dokter. Selain sebagai anggota Klub Sastra, tahun ini ia juga menjabat sebagai ketua perayaan Paskah dan Pantekosta. Super sibuk. Tetapi berbagai kegiatan tersebut justru mengantarkannya membuat kesimpulan bahwa pembunuh sebenarnya ialah Diana.

“...Darah? Lamia. Tukang sihir. Setan pengisap darah. Hamba iblis...” (hal. 186)

Naskah kelima: Pengibirian Raja Langit oleh Takaoka Shiyo. Bisa dibilang, murid kelas 2-C ini adalah anggota pertama yang direkrut Itsumi. Namanya tersohor sejak merilis novel remaja ringan, Kimi-kage Sou. Baginya, Itsumi bak kakak idaman. Sebab itu, dirinya menyesal setelah menyaksikan Akane mendorong Itsumi di teras.

Cerita pendek siapa yang dapat dipercaya?



***

Secara garis besar, cerpen yang disusun setiap anggota mempunyai pola yang sama. Mendeskripsikan kehidupan mereka, luapan emosi kegembiraan karena bergabung dengan Klub Sastra, kekaguman pada kesempurnaan Itsumi, sampai menyusun teori pembunuhan.

Di sinilah letak kejeniusan Akiyoshi Rikako yang membuat pembaca menerka-nerka hingga akhir bab. Terutama ketika pembacaan naskah keenam oleh Sumikawa Sayuri berjudul Bisikan dari Kubur, cerpen yang ditulis oleh Itsumi sendiri. Loh?

“Ah, sial. Ternyata...”

Saya tidak tahu banyak tentang sastra Jepang, tapi ada ketertarikan untuk membacanya. Novel ini adalah yang kedua, setelah sebelumnya saya menghabiskan Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga). Di lain waktu, mungkin saya ingin menyicipi karya-karya Haruki Murakami. Katanya sih fantasinya di luar nalar.

Sebagai penggemar serial Sherlock Holmes dan detektif-detektif Agatha Christie, Girls in the Dark berhasil menyajikan twist sempurna. Alur yang sulit ditebak, lengkap dengan petunjuk-petunjuk yang membingungkan.

Pembaca pun dibuat terhenyak karena ternyata setiap anggota Klub Sastra memiliki rahasia kelam. Topeng yang menutupi kebusukan hati. Misterinya berjalan lugas, tanpa bumbu thriller atau horor khas negeri sakura. Memang ada beberapa bagian yang salah ketik serta terlalu banyak penggunaan kata ganti “aku”. Sedikit mengganggu, tapi jadi tidak terasa karena gaya bahasa penerjemahannya yang kaya diksi dan membuat cerita mengalir dalam tempo cepat. Perpindahan sudut pandang pada setiap cerpen dibangun sedemikian rupa sehingga pembaca merasakan perbedaan karakter yang cukup dalam.

Novel ini tepat bagi dua orang. Pertama, para pecinta teka-teki. Kedua, mereka yang ingin belajar menguatkan karakter pada tokoh novel atau cerpen.

“Siapa yang menjadi pemimpin, siapa yang memegang tongkat kekuasaan, siapa yang memilik wibawa... gadis-gadis itu mengendusnya, memilah-milahnya. Dan kalau ada kesempatan, mereka mengincar untuk merebutnya. Begitulah yang saya lihat tentang siswi SMA di Jepang.” (hal. 129)

“Pegang rahasianya, rebut tempatnya berada, dan sudutkan. Menggenggam rahasia seseorang sama dengan menggenggam jiwanya. Tidak ada kepuasan yang melebihi kepuasan itu.” (hal. 227)

Judul : Girls in the Dark
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Penerbit Haru
Tebal : 289 halaman
Cetakan : XII, Januari 2018
Nomor ISBN : 978-6027742-31-4

Share: